Sekjen Dewan Papua Ingin Pengelolaan Otsus Tidak Lagi Dilakukan oleh Pemda

by

BERITABUANA.CO, PAPUA– Sekertaris Jenderal Dewan Papua Thaha Al Hamid memberikan cerita mengenai asal muasal otonomi khusus (Otsus) Papua. Menurut Thaha, Otsus tersebut hasil dari Kongres Rakyat Papua yang digelar pada bulan Mei-Juni tahun 2000.

“Dalam kongres tersebut kita membentuk beberapa komisi. Salah satu komisi adalah Komisi Hak Papua,” kata Thaha lewat keterangannya, Rabu (4/11/2020).

Menurut Thaha, Kongres sepakat untuk melakukan akselerasi pembangunan hak-hak dasar rakyat Papua. Di mana, di dalam hak-hak dasar ini ada hak ekonomi, emansipasi sosial, budaya, pendidikan, dan kesehatan.

“Hasil dari Komisi Hak Papua inilah yang kemudian diadopsi oleh tim asistensi Otsus untuk kemudian dijabarkan dan menjadi UU Otonomi Khusus Papua,” tuturnya.

“Hasil Kongres yang lain adalah, otonomi khusus datang sebagai win-win solution,” sambung Thaha.

Ia menuturkan, Otsus tidak merubah mimpi rakyat Papua, namun kesepakatan bersama. Kemudian, kita paham bahwa Otsus adalah solusi politik bagi masyarakat Papua.

“Dulu saat jaman Belanda, Belanda mendukung Papua merdeka dengan mempersiapkan Papua untuk betul-betul menjadi sebuah bangsa yang layak berada di pentas dunia,” jelasnya.

Thaha menambahkan, Papua tumbuh dari beragam suku dan tidak boleh terjadi konflik kultural. Untuk itu, perlu membangun kapasitas sumber daya manusia (SDM) supaya dengan Otsus di atas kapal Republik Indonesia, semua orang Papua merasa aman.

“Otsus mengerjakan empat hal, pengembangan pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat, dan infrastruktur,” ujar Thaha.

Namun, dalam pelaksanaan terjadi masalah. Masalah yang terjadi di tingkat pengelolaan dan pelaksanaan, dan bukan masalah Otsusnya.

“Oleh karena itu, bukan Otsus yang perlu kita tolak, namun marilah kita bicara bagaimana memperbaiki pengelolaan dan pelaksanaannya ke depan,” paparnya.

” Hemat saya, Otsus tidak boleh lagi dikelola pemerintah daerah sebagaimana yang sekarang ini. Dengan menggabungkan dana Otsus dengan APBD, jujur saja rakyat tidak tahu betapa besar dan bagaimana peruntukan dana Otsus. Oleh karena itu, de factor di Papua, terutama kampung-kampung masih membutuhkan dukungan dana Otsus ini,” tambah Thaha.

Ia menjelaskan, bahwa Otsus tidak pernah berakhir, sebab tidak akan pernah ada Otsus jilid 1, jilid 2. “Yang benar, Otsus adalah sebuah kesepakatan politik yang dulu dibuat pada tahun 2001 dan karena itu masih tetap efektif dan berlaku hingga kini,” tegasnya.

Tetapi, yang menjadi evaluasi adalah pelaksanaan dan penggunaan dana Otsus, karena sudah dilaksanakan selama 20 tahun namun suara Papua merdeka masih tetap nyaring di luar.

“Itu artinya ada masalah. Ada yang berpikir bahwa jika tolak Otsus, Papua langsung referendum. Hal tersebut tidak mungkin karena saya paham mekanisme di PBB. Ini tidak sama dengan otonomi khusus di Quebec, Kanada atau Bougainville, PNG karena di sana memang menyebut bahwa setelah 25 tahun referendum bisa dilakukan,” ungkap dia.

Sedangkan, di dalam Otsus Papua tidak ada pasal yang menyebutkan hal demikian. “Kemudian, Papua tidak ada di dalam Komisi Dekolonisasi PBB, karena itu tidak bisa bicara referendum tanpa peta jalan yang jelas,” katanya.

Penentuan sebuah agenda untuk sekedar dibahas di PBB pun butuh waktu minimal satu tahun, tidak asal memasukkan agenda.

“Silahkan saja orang bicara Papua merdeka, namun mandat saya di Dewan Papua adalah berjuang dengan cara damai dan dialog. Salah satu keputusan kongres rakyat Papua yang harus Dewan Papua amankan adalah hak-hak dasar masyarakat Papua, di situ Otsus. Tidak seorang pun boleh melarang orang untuk meraih kesejahteraan,” ucap Thaha.

“Rakyat di kampung-kampung butuh jalan, butuh pengembangan ekonomi rakyat, butuh sekolah dan rumah sakit yang baik. Karena itu, biarkan Otsus jalan terus,” tutup Thaha. (006)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *