Mantan Dirut Krakatau Steel Periode 2015-2017 Dipertiksa Kejagung

by
by

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Tim Jaksa Penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Pidsus Kejagung) memeriksa eks Direktur Utama (Dirut) PT Krakatau Steel periode tahun 2015 s/d 2017, berinisial S sebagai saksi kasus dugaan korupsi proyek pembangunan pabrik blast furnace oleh PT Krakatau Steel (KS) pada tahun 2011.

“Direktur Utama PT. Krakatau Steel periode tahun 2015 sampai dengan 2017, berinisial S diperiksa sebagai saksi,”kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan RI, Ketut Sumedana dalam keteranganya kepada wartawan, Rabu (6/4/2022), di Jakarta.

Selain S, sambung Ketut, penyidik juga memeriksa IK selaku Direktur Pemasaran PT. Krakatau Steel periode November 2007 s/d Juni 2012 dan Pensiunan PT. Krakatau Steel November 2007 – Juni 2012, berinisial FB sebagai saksi

Menurut Ketut, pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi pada Proyek Pembangunan Pabrik Blast Furnace oleh PT Krakatau Steel pada tahun 2011.

Kejagung menaikkan kasus dugaan korupsi ini ke tahap penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan dari Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-14/F.2/Fd.2/03/2022 tanggal 16 Maret.

Kasus ini dilakukan penyelidikan berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan dari Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor : Print- 22/F.2/Fd.1/10/2021 tanggal 29 Oktober 2021.

Ditambahkan, hingga saat ini tim penyelidik telah meminta keterangan dari 78 orang dan 3 orang ahli. Selain itu, terdapat bukti lainnya berupa 150 dokumen terkait pembangunan Blast Furnace Complex PT Krakatau Steel.

Terkait kerugian keuangan negara, Ketut mengatakan Tim Jaksa Penyidik Pidsus Kejung dan Tim Investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) masih tersu melakukan penghitungan.

Sebelumnya, Jaksa Agung Burhanuddin mengatakan, kasus dugaan korupsi proyek pembangunan pabrik Blast Furnace (BFC) tersebut dilaksanakan oleh Konsorsium MCC CERI dan PT Krakatau Engineering.

Proyek tersebut dilakukan sesuai hasil lelang tanggal 31 Maret 2011 dengan nilai kontrak setelah mengalami perubahan adalah Rp6.921.409.421.190 (Rp6,9 triliun lebih) dan telah dilakukan pembayaran kepada pihak pemenang lelang senilai Rp5.351.089.465.278 (Rp5,3 triliun). Pekerjaan kemudian dihentikan pada tanggal 19 Desember 2019. Padahal pekerjaan belum 100% dan setelah dilakukan uji coba operasi biaya produksi lebih besar dari harga baja di pasar.

Namun sambungnya, pekerjaan sampai saat ini belum diserahterimakan dengan kondisi tidak dapat beroperasi lagi.
Menyingkapi hal tesrebut, Jaksa Agung melalui bidang Pidsus yang dikomandoi Febrie Ardiansyah selaku Jampidsus mengeluarkan Surat Perintah Penyelidikan dari Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print- 22/F.2/Fd.1/10/2021 tanggal 29 Oktober 2021.

Adapun pabrik tersebut menggunakan bahan bakar batu bara agar biaya produksinya lebih murah dibandingkan dengan menggunakan bahan bakar gas. Proyek tersebut dibangun dengan maksud untuk memajukan industri baja nasional. Setelah dilakukan uji coba operasi, ternyata biaya produksi lebih besar dari harga baja di pasaran.

Selain itu, pekerjaan sampai saat ini belum diserahterimakan dengan kondisi tidak dapat beroperasi lagi. Diduga, lanjut Burhanuddin akibat peristiwa pidana tersebut dapat menimbulkan kerugian keuangan negara. Total sebanyak 50 orang diperiksa sebagai saksi termasuk berkoordinasi dan meminta keterangan kepada ahli, antara lain dari PPATK, LKPP, dan ahli teknis terkait pekerjaan.

Kasus atau perkaranya, tersebut berawal pada tahun 2011 sampai tahun 2019, PT Krakatau Steel (Persero) membangun Pabrik Blast Furnance (BFC) bahan bakar batu bara untuk memajukan industri naja nasional dengan biaya produksi yang lebih murah, karena dengan menggunakan bahan bakar gas biaya produksi menjadi lebih mahal.

Kemudian tanggal 31 Maret 2011 dilakukan lelang pengadaan pembangunan pabrik Blast Furnace (BFC) yang dimenangkan oleh Konsorsium MCC CERI dan PT Krakatau Engineering (PT KS). Sumber pendanaan pembangunan pabrik BFC ini awalnya dibiayai Bank ECA/Eksport Credit Agency dari Cina.

“Namun dalam pelaksanaannya, ECA dari China tidak menyetujui pembiayaan proyek dimaksud karena EBITDA (kinerja keuangan perusahaan) PT KS tidak memenuhi syarat,” ujarnya.

Selanjutnya, pihak PT KS mengajukan pinjaman ke Sindikasi Bank BRI, Bank Mandiri, Bank BNI, Bank OCBC, ICBC, CIMB Bank, dan LPEI. Bahwa nilai kontrak setelah mengalami perubahan adalah Rp6.921.409.421.190 (Rp6,9 triliun). Untuk pembayaran yang telah dilaksanakan adalah sebesar Rp5.351.089.465.278 (Rp5,3 triliun) dengan rincian, yakni porsi luar negeri sejumlah Rp3.534.011.770.896 dan porsi lokal Rp1.817.072.694.382.

Ditengah jalan, tepatmya tanggal 19 Desember 2019, karena pekerjaan belum 100%, setelah dilakukan uji coba operasi biaya produksi lebih besar dari harga baja di pasar. Selain itu, pekerjaan belum diserahterimakan dengan kondisi tidak dapat beroperasi lagi atau mangkrak.

PT KS melakukan pembangunan pabrik Blast Furnace dengan tujuan untuk peningkatan produksi baja nasional, proyek tersebut dimulai pada tahun 2011 sampai tahun 2015 dan dilakukan beberapa kali addendum sampai dengan tahun 2019. Dilakukan pemberhentian di tahun 2019 karena biaya produksi lebih tinggi dari harga slab di pasar.

Dari hasil penyelidikan ditemukan indikasi adanya tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 juncto Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oisa