Ujian Kesaktian Pancasila dalam Gejala “Neo Tribes” di Sekitar Kita

by

ABAD 21 yang dikatakan sebagai abad milenial ditandai dengan meningkatnya isu demokrasi dalam sistem sosial dan politik, pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi yang luas melahirkan masyarakat informatif yang mendorong terciptanya suatu “new world society sebagai milenium society. ”

Konektivitas masyarakat dunia saat ini berdampak pada terjadinya polarisasi di masyarakat. Polarisasi kelompok tidak saja atas dasar pola tradisional etnografi (pengelompokan suku), agama, ras dan antar golongan, tetapi juga pengelompokan masyarakat “post modern geografi” yang menghasilkan pengelompokan yang lebih beragam berdasarkan pada preferensi ideologis, politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Pengelompokan ini juga berakibat pada sistem hukum yang merobohkan ikatan kedaulatan tradisional yaitu adat istiadat (folk sovereignity) dan kedaulatan suatu negara bangsa (nation state sovereignit ).

Dunia semakin menunjukkan egoisme kelompok dalam masyaraka. Tidak saja berdasarkan identitas suku bangsa atau negara bangsa, tetapi telah menjadi identitas percampuran (mix identities) yang lebih kompleks. Tidak sebatas akulturasi identitas adat dengan identitas nasionalnya tetapi juga identitas “transfolk” dan “transnationality” yang menghasilkan suatu pengelompokan identitas multicolours yang saya sebut sebagai “ neo tribes “.

Model “ neo tribes “ seperti ini terlihat dengan mudah pada gaya hidup dan pola berkelompok masyarakat yang menggunakan penamaan organisasi, gaya berpakaian, penggunaan istilah, doktrin dan ajaran kelompok. Kesemuanya menjadi pedoman dalam pola pikir dan tata laku yang tidak sedikit menghasilkan kontraksi, kontradiksi dan konflik sosial yang bersifat horisontal antar kelompok maupun konflik struktural dengan negara.

Di masa lalu ketika masyarakat masih hidup berkelompok di area yang terbatas dengan nilai kelompok yang mengikat kelompoknya, harmoni kelompok dibangun berdasarkan konsesus kelompok dalam kehidupan yang diorganisir dan dipimpin oleh pemimpin kelompok. Anggota kelompok umumnya memiliki ketaatan pada nilai dan kepemimpinan kelompok sebagai bentuk kesetiaan terhadap kelompok.

Sebaliknya, dalam relasi antar kelompok banyak konflik terjadi dikarenakan perbedaan nilai, kepentingan dan rivalitas antar kelompok, termasuk tidak adanya aturan yang mengatur urusan antar kelompok. Hal tersebut masih menjadi gejala sampai dengan saat ini, bahkan gejala konflik kelompok dalam berbagai skala dan tingkatan.

Gejala “neo tribes” yang tumbuh subur dalam era demokrasi hari ini dapat dilihat dari menjamurnya organisasi di dalam masyarakat yang berpijak pada urusan ideologi, agama, politik, sosial, budaya, ekonomi, keamanan dan pertahananan. Jumlahnya jauh melebihi kelompok suku yang pernah ada dalam sejarah peradaban manusia.

Dalam perspektif harmoni sosial, tumbuh suburnya kelompok baru seperti halnya suku-suku pada era terdahulu melahirkan potensi konflik yang lebih besar. Apalagi jika kelompok baru mengusung ideologi dan kultur organisasi yang bertentangan dengan ideologi dan kultur bersama yang telah disepakati. Dalam beberapa kasus di dunia, pola konflik antar suku pada masa lalu masih terus terjadi bahkan dilakukan oleh masyarakat dunia yang modern.

Tentunya gejala neo tribes seperti ini menjadi tantangan peradaban. Model negara bangsa yang berdiri sebagai organisasi bersama dengan sejarah dan batas kedaulatannya harus berhadapan dengan gerakan neo tribes yang bersifat lintas negara dan bangsa.

Perang saudara antar anak bangsa seperti terjadi di wilayah Balkan, Afganistan, Sudan dan Suriah atau perang antar negara adidaya dengan kelompok aliansinya. Polarisasi antara aliansi Barat dan aliansi Timur akibat dari perang dingin adalah potret bahwa gejala munculnya neo tribes dengan resiko konflik adalah realita peradaban.

Indonesia sebagai negara kepulauan dengan masyarakat yang multi etnis, multi religiositas dan multi partai tentunya akan menghadapi tantangan yang tidak bisa dianggap ringan. Munculnya kelompok neo tribes menjadi ancaman serius bagi masyarakat. Apalagi jika kelompok ini mengusung ideologi dan motivasi untuk merubah haluan dalam bernegara dan berbangsa yang berbhineka.

Momentum hari kesaktian Pancasila 1 Oktober, seyogyanya digunakan untuk melihat kembali sejarah NKRI secara utuh dan mendalam sejak era kolonial. Perspektif ini penting agar kita dapat mengenal diri kita sendiri sebagai negara dan bangsa yang berdaulat. Disiplin berpikir yang dibutuhkan dalam perjalanan peradaban dunia yang semakin hari menuntut kita untuk lebih siap dan waspada dalam menghadapi perkembangan persoalan dunia yang semakin kompleks.

Garuda Pancasila yang menggenggam Bhineka Tunggal Ika adalah simbol yang mengandung makna kedaulatan ideologis, politis, sosial, budaya, ekonomi dan teologis yang menjaga kesepakatan suku bangsa di nusantara yang berikrar menjadi bagian NKRI yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Yogyakarta, 1 September 2021

*Satrio Toto Sembodo* – (Pecinta Tanah Air dan Pancasila) 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *