Pahami UU ITE, Agar Tak Salah Memanfaatkan Kebebasan Berpendapat di Dunia Digital

by
Diskusi #MakinCakapDigital Kominfo berkolaborasi dengan Siberkreasi, bertajuk "Etika Bebas Berpendapat di Dunia Digital". (Foto: Dokumentasi)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Kebebasan berpendapat, termasuk di dunia digital, memang dilindungi undang-undang. Namun, kebebasan itu tetap memiliki batasan dalam koridor berdasar norma hukum berlaku

Dosen Departemen Sosiologi FISIPOL UGM Mustaghfiroh Rahayu menjelaskan, secara hukum hak kebebasan bereskpresi dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28 Huruf E Ayat 3 yang menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.

“Kewajiban negara menjamin kebebasan
berekspresi ini diatur dalam instrument
HAM internasional, yakni DUHAM Pasal 19 dan International Covenent on Civil and Political Rights (ICCPR) pasal 19 ayat (2),” kata Rahayu dalam diskusi #MakinCakapDigital Kominfo berkolaborasi dengan Siberkreasi, bertajuk “Etika Bebas Berpendapat di Dunia Digital” pada Senin (26/9/22).

Rahayu, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (27/9/2022), menegaskan, aktifitas di dunia digital bersifat virtual, tapi bukan berarti bebas tanpa aturan.

Aktivitas di dunia virtual diatur oleh Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur tentang informasi
serta transaksi elektronik, atau teknologi informatika secara umum.

Dalam menjalankan hak dan kebebasan, lanjut Rahayu, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan UU. Tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, serta memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Adapun pembatasan kebebasan berekspresi dalam UU ITE yaitu, setiap orang (dilarang) dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman.

Pasal 27 ayat 1-4 UU No. 11 Tahun 2008
Pencemaran nama baik sebagaimana dalam penjelasan Pasal 27 ayat (3) UU 19/2016 mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam KUHP.

Ada 6 macam penghinaan dan/atau pencemaran nama baik di KUHP, ialah; Penistaan (Pasal 310 ayat (1) KUHP);
Penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat (2) KUHP); Fitnah (Pasal 311 KUHP);
Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP);
Pengaduan palsu atau pengaduan fitnah (Pasal 317 KUHP); Perbuatan fitnah (Pasal 318 KUHP).

Manager Pondok Pesantren Budaya Kaliopak/LESBUMI PWNU DIY Mathori Brilyan mengimbau, medsos hendaknya digunakan untuk kemanfaatan satu sama lain.

Seperti menebarkan potensi kebaikan saat membagikan kabar, memberikan komentar yang membangun kebaikan.

“Memberikan kritik yang berlandaskan pengetahuan, membuka peluang orang lain untuk mengkoreksi diri kita, mengembangkan potensi untuk kemajuan pengetahuan, menginisiasi kerjasama dalam pemajuan kebudayaan,” kata Mathori.

Sementara itu, dosen Untag Surabaya Bambang Kusbandrijo menerangkan, lemajuan teknologi informasi yang begitu masif meluas ke semua bidang, memiliki efek negatif.

Menurut dia, banjir informasi (information flood) di era revolusi digital menghadirkan sejumlah dampak sosial. Problem masyarakat bukan pada bagaimana mendapatkan berita, melainkan kurangnya kemampuan mencerna informasi yang benar.

“Kesenjangan antara kurangnya literasi media di tengah banjirnya informasi ini disalahgunakan oleh sebagaian kelompok untuk memproduksi berita yang tidak terkonfirmasi, yang belum tentu kebenarannya atau sering disebut hoaks,” kata Bambang.

Untuk itu, sangat penting menerapkan etiket berinternet, yaitu tata krama dalam menggunakan internet.

Pengguna internet diingatkan untuk selalu menyadari bahwa kita berinteraksi dengan manusia nyata di jaringan yang lain, bukan sekedar dengan deretan karakter huruf di layar monitor, namun dengan karakter manusia sesungguhnya.

“Media sosial bukan sarana yang membelenggu atau pengganti relasi nyata antar individu. Berelasi berarti
menghadirkan seluruh dirinya: karakter,
perhatian, dan emosi untuk orang yang
ada disekitarnya,” kata Bambang. (Kds)

Catatan:

Informasi lebih lanjut dan acara literasi digital GNLD Siberkreasi dan #MakinCakapDigital lainnya, dapat mengunjungi info.literasidigital.id dan mengikuti @siberkreasi di sosial media.