Dr. Susaningtyas Kertopati: BRIN Perlu Merancang Pengawasan Integratif Terfragmentasi

by
FOTO: Istimewa

BERITABUANA.CO, JAKARTA–  Pengamat Intelijen dan mantan Anggota DPR Periode 1999-2004 dan 2009-2014, Dr. Susaningtyas NH Kertopati memaparkan bahwa dalam Undang-undang No 17 Tahun 2001 telah melahirkan model pengawasan dimana ada Presiden sebagai eksekutif, DPR (Legislatif), Pengadilan Negeri (Yudikatif), Kepala Badan Intelijen (Internal), Lembaga Negara Independen ada BPK, KPK, Komnas HAM, dan Ombudsman, Civil Society, dan Internasional.

Sementara itu, kata Susaningtyas, dalam konteks relasi antar aktor pengawas, secara sederhana dapat dibedakan dalam 2 kategori, pertama katergori pengawas yang menerima aduan publik, yaitu DPR, Pengadilan Negeri dan Lembaga Negara Independen. Kedua, Kategori pengawas yang menerima hasil tinjauan dari lembaga negara independen, yaitu Presiden & DPR.

“Melalui mekanisme pengawasan ini, sebenarnya Indonesia telah memiliki dasar yang cukup kuat untuk menempatkan intelijen dalam kerangka negara demokratis,” kata Dr. Susaningtyas NH Kertopati.

Hal itu disampaikan Nuning, sapaan akrab Dr. Susaningtyas NH Kertopati dalam Webinar Peluncuran Kertas Kerja dan Diskusi Publik: Mengintegrasikan Pengawasan Intelijen Indonesia, Rabu (29/6/2022). Hadir dalam webinar Dubes RI untuk Tunisia Prof. Dr. Ikrar Nusa Bakti dan Peneliti Pusat Riset Politik BRIN Diandra M. Mengko, M. Si (Han).

Nuning lalu menyoroti dalam berbagai media massa dan kajian yang terlihat masih ada dugaan minimnya pengawasan, kurang responsifnya pengawasan, pengawasan yang terfragmentasi, pengawasan yang cenderung politis dan normatif, serta prosedural.

“Penting untuk dicatat bahwa dugaan tersebut ada pada setiap kepemimpinan intelijen dan masih dapat diperdebatkan karena adanya kemungkinan politisasi. Namun demikian, problem pengawasan memang terjadi pada setiap badan intelijen dalam negara yang mengalami proses transisi demokrasi,” ucapnya.

Sebagaimana dalam kajian BRIN, lanjutnya terdapat tiga isu utama dari pengawasan intelijen. Ia lalu ikut memaparkannya.

Pertama, Konflik Kepentingan, dimana Faktanya aktor – aktor pengawas berasal dari lembaga politik yang tentu memiliki kepentingan politik. “Sehingga, faktor risiko politisasi pengawasan ataupun pengabaian terhadap dugaan penyalahgunaan kewenangan intelijen sulit dihindari,” tuturnya.

Kedua, problem regulasi. Dalam mekanisme pengawasan, ketiadaan regulasi yang kuat, rigid, jelas, akuntabel dan operasional adalah faktor utama dari kelemahan pengawasan intelijen. “Konflik kepentingan cenderung dapat dikelola (manageable) & dikendalikan (controllable) apabila terdapat regulasi yang kuat sebagai landasaan operasional bagi seluruh aktor pengawas,” ujar Nuning.

Ketiga, Kelemahan kapasitas. Patut diakui membangun kapasitas aktor pengawas, khususnya DPR, bukanlah perkara mudah. Hal ini adalah implikasi dari perubahan anggota DPR secara berkala setiap lima tahun, termasuk di antaranya perubahan sumber daya tenaga ahli anggota, tenaga ahli fraksi, dan tenaga ahli komisi,” katanya.

Belum lagi, tidak semua yang duduk di komisi I merupakan orang yang mendalami pertahanan dan keamanan. “Untuk itu, hal yang paling memungkinkan adalah penguatan kapasitas dari Badan Keahlian DPR secara berkesinambungan (dengan statusnya sebagai ASN) yang berfungsi membantu para anggota,” jelas dia.

Tiga Poin Catatan

Dalam kesempatan itu, Nuning ingin Pusat Riset Politik BRIN merancang adanya model pengawasan integratif yang menggabungkan tiga dimensi pengawasan yang selama ini masih terfragmentasi, yaitu sistem pengawasan, kapasitas institusional dan legal, serta sistem klirens informasi.

Terkait konteks ini, ia pun memberikan catatannya. Setidaknya ada tiga poin yang menjadi konsentrasinya.

Pertama, dalam dimensi sistem pengawasan, terdapat empat jenis aktivitas pengawasan yang saling terkait, yaitu: identifikasi, deteksi, investigasi, dan evaluasi (INDIE). Namun, keempat jenis aktivitas pengawasan ini perlu diadvokasi hingga dapat diatur dalam sebuah regulasi yang rigid, tidak mutitafsir, dan operasional bagi setiap aktor pengawas.

“Tanpa adanya pembenahan landasan regulasi secara fundamental, baik dalam bentuk UU & turunannya hingga dalam bentuk Juklak/Juknis, maka sistem pengawasan berisiko hanya bersifat normatif dan mudah dieksploitasi dalam ruang – ruang politis,” jelasnya.

Kedua, dalam dimensi kapasitas institusional dan legal, setiap aktor – aktor pengawas semestinya memiliki kesepahaman pengetahuan / informasi yang memadai terhadap peran & fungsi intelijen. Khususnya, dinamika kinerja intelijen sebagai first line of defense dalam menghadapi dinamika ancaman terkini yang non konvensional, asimetris dan irregular baik dari segi aktor, pola dan strategi.

“Untuk itu, pada segi politik anggaran intelijen dalam menghadapi dinamika ancaman tersebut, tidak bisa selalu terukur / disamakan dengan K/L lainnya,” ucapnya.

Selain itu, dalam konteks penguatan kapasitas institusional, perlu juga dipertimbangkan keterlibatan pihak non partisan yang berasal dari kalangan akademisi / ahli untuk membantu para aktor pengawas (baik yang bersifat regular ataupun ad hoc) melalui proses seleksi terbuka, ketat dan komprehensif.

Ketiga, dalam dimensi sistem klirens informasi, prinsip good governance dalam demokrasi perlu mendapat penyelarasan dengan prinsip kerahasiaan dalam kerja – kerja intelijen.

Untuk itu, pembenahan pada sistem klirens rahasia intelijen perlu dilakukan untuk menyediakan suatu mekanisme rigid dan terukur yang memungkinkan aktor pengawas mendapatkan informasi yang memadai dalam melakukan pengawasan tanpa menciderai prinsip kerahasiaan informasi intelijen yang dapat berdampak pada gangguan keamanan nasional. (fadloli)