Mengenang Peristiwa 27 Juli: Misteri Politik yang Masih Patut Dikenang

by
Penyerbuan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro No.58, Jakarta Pusat, pada Sabtu, 27 Juli 1996 yang dikenal dengan ‘Sabtu Kelabu’. (Foto: Istimewa)

Oleh: Andoes Simbolon

PERISTIWA Sabtu,27 Juli 1996, yaitu aksi pengambilalihan kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia (DPP PDI), di Jalan Diponegoro No.58, Jakarta Pusat m, secara kekerasan 26 tahun silam tetap menarik untuk dikisahkan. Kalau dibuat dalam buku, mungkin bukunya tebal sekali. Bukan apa-apa, Ini suatu peristiwa monumental dan fenomenal, karena di balik peristiwa ini banyak menyimpan cerita dan kenangan, sekaligus tonggak perjalanan politik Megawati Soekarnoputri bersama partai yang dipimpinnya. Belum lagi soal para penyerang yang masih misterius itu, ketika beraksi mengenakan kaos bertuliskan Pendukung Kongres Medan dan ikat kepala warna hitam dengan badan tegap.

Kalau saja DPP PDI tidak terbelah di tahun itu, mungkin saja riwayat perjalanan atau karir politik Megawati akan berbeda dari yang dialaminya kemudian. Misalnya pada tahun itu PDI kompak dan solid, lalu ikut pada Pemilu 1997, mungkin saja hasilnya seperti Pemilu 1987 dan Pemilu 1992. Paling tinggi, kursi PDI di DPR RI bertambah dan Megawati disiapkan jadi Ketua atau Wakil Ketua DPR RI/MPR RI.

Tetapi, mencermati kejadian demi kejadian, peristiwa demi peristiwa, sepertinya sudah takdir Megawati Soekarnoputri untuk mencapai puncak kekuasaan, mulai dari Wakil Presiden hingga menjadi Presiden RI ke 5. Hanya saja, kekuasaan yang diraihnya itu harus melalui jalan berliku dan pengorbanan.
Namun, fakta menunjukkan berbeda. Sejak Megawati maju sebagai calon Ketua Umum DPP PDI di Kongres Luar Biasa (KLB) di Surabaya tahun 1993 itu, sudah terlihat adanya upaya pengganjalan. Entah siapa yang mensponsori, KLB tersebut diskenariokan berantakan hingga tidak selesai tuntas. Pada hal, saat itu, jabatan ketua umum sudah di depan mata, tinggal selangkah lagi, Megawati bisa terpilih jadi orang nomor satu di partai berlambang ‘kepala banteng’ itu.

Bagaimana tidak, mayoritas peserta atau utusan KLB dari perwakilan PDI seluruh Indonesia justru memilih Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum. Hanya segelintir saja yang memilih rivalnya, Budi Hardjono yang sudah diketahui masyarakat sebagai calon ketua umum yang mendapat restu dari pemerintah. Tetapi karena melihat dukungan mayoritas ke Megawati itu, ada pihak tertentu merancang skenario menggagalkan kongres. Tidak ada keputusan apapun yang ditelorkan dalam KLB itu, termasuk pemilihan ketua umumnya. Celakanya, DPP PDI Caretacer sebagai penanggung jawab KLB saat itu justru tidak bertanggung jawab, tiba-tiba saja mereka lenyap menghilang entah kemana. Mereka membiarkan peserta kongres seperti ‘ayam kehilangan induknya’.

Tetapi Megawati tidak tinggal diam, dia tak mau menerima begitu saja kenyataan yang terjadi di lapangan. Megawati mengambil inisiatif untuk mendeklarasikan dirinya sebagai ketua umum de facto. Iya, hanya itu saja yang tersisa di akhir KLB itu, di tengah pendukungnya yang masih setia di Asrama Haji Sukolilo pada malam hari menjelang berakhirnya ijin pelaksanaan KLB, dengan keberanian yang ada pada dirinya, dia umumkan sendiri bahwa dirinya adalah de facto Ketua Umum DPP PDI, berdasarkan suara dari peserta KLB yang sudah sempat disampaikan dalam acara pemandangan umum masing-masing utusan.

Upaya pengganjalan Megawati itu memang tidak sekedar isapan jempol belaka. Sepertinya ada pihak tertentu yang keberatan, bahkan gerah, tidak nyaman dan terusik jika Megawati tampil memimpin partai politik di era Orde Baru tersebut. Karena itu, “Megawati jangan sampai terpilih sebagai ketua umum DPP PDI”. Bau tidak sedap itu juga tercium saat pelaksanaan Musyawarah Nasional (Munas) PDI di Kemang, Jakarta Selatan, tahun 1993 itu juga. Kalau saja tidak ada ‘pengawalan’ dari petinggi ABRI, yaitu Agum Gumelar dan AM Hendropriyono, maka lokasi atau tempat Munas bakal diadakan di kawasan Bogor, yang sedikit jauh dari Jakarta. Lokasi bisa menentukan nasib pelaksanaan Munas itu sendiri.

Seperti diketahui, Munas ini merupakan kesepakatan semua pimpinan PDI di daerah dan disponsori pemerintah (Menteri Dalam Negeri), dilaksanakan sebagai kelanjutan dari KLB sebelumnya. Hanya saja pesertanya terbatas, cukup perwakilan dari pimpinan Provinsi saja, sementara pimpinan PDI Kabupaten/Kota seperti kongres tidak diikutsertakan. Agendanya pun tidak banyak, hanya dilakukan untuk mengukuhkan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum dan menyusun kepengurusan DPP PDI periode 1993 – 1998 yang dilanjutkan pelantikannya.

Meski Munas berjalan lancar, tapi bukan berarti tidak ada kejanggalan, terutama dalam penyusunan personalia pengurus DPP PDI. Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum yang dikukuhkan tidak diperkenankan menyusun sendiri personal DPP PDI yang akan dipimpinnya. Dengan kata lain, ada tarik menarik antara Megawati dengan pihak lain saat penentuan pengurus DPP PDI tersebut. Kompromi dan negosiasi akhirnya diambil guna menyelesaikan agenda Munas. Maka tidak heran wajah DPP PDI saat itu diisi sebagian orang yang keras dan menjadi bagian dari penggagalan KLB di Surabaya.

Bisa disebut, pengurus DPP PDI yang murni atas pilihan Megawati adalah Jhon Sare, Suparlan, Soetardjo Suryoguritno, Kwik Kian Gie, Laksamana Sukardi, Alex Litay, Haryanto Taslam, Mangara Siahaan dan Noviantika Nasution ditambah Sjafei Ali Gumay dan Andi Khaerul Manggabarani, yang belakangan kedua orang ini justru membelot dari kubu Megawati. Sisanya adalah hasil kompromi. Agak sulit bagi Megawati memimpin PDI dengan orang-orang yang dia tidak kehendaki.

Benar saja, apa yang dikuatirkan itu terjadi kemudian. Tiga tahun setelah Munas, kepengurusan DPP PDI diambang perpecahan. Pada hal, sejak Megawati sah menjadi ketua umum, dia telah melakukan perjalanan ke sejumlah daerah untuk memimpin konsolidasi partai. Maklum saja, konsolidasi itu perlu dilakukan untuk memantapkan organisasi dan personalia terutama karena pemilu sudah dekat, yaitu Pemiku 1997. Megawati berkomitmen, PDI yang dipimpinnya harus sukses dalam pemilu tersebut, karena itu PDI sejak dini harus mempersiapkan diri.

Bencana itu datang, ketika suatu hari di bulan Juni 1996 DPP PDI mengadakan rapat di kantor Jalan Diponegoro No. 58, Jakarta Pusat. Rapat itu sendiri berjalan panas karena pengurus DPP Fatimah Achmad dan kawan-kawannya menyampaikan usulan pelaksanaan kongres. Ada apa ini? Tidak ada angin, tidak ada hujan, koq mereka ujug-ujug minta kongres?

Pengakuan Fatimah, kongres atas permintaan sejumlah DPC dan DPD PDI untuk membentuk DPP baru karena DPP PDI produk Munas tidak sah dan tidak sesuai AD/ART. Itu lah pokok masalah di dalam tubuh DPP PDI hingga terjadi perpecahan menjadi dua kubu.

Karena adanya penolakan dari Megawati Soekarnoputri dan pengurus DPP lainnya, rapat itu pun akhirnya tidak selesai. Megawati dan lainnya menolak tegas usulan pelaksanaan kongres tersebut. Selain periodesasi nya hingga tahun 1998, Munas di Kemang yang menghasilkan DPP PDI disebut kubu Megawati tetap punya legalitas alias tidak melanggar konstitusi partai. Selain itu, disebutkan kubu Megawati juga justru paling penting adalah mempersiapkan diri dalam menghadapi Pemilu 1997, bukan menggelar kongres. Dengan kata lain, DPP PDI terbelah antara pendukung Kongres dan kubu penolak kongres.

Begitu lah kisahnya, dan setelah rapat DPP yang panas itu, kubu Fatimah Achmad tidak pernah lagi menginjakkan kakinya ke kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro No.58 itu. Sejak saat itu, rapat-rapat mereka akan pelaksanaan kongres diadakan di tempat lain. Surat pemecatan DPP PDI kubu Megawati tidak dihiraukan oleh Fatimah Achmad dan kawan-kawannya. Mereka terus bergerak demi terlaksananya kongres yang mereka maksud.

Dalam waktu singkat, panitia pelaksana Kongres terbentuk. Hebatnya lagi, pemerintah yang diwakili Kementerian Dalam Negeri dan Mabes ABRI merestui atau mengijinkan pelaksanaan kongres di Asrama di Medan, Sumatera Utara. Tidak heran, saat kongres dibuka, Mendagri Yogie SM sendiri yang membuka dan pengarahan disampaikan Panglima ABRi, Jenderal Feisal Tanjung.

Sementara, kubu Megawati sibuk di Jakarta dan menguasai kantor DPP PDI selama berminggu-minggu dengan menggelar aksi mimbar bebas atau mimbar demokrasi, hingga berakhir setelah diserang pada Sabtu pagi 27 Juli 1996.
Nasibnya ketika itu memang menyedihkan. Sebelum kongres dibuka, di Jakarta terjadi bentrokan antara pendukung Megawati dengan aparat keamanan ketika turun ke jalan melakukan unjuk rasa memprotes rencana kongres tersebut.

Tetapi satu hal yang perlu diingat, bahwa pengakuan pemerintah terhadap DPP PDI hasil kongres Medan bukan menambah kemajuan pada PDI dibawah pimpinan Soerjadi – Buttu Hutapea. Mereka justru kepercayaan masyarakat merosot. Sebaliknya, sikap pemerintah yang sudah tidak mengakui DPP PDI dibawah pimpinan Megawati Soekarnoputri – Alex Litay justru mendapat simpati dan empati dari masyarakat luas, yang mengantarkan Megawati dan PDI Perjuangan menjadi kekuatan politik terbesar pada Pemilu 1999. ***