Fahri Hamzah Justru Tawarkan Tiga Skenario untuk Akhiri Ketidakpastian Hukum di Indonesia

by
Waketum DPN Partai Gelora Indonesia, Fahri Hamzah.

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Wakil Ketua DPR RI Periode 2014-2019, Fahri Hamzah menyambut positif insiatif Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan Surat Edaran (SE) tentang Penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), untuk mengakhiri ketidakpastian hukum di Indonesia. Tetapi Kepolisian bukan pembuat UU, karena itu dalam jangka panjang akan ada masalah, apabila dihulu persoalannya Kepolisian tidak dibekali oleh UU yang permanen.

“Untuk itu, saya menyarankan tiga skenario alternatif untuk mengakhiri ketidakpastian hukum di Indonesia. Ini usul saya, dan mudah-mudahan bisa dimengerti terutama para pembuat hukum, dalam hal ini DPR dan Presiden,” kata Fahri yang kini menjabat Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia dalam keterangan tertulisnya, Selasa (23/2/2021).

Menurut Fahri, ke tiga skenario alternatif yang diusulkannya adalah untuk mengakhiri ketidakpastian hukum di Indonesia, yang bisa berakibat kepada penilaian jatuhnya indeks demokrasi seperti yang terjadi tahun ini. Skenario pertama adalah melakukan revisi terhadap Undang-Undang (UU) yang bermasalah, seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sehingga pasal-pasal direvisi.

“Tapi ini track-nya agak lama, karena itu saya lebih setuju dengan skenario kedua, yaitu skenario yang cepat. Presiden mem-Perppu UU ITE sehingga secara otomatis pasal bermasalah dihilangkan, agar segera ada kepastian hukum,” kata dia.

Skenario yang ketiga yang paling komprehensif, masih kata Fahri adalah menuntaskan pembahasan dan pengesahan RUU KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) karya anak bangsa agar banga memiliki satu kesatuan hukum. Sebagai criminal constitution atau criminal code satu untuk seterusnya dan selamanya.

“Sehingga ini akan memberikan kepastian hukum yang lebih luas kepada seluruh Undang-Undang yang mungkin benuansa penuh ketidakpastian hukum tersebut,” ujarnya.

Karena itu, sambung Fahri, sebaiknya dibuat UU yang permanen, yang bersumber dari Perppu atau Revisi UU atau yang lebih permanen adalah pembahasan pengesahan KUHP yang pada periode lalu sebetulnya telah menyelesaikan pembahasan tingkat pertama.

“Tinggal perlu penyelesaian dan pengesahaan pada tingkat kedua yang dapat dipercepat menurut ketentuan UU P3 (Pembuatan Perarturan dan Perundangan-undangan) itu dapat dipercepat apabila pada periode lalu sebuah RUU telah menyelesaikan pembahasan pada tingkat pertama dan itu yang terjadi pada akhir periode DPR 2012-2019 yang lalu,” kata Fahri. (Jal)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *