Sanksi Pelanggar Prokes Pandemi Covid-19, Bagaikan Pisau Bermata Dua

by
Ilustrasi.
Teddy Yamin.

Oleh Teddy Mihelde Yamin, Direktur Eksekutif Cikini Studi

SUDAH pasti tak semua kita setuju dengan cara perjuangannya. Sah saja. Tetapi sadarkah kita, kini perlahan semakin banyak (kalau nggak siap dibilang jutaan), rakyat dalam diamnya memaklumi sikap ngotot sang figur selama ini. Lama ‘tertahan’ di luar tak kembali (seolah dalam pengasingan), dan akhirnya pulang memperjuangkan keadilan yang diyakininya.

Bagus kalau permasalahan ‘berkerumun’ ditegakan, semoga yang dipetik sebanding dengan apa ditanamnya. Sepanjang menggunakan cara yang benar. Polrinya bekerja harus ‘promoter’ juga. Masalahnya kalau kita lihat sekeliling, apakah perlakuan yang sama juga diperlakukan kepada kelompok dan kepentingan lain? Jika tidak, barangkali baru sebatas inilah bentuk keadilan yang mampu dipertontonkan.

Di lain pihak, kasus korupsi di rentang waktu sama yang terang benderang merugikan, ternyata kalah menghebohkannya. Sekalipun dampaknya jelas merugikan ‘kocek’ negara dan rakyatnya. Bisa jadi, ada yang menganggap tak menjadi ancaman berarti bagi penguasa, kalah seru. Mungkin juga karena pejabat, menteri atau tokoh partai terjerat korupsi hal biasa di republik ini.

Terkait ancaman kepada sang tokoh, tak tanggung-tanggung. Ancaman yang disangkakan pelanggaran UU Karantina Kesehatan, dimana sanksi pidananya jika terbukti menohok tajam. Semoga bukan pemaksaan, walau faktanya DKI Jakarta saat ini dan daerah lainnya hanya PSBB Pergub, bro. Dimana sanksi paling tinggi pelanggar PSBB itu denda untuk perseorangan dan pencabutan izin usaha bagi perusahaan. Bukan dalam karantina kesehatan sebagaimana dimaksud dalam UU tersebut. Karantina kesehatan yang mewajibkan pemerintah menyantuni bermacam kebutuhan hidup dasar rakyatnya seperti diatur dalam UU tersebut.

Jadi jika UU tersebut digunakan, bisa ditebak akhirnya. Tetapi semua bisa terjadi kok!
Apalagi jika bicara dampaknya dalam konteks UU No. 6/2018 memang ada pidananya, dengan catatan jika menimbulkan wabah yang meluas dan tidak terkendali. Kata ‘menimbulkan’ itu pun butuh pembuktian. Tetapi biarlah pakar hukum dan pengadilan membuktikannya. Kita ikuti saja.

Yang menjadi konsen kita justru hal semacam ini, yang bakal terus menimbulkan kegaduhan, hingga berpotensi merusak kondusivitas. Bukankah kondisi tersebut justru kontraproduktif dengan upaya penanggulangan pandemi Covid-19, termasuk pemulihan ekonomi yang kini terus digaungkan oleh pemerintah.

Begitulah politik dan konsekuensi menjadi sosok yang pengikut dan pengagumnya banyak. Terlebih saat semakin hari bertambah berat himpitan hidup rakyat yang tidak mudah di masa pandemi ini. Tak heran bila ada figur yang bisa mengartikulasikan kepedihan dan perlawanan langsung disambut meriah, seolah mendapatkan momentum.

Aku menduga bisa jadi berbagai hambatan dan halangannya selama ini justru membuat sang figur menjadi semakin besar, populer dan diyakini. Jadi kalaupun mereka dipenjara, bukan berarti kalian harus menari-nari. Sebaliknya kalaupun pihakmu benar tidak otomatis pihak mereka salah. Kalaupun pihak mereka salah, tidak otomatis pihak kalian benar. Tidak ada kebenaran yang absolut.

Memang di balik demokrasi, ada hitungan jumlah. Jumlah bilangan itu yang membuat ‘happy’, namun sebaliknya jumlah bilangan juga membuat gerah dan merasa terancam di pihak lain. Begitulah tajamnya arti jumlah.

Sejajar dengan pandemi Covid-19 ini, yang ternyata bisa digunakan buat berbagai kepentingan.
Akhirnya, jumlah besar dan pandemi bagaikan pisau bermata dua. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *