BERITABUANA.CO,JAKARTA – Anggota Komisi II DPR RI Mohammad Toha menyarankan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan evaluasi total terhadap pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) 2024. Pasalnya, partisipasi pemilih begitu rendah , banyak masyarakat justru melakukan golongan putih atau golput.
“Penurunan partisipasi itu menjadi bahan evaluasi, kenapa partisipasi pemilih bisa menurun? Apa penyebabnya?” kata Toha dalam keterangannya yang diterima Jumat(29/11/2024).
Pilkada serentak telah diselenggarakan di sejumlah wilayah pada hari Rabu (27/11/2024) untuk memilih gubernur dan wakil gubernur , bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota. Saat ini KPU sedang melakukan penghitungan suara secara berjenjang dan pada waktunya akan diumumkan pemenang pilkada tersebut.
Muhammad Toha mengutip pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), dimana disebut tingkat partisipasi pilkada di sejumlah daerah berada di bawah 50 persen. Contoh antara lain di Tambora, Jakarta Barat, dan Bandung, Jawa Barat, pemilih yang menggunakan hak suaranya kurang dari separuh dari daftar pemilih tetap (DPT).
Sementara survei Charta Politika menunjukkan bahwa Pilkada Jakarta hanya diikuti 58 persen daftar pemilih tetap. Jadi, ada 42 persen pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya alias golput pada pilkada serentak kali ini.
Toha mengatakan , KPU harus melakukan evaluasi total terhadap pelaksanaan pilkada kali ini. Jika angka partisipasi Pilkada 2024 hanya 50 persen, bahkan di bawah 50 persen, maka angka partisipasi mengalami penurunan dibanding pilkada sebelumnya.
Pada Pilkada 2015 angka partisipasi pemilih mencapai 64,02 persen. Pada Pilkada 2017 angkanya naik menjadi 74,20 persen. Kemudian pada Pilkada 2018, tingkat partisipasi pemilih mencapai 73,24 persen. Sedangkan partisipasi pemilih pada Pilkada 2020 sebanyak 73,4 persen.
Anggota DPR dari Fraksi PKB ini mengatakan, tentu ada sejumlah kemungkinan yang menjadi penyebab menurunnya angka partisipasi pemilih. Antara lain, apakah masa kampanye yang pendek menjadi penyebab penurunan partisipasi.
Dengan masa kampanye yang pendek, maka waktu sosialisasi para pasangan calon (paslon) sangat terbatas, sehingga masyarakat tidak mendapatkan informasi yang cukup.
“Tentu ini harus dikaji secara mendalam,” ucap Toha.
Penyebab lainnya bisa saja sosok calon yang diusung tidak diminati masyarakat. Mungkin karena calon tersebut tidak dikenal masyarakat atau karena kandidat itu dari luar daerah, sehingga pemilih tidak menyukainya.
Karena masyarakat tidak senang dengan pasangan calon yang diusung, mereka kemudian memutuskan untuk golput.
“Tentu kita akan menunggu evaluasi dan kajian mendalam yang dilakukan KPU,” tegasnya.
Toha mengingatkan Pilkada 2024 menelan biaya cukup besar, sekitar Rp 37,4 triliun. Jadi, sangat merugi jika angka partisipasi pemilihnya rendah. Pilkada merupakan pesta demokrasi. Yang berpesta adalah rakyat.
“Jika rakyat enggan menyalurkan hak pilihnya, maka ada yang salah dengan pesta itu,” pungkasnya. (Asim)