Ini Pernyataan Sikap Masyarakat Sipil Atas Kekerasan di Solo

by
Ilustrasi aksi kekeran.

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Sejumlah aktivis pro demokrasi yang bergabung dalam masyarakat sipil, mengecam pelaku kekerasan atas dasar perbedaan keyakinan yang terjadi di Solo, Jawa Tengah pada Sabtu (8/8/2020) lalu. Dikatakan, keyakinan apapun tidak
boleh jadi dasar bagi warga negara untuk melakukan kekerasan, atau mengambil tindakan perusakan, dan juga ancaman atau intimidasi.

“Selama keyakinan yang dimaksud tidak dinyatakan bertentangan dengan Pancasila atau konstitusi negara, maka keyakinan itu memiliki hak hidup di negara kita. Bahkan pada keyakinan yang bertentangan dengan Pancasila atau konstitusi kita sekalipun, tidak diperkenankan adanya tindakan kekerasan atas mereka,” demikian salah satu butir pernyataan sikap masyarakat sipil yang diterima beritabuana.co, Senin (10/8/2020).

Masyarakat sipil tersebut adalah Ray Rangkuti, Omi Komaria Madjid, Prof Musdah Mulia, Jeirry Sumampow, Alida Astarsis, Sulhan Askandar, Jojo Rohi. Kemudian, Ari Nurcahyo, Augus Mellaz, Fachrurozi Majid, Adinda Tenriangke Muchtar, Indah Ariani, Junaidi Simun. Ada juga Latri M Margono, Rasyid Nasution, Muh. Ikhsan AR, S. Rubaida, Aulia Akualani, Adinda Bunga Syafina dan Alamsyah M. Djafar.

Seperti diketahui, aksi kekerasan tersebut terjadi pada saat diadakan upacara malam sebelum ijab kabul (adat Jawa) di kediaman Alm. Assegaf bin Jufri, Kampung Mertodranan, Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo.

Puluhan orang dari kelompok intoleran menyerang acara tersebut dan mengakibatkan tiga anggota keluarga luka-luka hingga di rawat di rumah sakit. Massa juga merusak tiga mobil dan dua sepeda motor milik keluarga korban.

Masyarakat sipil ini sangat prihatin atas kejadian tersebut, apalagi menurut mereka, ini bukan kali pertama kekerasan atas dasar perbedaan keyakinan terjadi.Bahkan telah berulang kali. Meski, saat yang sama, juga telah berulangkali para elit bangsa selalu
menggaungkan bahwa negara tidak boleh kalah dari para perusuh dan pengganggu toleransi bangsa.

Kenyataannya, kekerasan atas dasar keyakinan terus berulang. Dan sikap negara juga terlihat ‘santai’ menghadapinya, khususnya yang terjadi di Solo, Sabtu malam kemarin.

“Maka atas dasar itu, kami sangat menyesalkan sikap dan tindakan aparat penegak hukum dalam menangani kasus ini,” kata merekam.

Prihatinnya lagi, karena dalam berbagai berita disebutkan bahwa saat kejadian dimaksud, petugas dari aparat penegak hukum berada di lapangan. Tapi, entah kenapa kejadian kekerasan seperti ini tetap dapat terjadi bahkan di hadapan petugas keamanan sekalipun.

Dan lebih mengecewakan adalah sudah lebih dari 24 jam peristiwa dimaksud berlalu, belum ada terdengar langkah aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan penegakan hukum. Padahal, kasus kekerasan ini terjadi di hadapan aparat penegak hukum. Maka sangat mengecewakan setelah lebih dari 24 jam, tak terdengar adanya
upaya penegakan hukum atas peristiwa ini.

Oleh karena itulah, masyarakat sipil mendesak agar Kapolda Jawa Tengah dan Kapolres Surakarta segera melakukan proses penegakan hukum terhadap siapapun yang
melakukan kekerasan karena perbedaan keyakinan tersebut. Aparat penegak hukum harus memastikan bahwa prinsip negara kita yang menjamin bahwa semua warga negara sama di mata hukum, bebas untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan
keyakinan masing-masing harus berdiri tegak.

“Ia tidak boleh dikurangi, ataupun
dicurangi. Karena itulah salah satu prinsip penting dalam negara kita yang dijamin secara konstitusional,” begitu penutup pernyataan sikap tersebut. (Asim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *