Upaya Kokohkan Nilai-nilai Budaya Indonesia Melalui Literasi

by

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Diperlukan gerakan literasi yang mampu mengokohkan kembali nilai-nilai budaya Indonesia yang mulai tergerus, bahkan mendapat tantangan besar dari sebagian kalangan yang ingin memaksakan kehendak melalui paham keagamaan sempit. Akibatnya pluralisme yang hidup damai di bumi Indonesia, juga mengalami gangguan serius.

Demikian salah satu masalah yang mengemuka dalam sarasehan yang digelar perhimpunan penulis Satupena bertema “Kemerdekaan Literasi”, Jumat  (25/6/2021) petang. Acara yang dilaksanakan melalui daring ini menghadirkan empat narasumber; Prof. Azyumardi Azra, Prof. Albertine Minderop, Dr. Nasir Tamara, dan Krisnina Akbar Tandjung MA.

Sarasehan yang dimoderasi Suradi, MSi  ini akan digelar beberapa kali dengan mengambil tema beragam dan narasumber berbeda, dalam rangka menyongsong Kongres kedua Satupena, Agustus mendatang.

Intelektual Muslim Azyumardi Azra mengungkapkan, diperlukan apa yang disebut ‘religious literacy’ atau literasi keagamaan. Karena  masih banyak yang ingin  memaksakan kehendaknya. Mengapa? Sebabnya dari kalanganmasyarakat sendiri, kedua  kalangan organisasi dan lembaga keagama arus utama dan terakhir dari pemerintah yang sering menjadi ‘Polisi Tuhan’ atau mengontrol pemikiran keagamaan masyarakat. “Ini juga jadi masalah. Tugas kita sangat berat,” katanya.

Azyumardi juga menyoroti kemerdekaan literasi, dalam konteks menyangkut kebebasan sosial dan  intelektual. Kenapa, dengan kebebasa sosial dan intelektual itu, warga secara individual maupun kelompok mayarakat dapat membangun kehidupan lebih baik.

“Kita tahulah saat ini, kebebasan intelektual terbatas, karena ada buzzer, ada yang melakukan tindakan dengan  mengganggu jika kita melakukan diskusi atau webinar tentang isu-isu yang sensitif, politik dan macam-macam yang secara politik dianggap sensitif oleh pemerintah, karena itu demokrasi di Indonesia dinilai menurun, karena kebebasa itu terhambat. Banyak dosen yang takut untuk berbicara dan menulis hal yang sensitif. Jadi literasi intelektual merosot,” papar mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah itu.

Dosen  Universitas Darma Persada dan Kajian Wilayah Amerika UI, Prof Albertine Minderop menanggapi soal literais keagamaan yang dikemukakan Azyumardi. Dia mengaku sangat mengkhawatirkan perkembangan terkait praktik keagamaan yang cendrung berfikir sempat dan mengganggap kelompoknya benar, sementara yang lain salah.

Albertine tertarik dengan literasi yang terkait dengan literasi keagamaan. Bagaimana literasi itu dapat mengokohkan nilai-nilai budaya dan keagamaan. Belakangan ini situasinya  mengkhawatirkan. Nilai-nilai budaya kita yang dijunjung tinggi  seperti Pancasila dan NKRI, mulai  digoyang-goyang.

“Kita harus berfikir dan melakukan langkah, bagaimana kita tampil dengan budaya Indonesia. Bagaimana kita menggalang kekuatan apa yang kita punya sejak kemerdekaan, kepribadian Indonesia jangan terkungkung ajaran-ajaran agama (Islam) yang bersifat  teological ignorance, karena tidak berani keluar dari situ,” ujarnya.

Padahal literasi kan bebas, apalagi sekarang merdeka belajar, memberi kebebasan. Bebas  melihat banyak hal, skepstis perlu dan jangan cepat mengambil suatu pegangan yang sebenarnya tidak mendukung apa yang dicita-citakan pendiri bangsa ini.

“Jadi semua harus bersatu, mengembalikan cita-cita perjungan bangsa ini. Kita boleh belajar budaya bangsa mana pun, asal watak bangsa tetap dipegang. Jangan karena pemikiran sempit, kita terpecah belah,” ujar Albertine.

Dilema Penulis dan Perjuangan Satupena

Ketua Umum Satupena Nasir Tamara dalam sarasehan ini mengungkapkan bagaimana sejarah kelahiran Satupena, untuk memperjuangkan nasib penulis, baik dalam kaitan pajak, royalty, dan juga akses penulis ke berbagai sumber penulisan.

“Pemerintah harus membantu profesi penulis, sebab karya penulis menunjukkan peradaban suatu bangsa. Karena itu Satupena ingin membuat suatu ekosistem yang memberi ruang lebih besar bagi penulis dan meningkatkan harkat serta kesejahteraan mereka,” katanya.

Nasir yang menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Sorbonne, Perancis ini menyatakan bahwa organisais penulis itu sangat penting, seperti upaya yang dilakukan penulis terkemuka, Victor Hugo yang membentuk organisasi penulis pada 1835 dan sampai sekarang orgaisasi itu masih berperan untuk memperjuangkan nasib para penulis di Eropa.

Menurut Nasir, para penulis Indonesia punya kesempatan untuk maju dan sejahtera dalam ekonomi seperti para penulis Amerika Serikat dan Eropa, karena karya mereka dibaca jutaan orang, dibuat film, dan sebagainya.

“Jadi potensinya cukup besar, karena itu kita harus bersatu menghadapi berbagai kendala profesi penulis di Tanah Air,” katanya.

Ketua Yayasan Warna-warni, Krisnina Akbar Tandjung yang akrab disapa Nina Akbar mengungkapkan, menjadi penulis  adalah pengabdian dan memang tidak bisa berharap banyak dari sisi ekonomi, khususnya dari royalty dan penjualan buku.

“Yang penting, bagaimana menjadikan buku sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat. Kalau sudah begitu, kebiasaan membaca otomatis terbangun dan  kecedasan masyarakat meningkat,” katanya.

Penulis sejumlah buku, diantaranya “Jejak Gula” dan House of Solo” ini sudah sejak lama bergerak dalam dunia literasi dengan menginisiasi berbagai kegiatan, seperti yang dilakukan di  “Rumah Budaya Kratonan” miliknya   yang mempunyai program mencintai sejarah melalui bangunan kuno

Rumah tradisional Jawa yang terletak di Jalan Manduro No. 6, Kartotiyasan, Kratonan, Serengan, Solo itu sudah menghasilkan ratusan alumni yang mengikuti kegiatan literasi dalam bentuk penulisan karya sesuai pengamatan para pelajar atas berbagai unsur sejarah dan budaya.

Sebagai anggota Satupena, Nina Akbar mengakui organisasi ini sangat bermanfaat bagi para penulis, baik sebagai forum silaturahmi maupun upaya memperjuangkan nasib para penulis.

“Karena itu saya berkeinginan agar setiap minggu ada diskusi  buku baru karya anggota Satupena via webinar. Juga saya usul ada program di radio yang setiap pekan ada diskusi buku baru. Radio mana? Terserah Satupena menjalin kerjasama. Asyiik lho mendengar pembahasan buku lewat radio,” ungkap Nina. (Asim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *