Ternyata Publik Lebih Cemas Kondisi Ekonomi Ketimbang Corona

by
Rully Akbar, peneliti LSI Denny JA.

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Setetelah melewati 5-6 bulan dicekam oleh pandemik virus corona atau Covid-19, terjadi pergeseran bentuk kecemasan. Semula kecemasan virus corona menjadi histeria dunia dan jutaan manusia terpapar virus asal Kota Wuhan, Tiongkok, ditambah ratusan ribu orang wafat karena virus tak ada obatnya. Dikampanyekan Work From Home (WFH), Online Class, Lock down hingga PSBB.

‘Tapi kini publik lebih cemas oleh kesulitan ekonomi. Bahkan kecemasan ancaman kesulitan ekonomi melampaui kecemasan terpapar virus corona,” sebut peneliti dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Rully Akbar melalui siaran persnya, Jumat (12/6/2020) saat menyampaikan kesimpulan riset LSI Denny JA, minggu kedua bulan Juni 2020. Riset itu menganalis data sekunder dari berbagai sumber dari dalam dan luar negeri.

LSI Denny JA menemukan lima alasan mengapa di Indonesia juga mengalami pergeseran itu, dari kecemasan terpapar oleh virus corona beralih dan dikalahkan oleh kecemasan terpapar virus ekonomi. Tiga sumber data yang LSI Denny JA gunakan untuk menggambarkan beralihnya bentuk kecemasan, seperi dari Gallup Poll, Worldometer, serta riset ekperimental Denny JA dan Eriyanto.

“Sekarang kondisinya, masyarakat lebih mencemaskan konteks ekonomi, ketimbang takut terhadap Covid-19,” ungkap Rully seraya menuturkan, perubahan terjadi di Amerika Serikat (AS) berdasarkan data Gallup Poll. Pada 6-12 April 2020, kekhawatiran atas virus mencapai 57%, sedangkan ekonomi hanya 49%. Sementara pada 11-17 Mei, kecemasan terhadap virus justru menjadi 51%, dan ekonomi naik di angka 53%.

Rully menambahkan, konteks di Indonesia, publik yang mengkhawatirkan kondisi ekonomi sebesar 67,4%, dan terpapar virus hanya 25,3%. Voxpopuli mengadakan survei via telepon terhadap 1.200 responden di lapangan pada 26 Mei-1 Juni 2020. Rully pun mengungkap data studi ekperimental kolaborasi Denny JA dan Eriyanto.

“Secara kesimpulan, hasil studi eksperimental hampir mirip dengan dua data sebelumnya. Tingkat ketakutannya lebih tinggi di kalangan responden ketika diberikan informasi mengenai konteks ekonomi ketimbang Covid-19,” ujar Rully.

Ia menyebutkan, riset yang dilakukan LSI Denny JA menemukan lima alasan. Pertama, meluasnya berita kisah sukses banyak negara. Cukup massif berita media konvensional ditambah media sosial memberitakan banyak negara sudah melampaui puncak pandemik. Virus corona di negara tersebut relatif bisa dikendalikan, walau vaksin belum ditemukan.

“Negara yang sering diberitakan sukses adalah Selandia Baru, Jerman, Hong Kong, dan Korea Selatan. Walau vaksin belum tersedia, contoh kongkret negara yang sukses itu sudah cukup mengurangi kecemasan atas virus. Apalagi diberitakan pula kegiatan ekonomi di negara tersebut secara bertahap mulai hidup lagi. Berita ini sampai meluas kepada publik Indonesia baik melalui media konvensional ataupun media sosial,” ungkapnya.

Kedua, meluasnya kemampuan protokol kesehatan dalam mengurangi tingkat pencemaran virus corona. Social distancing, cuci tangan, masker adalah tiga cara paling populer dalam protokol kesehatan itu. Terbentuk pesan kuat, walau vaksin belum ditemukan, manusia punya alat lain untuk melawan, untuk melindungi diri.

“Ditemukannya protokol kesehatan yang efektif ini juga mengurangi tingkat kecemasan. Jadi tidaklah benar kita sama sekali tak berdaya menghadapi virus walau vaksin belum ditemukan,” ucapnya.

Ketiga, di sisi lain, tabungan ekonomi umumnya publik luas semakin menipis. Semakin lama berlakunya lockdown, pembatasan sosial, ditutupnya aneka dunia usaha, semakin berkurang kemampuan ekonomi rumah tangga. Saat kecemasan atas terpapar virus corona menurun, kecemasan atas kesulitan ekonomi meninggi. Terutama dirasakan di lapisan menengah bawah, apalagi sektor informal, bayangan akan kesulitan ekonomi, bahkan kelaparan terasa lebih mengancam dan kongkret.

Keempat, jumlah warga yang secara kongkret terkena kesulitan ekonomi jauh melampaui jumlah warga yang terpapar virus corona. Menaker melaporkan jumlah PHK ditambah yang dirumahkan hingga Juni 2020 sekitar 1,9 juta orang. Sementara Asosiasi Pengusaha Indonesia melaporkan, jumlah yang lebih banyak lagi karena juga menghitung sektor informal. Total yang di PHK sudah 7 juta warga. Hingga 11 Juni 2020, dari data Worldometer, yang terpapar virus corona di Indonesia kurang dari 35.000 warga. Yang wafat karena virus corona kurang dari 2.000 warga.

Kelima, hingga Juni 2020, semakin hari grafik yang terpapar, apalagi yang wafat karena virus corona semakin landai dan menurun. Sebaliknya, grafik kesulitan ekonomi, diukur dari yang di PHK, yang mengambil pesangon Jamsostek bertambah dari bulan ke bulan.

“Grafik ini ikut juga membuat kecemasan atas terpapar virus corona melemah, sementara kecemasan atas virus ekonomi meninggi,” tutup Rully. (Asim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *