Benahi Ekosistem Kepenulisan, Bukan Sekadar Beri Penghargaan

by
Goenawan Mohamad ketika tampil sebagai pembicara dalam sarasehan daring (Sadaring) Satupena ke-2 yang digelar pada Minggu siang (22/8/2021).

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Penghargaan kepada penulis atau Penghargaan Sastra bukanlah sesuatu yang penting atau utama. Ada berbagai hal yang membuat penghargaan menimbulkan kontroversi dan polemik tidak produktif.

Demikian dikatakan penulis yang juga pendiri Majalah Tempo, Goenawan Mohamad ketika tampil sebagai pembicara dalam sarasehan daring (Sadaring) Satupena ke-2 yang digelar pada Minggu siang (22/8/2021).

Kata Goenawan Moehammad, seorang penulis tetap menulis dan berkarya menghasilkan beragam tulisan bermutu, memperbaiki ekosistem kepenulisan, itulah hal sangat penting yang perlu bersama dikembangkan, termasuk oleh Persatuan Penulis Indonesia – Satupena.

“Tidak ada ukuran yang pasti dalam penghargaan penulis, termasuk dalam Sastra. Jadi sebaiknya penghargaan terhadap penulis, mesti dilihat sebagai undangan untuk melakukan pembahasan atau discourse lebih dalam tentang karya penulis tersebut,” kata Goenawan.

Karenanya, lanjut Goenawan, Penghargaan Sastra bukanlah tujuan utama penulis. Ketiadaan ukuran yang pasti, subyektivitas penyelenggara, juga kendala bahasa membuat penghargaan atas karya-karya penulis selalu berpotensi menimbulkan kontroversi. 

Tradisi penghargaan sendiri sudah hadir sejak masa Yunani lama, 200 tahun SM. Hadiah Nobel untuk Sastra, yang dianggap sebagai prestasi puncak dalam bidang kesusastraan dunia, pun tak lepas dari polemik dan kelemahan dalam penjurian. Juri Nobel Sastra, yang dirahasiakan namanya, dianggap tidak cukup banyak mengenal sastra dunia karena kemungkinan terkendala bahasa asli dari asal negara sastrawan, misalnya dari Indonesia. Juga karya-karya sastrawan Rusia, seperti Leo Tolstoy yang tidak mendapat penghargaan, karena ditulis dalam bahasa Rusia yang tak diketahui juri dengan baik.

“Jadi, kalau hadiah Nobel saja menimbulkan kerancuan karena yang diumumkan adalah nama penulisnya, bukan karyanya, apalagi peghargaan penulis atau Sastrawan di Indonesia. Lebih baik fokus pada karya,” ujarnya. 

Kepada Satupena, Goenawan menyarankan, lebih baik berfokus pada membenahi dunia kepenulisan. Misalnya, bagaimana penulis mendapatkan hak-hak dan royaltinya dibayarkan dengan baik dan melawan pembajakan.

“Yang juga lebih mendasar, bagaimana agar masyarakat bisa lebih luas mengapresiasi karya Sastra. Selama ini, pengajaran Sastra di sekolah adalah menghafal nama dan judul buku. Bukan pada memahami, melakukan kritik, dan mengapresiasi karya. Chairil Anwar itu menjadi penyair besar karena dia tekun melakukan kritik pada karya sastra,” kata dia.

Perbaikan besar-besaran dalam pendidikan Sastra di sekolah, menurut Goenawan lebih penting ketimbang fokus pada penghargaan. Kekurangan Sastra adalah menelaah karya sendiri, ditambah media di Indonesia kurang menyediakan ruang untuk karya Sastra, sehingga perbincangan tentang ini semakin menyempit dan makin berkurang pula elaborasi kritik Sastra.

“Tradisi menulis risalah sangat penting sebagai bagian refleksi dari apa yang telah kita tuliskan. Soal formatnya, bisa online, cetak, itu bukanlah masalah.  Yang penting, kita harus menumbuhkan apresiasi dan kritik penulisan, termasuk pada karya Sastra,” demikian Goenawan Moehammad.

Sadaring Satupena ke-2 dihadiri hampir 200 peserta ini dimoderatori Debra H. Yatim dan Geger Riyanto bertema “Penulis, Pengharagaan, dan Marwahnya”. Sebelum diskusi, penyair Dyah Merta membacakan puisi tentang seoorang ibu yang kesulitan memberikan susu pada anaknya. (Asim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *