UU TPKS Dinilai Tumpang Tindih, Willy Adiyta: Tapi Menegaskan

by
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya. (Foto: Jimmy)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya tidak menampik adanya aturan yang tumpang tindih dalam Undang-Udang tentang Tindakan Pidana Kekerasan Sesksual (UU TPKS), yang disahkan Ketua DPR RI Puan Maharan dalam Rapat Paripurna DPR RI,i pekan lalu. UU TPKS memang mengatur banyak jenis kekerasan seksual. Beberapa di antaranya sudah eksis di beberapa UU seperti UU Pornografi, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), UU Perkawinan, dan KUHP.

Namun, menurut Willy Aditya kepada media di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (27/4/2022), justru hal itu menjadi salah satu kekuatan UU TPKS dengan memberikan penegasan pada UU lain yang mengatur soal serupa.

UU TPKS, lanjut politisi dari Partai NasDem ini, juga memiliki hukum acara pidana sendiri. Selain itu, melalui undang-undang ini pula para penegak hukum akhirnya memiliki payung hukum atau legal standing untuk menangani setiap jenis kasus kekerasan seksual.

“TPKS itu memberikan penegasan. Selain penegasan, itu juga sebagai bentuk legal standing untuk aparat penegak hukum. Juga memiliki hukum acara pidana sendiri. Kekuatannya di dua hal itu,” ujarnya.

Willy juga mengungkap UU TPKS juga bisa menjadi rujukan dari UU lain yang memuat aturan tentang tindak kekerasan seksual. Hal itu menjadikan UU TPKS tidak bertentangan meski bisa jadi tumpang tindih dengan UU lain, bahkan justru menguatkan.

“Jadi sejauh KS atau jenis kekerasan seksual yang ada di beberapa undang-undang yang sudah ada itu bisa menggunakan hukum acaranya merujuk kepada TPKS,” tambahnya.

Menurut Willy, UU TPKS mempunyai hukum acara pidana tersendiri yang membedakannya dengan produk legislasi lain.

“Jadi kekuatan dari UU TPKS ini adalah hukum acara pidana, di mana cukup dengan satu alat bukti itu bisa diproses,” tegasnya.

Hal itu diatur dalam pasal 25 (1) yang berbunyi: keterangan Saksi dan/atau korban cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan 1 (satu) alat bukti sah lainnya dan hakim memperoleh keyakinan bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.

“Ini memberikan semacam perlindungan kepada korban, saksi korban, dan keluarga korban serta kaum disabilitas dan anak-anak. Di mana kesaksian mereka dalam hukum acara pidana itu sangat memudahkan mereka. Jadi ini benar-benar undang-undang yang memiliki perspektif korban dan berpihak kepada korban secara luar biasa,” simpulnya. (Kds)