DI tengah riuh rendah panggung politik nasional, isu pemakzulan Gibran Rakabuming Raka mengemuka sebagai wacana publik yang hangat. Namun di balik dinamika politik itu, muncul satu pertanyaan mendasar yang kerap terabaikan: sejauh mana keterbukaan informasi dijaga dalam proses ini?
Sebagai negara demokratis, Indonesia menjunjung tinggi prinsip transparansi sebagai salah satu pilar pemerintahan yang baik. Dalam konteks pemakzulan—yang menyangkut jabatan publik, legitimasi politik, dan kehendak rakyat—keterbukaan informasi bukan hanya pelengkap, melainkan keharusan. Rakyat berhak tahu: apa landasan hukum pemakzulan ini? Apakah ada pelanggaran serius yang dibuktikan secara objektif? Bagaimana prosedur ini dijalankan dan oleh siapa saja?
Sayangnya, diskursus yang berkembang di ruang publik lebih banyak diwarnai oleh opini tanpa data, narasi yang penuh prasangka, dan minimnya rujukan pada dokumen resmi.
Media sosial memperkeruh suasana, sementara lembaga publik belum sepenuhnya proaktif menjelaskan duduk perkaranya kepada masyarakat. Ini adalah alarm bagi demokrasi: ketika informasi dikuasai oleh suara paling keras, bukan oleh fakta yang paling terang.
Pemakzulan adalah proses konstitusional yang serius, bukan sekadar manuver politik. Maka, seluruh prosedurnya harus dilakukan secara terbuka, dapat diakses publik, dan mengedepankan prinsip keadilan. Keterbukaan bukan untuk mempermalukan atau membela siapa pun, tetapi untuk menjaga kepercayaan rakyat terhadap sistem.
Jika orkes pemakzulan ini terus mengalun tanpa nada transparansi, maka yang tercipta bukan harmoni demokrasi, melainkan kegaduhan yang justru mencederai legitimasi seluruh prosesnya. Kita semua, sebagai warga negara, layak mendapatkan informasi yang utuh, jujur, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Demokrasi tumbuh subur bukan dari bisik-bisik di balik tirai kekuasaan, melainkan dari terang benderang informasi yang terbuka untuk semua.
*Rizky Priyatna* – ( Pengamat Keterbukaan Informasi )