Kritik Tajam RUU Polri, Alajer Nusantara Desak Reformasi Total

by
Founder Alajer Nusantara, Moh. Mahsun Al Fuadi. (Foto: Istimewa)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Di tengah sorotan tajam terhadap lembaga penegak hukum, pendiri Alajer Nusantara, Moh. Mahshun Al Fuadi alias Fuad, menyampaikan kritik keras terhadap instiusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan proses revisi Undang-Undang Polri yang dinilainya gelap, tertutup, dan mengarah pada otoritarianisme baru.

Fuad dalam keterangan persnya, Selasa (3/6/2025) menegaskan bahwa Polri tengah mengalami krisis moral dan kehilangan kepercayaan publik. Ia menyebut bahwa alih-alih menjadi pelindung masyarakat, institusi kepolisian justru berubah menjadi sumber ketakutan dan pelanggaran hukum.

“Polri hari ini sudah kehilangan arah. Bukan lagi penjaga ketertiban, tapi sumber pemerasan dan kekerasan. Kita terlalu sering dibohongi istilah ‘oknum’, padahal yang rusak adalah sistemnya,” tegas Fuad.

Ia secara khusus menyoroti draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri yang hingga kini tidak pernah dibuka secara utuh ke publik. Fuad menilai proses legislasi berjalan secara tertutup dan tidak mencerminkan prinsip demokrasi.

“Bagaimana mungkin kita bicara pembaruan hukum, tapi masyarakat tidak tahu isi drafnya? Ini bukan reformasi hukum, ini pengkhianatan terhadap demokrasi,” katanya lagi..

Menurutnya, RUU tersebut bukan memperbaiki Polri, tapi malah memperkuat kekuasaan tanpa kontrol. Ia menyebut bahwa draf RUU membuka peluang intervensi aparat dalam kehidupan sipil, termasuk ranah digital, tanpa mekanisme pengawasan yang jelas.

“RUU ini legalisasi otoritarianisme baru. Polisi akan punya kuasa lebih besar, tanpa pengawasan eksternal yang memadai,” ujarnya.

Deretan Kasus, dari Sambo hingga Teddy Minahasa

Fuad juga mengulas sederet kasus besar yang mencoreng institusi Polri. Ia menyebut pembunuhan berencana oleh Ferdy Sambo (2022) dan keterlibatan Irjen Teddy Minahasa dalam peredaran narkoba (2023) sebagai bukti bahwa krisis institusional Polri sudah berada di titik nadir.

“Kalau polisi bisa membunuh polisi, kalau jenderal bisa jadi bandar narkoba, lalu siapa yang bisa kita percaya? Reformasi tidak bisa ditunda,” ucapnya seraya menyoroti bahwa praktik penyiksaan di tahanan, pemerasan terhadap warga sipil, hingga kriminalisasi aktivis sudah menjadi pola struktural, bukan sekadar kasus per kasus.

Desakan Copot Kapolri dan Agenda Reformasi

Lantas, Fuad menyerukan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk mencopot Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo yang dinilainya gagal membenahi internal institusi dan membiarkan budaya kekuasaan tumbuh liar. “Kapolri harus mundur atau dicopot. Di bawah kepemimpinannya, Polri makin arogan dan jauh dari rakyat,” katanya.

Untuk itu, ia bersama Alajer Nusantara mengajukan sejumlah agenda reformasi kepolisian, yang mencakup:

1. Revisi total UU Polri dengan partisipasi publik dan transparansi penuh.

2. Pembentukan lembaga pengawas eksternal yang benar-benar independen dan memiliki kewenangan hukum.

3. Audit menyeluruh terhadap struktur dan rekrutmen di tubuh Polri.

4. Pendidikan karakter dan hak asasi manusia sejak proses rekrutmen hingga kepemimpinan.

“Jika Polri tak mau berubah, rakyat harus bersikap, ” tegas Fuad mengakhiri pernyataannya dengan pesan keras, reformasi total adalah syarat mutlak agar Polri kembali menjadi institusi yang dipercaya dan jika negara ingin demokrasi yang sehat, hukum tidak boleh jadi alat ketakutan. (Ery)