TEKA-teki kapan pembalasan Iran ke Israel, telah menyebabkan kegelisahan psikologis. Kegelisahan bagi kawasan (regional), kegelisahan bagi masyarakat Israel, dan kegelisahan dunia.
Perekonomian Israel, pun terganggu, karena kekhawatiran yang tak pasti. Membuat gerak ekonomi Israel menjadi “wait and see”. Antara ‘iya’, dan ‘tidak’.
Sesungguhnya, Israel lebih menginginkan kepastian. Situasi ini ‘status quo’, terus digantung Iran. Ketidakpastian mengejawantah, menjadi ‘anxiety’. Sementara Israel, juga tak berani memulai serangan.
Iran sendiri, secara “update”, masih rileks dan, seolah-olah ‘urung’ melaksanakan ancamannya. Ancaman yang pernah dikemukakan pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, setelah terbunuhnya pemimpin Biro Politik Hamas, Ismail Haniyeh. Diyakini, Iran akan mewujudkan pembalasannya.
Tapi, kapan? Terbunuhnya Ismail Haniyeh (31/8) di Teheran, sehari setelah dilantiknya ahli bedah jantung Masoud Pezeshkian sebagai Presiden Iran. Telah memunculkan rasa sakit hati yang mendalam bagi Iran. Tamu undangan pelantikan Presiden, harus tewas di tempat yang keamanannya sangat steril.
Ini tentu sangat “memalukan” dan menyesakkan. Meskipun belum ada konfirmasi resmi, namun Iran menuduh Israel terlibat dalam serangan ini. Serangan-serangan serupa, yang menyebabkan terbunuhnya sejumlah Jenderal Iran, sebenarnya sering terjadi.
Namun, itu tidak terjadi di ‘jantung’ Teheran. Terjadi di negara “proxy-proxy Iran: Lebanon, Suriah, Irak, Yaman. Jenderal Qasem Soleimani (Komandan Pasukan pengawal Revolusi Iran/IRGC di Irak), tewas setelah dua rudal ‘helfire’ milik AS menghantam mobil yang dia tumpangi (3 Januari 2020). Di Kota Baghdad (Irak).
Para komandan Revolusi Iran (IRGC), terus menjadi incaran Israel dan ‘patron-client’-nya. Brigadir Jenderal Mohammad Reza Zahedi, dalam serangan udara Israel 1 April 2024 terhadap konsulat Iran di Damaskus (Ibukota Suriah), tewas. Ikut tewas bersama Zahedi, wakilnya Brigjen Hadi Haji Rahimi.
Komandan Senior Unit Elite IRGC (Al-Quds) Reza Zahedi, adalah unit yang memang bertujuan melakukan operasi khusus di luar wilayah Iran. Keberadaan unit Al Quds untuk mendukung sekutu-sekutu Iran di Timur Tengah, seperti Houthi (Yaman), Hezbollah (Lebanon), dan Irak.
Brigjen Mohammad Reza Zahedi, adalah Perwira berpangkat paling tinggi ke-2 yang terbunuh, setelah Jenderal Qasem Soleimani. Tugasnya, selain membantu para “proxy” (sekutu), juga melakukan operasi-operasi rahasia di (Lebanon dan Suriah). Seperti halnya Israel, yang juga melakukan hal yang sama di Timur Tengah.
Sejatinya, Iran tak akan bereaksi ‘ekstreem’ atas kematian dua jenderalnya: Qasem Soleimani dan Mohammad Reza Zahedi. Itu sudah dihitung sebagai risiko klasik, sejak kekalahan ‘proxy’ Amerika Serikat (AS) Shah Reza Pahlevi, lewat Revolusi Iran (1978). Seluruh anggota Rezim, pun terusir tanpa sisa.
Sejak itulah, Iran memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel dan sang ‘patron’ (AS). Sejak itu pulalah, operasi-operasi intelejen yang dilakukan AS dan Israel terhadap Iran, berlangsung. AS khawatir, pengaruh Revolusi Iran akan menjalar ke seluruh kawasan “proxy”nya, juga para sahabat Arab-nya.
Berbagai embargo pun dilakukan oleh negara-negara Barat dan AS, untuk mengucilkan Iran. Namun, ini justru membuat Iran semakin mandiri dalam persenjataan dan ekonomi. Iran justru mampu melahirkan “proxy”nya di Lebanon (Hezbollah), sebagai akibat dari perang saudara Lebanon (1982).
Hezbollah Lebanon, dengan jaringan sosial yang luas, organisasi politik, para-militer. Telah membangun reputasinya, sebagai negara di dalam negara, di Lebanon. Lebanon Selatan, markas Hezbollah, secara geografis membuatnya langsung berhadapan dengan Israel, di sebelah Utara.
Sebagai negara yang memang kukuh membela perjuangan rakyat Palestina, Iran dengan mudah menggerakkan “proxy”nya, Hezbollah. Sementara di Tepi Laut Merah, Iran juga mampu me-“remote” “proxy”nya yang lain, Houthi, untuk mengganggu lalulintas kapal dagang (persenjataan) yang menuju dan dari Israel, lewat palabuhan Eliat (Israel).
Iran terus ‘memainkan’ perasaan Israel. Menyangkut, kapan serangan sebagai balasan atas kematian Ismail Haniyeh, dilaksanakan.
Editorial “Jerusalem Post” kemarin (20/8) mengutip Laksamana Muda Ali Fadavi (Wakil Komandan Korp Garda Revolusi Iran/IRGC). “Iran akan menanggapi Israel pada waktu dan tempat yang tepat,”katanya.
Ali Fadavi menambahkan, Israel telah melakukan “kejahatan besar”, dengan membunuh Haniyeh. “Iran akan menghukum lebih,”.
Perang “urat syaraf” (psywar), saat ini tengah dimainkan Iran terhadap Israel dan “patron-client”nya. Kegelisahan jelas nampak pada AS, yang mengutus Menteri Luar Negeri Antony J. Blinken untuk percepatan (akselerasi) gencatan senjata Hamas-Israel. Sebelum serangan Iran benar-benar terjadi pada Israel.
Pertemuan Doha (Qatar) 15 Agustus lalu yang tak dihadiri Hamas, gagal menghasilkan poin gencatan senjata. Hamas yang memahami kecemasan Israel-AS, atas “buying time” Iran, tetap kukuh pada poin: gencatan senjata permanen, dan tarik diri Israel dari Gaza. Sementara Israel ingin sebaliknya: tidak permanen, dan menolak tinggalkan Gaza.
Iran, secara implisit. Menjadikan ‘gencatan senjata’ Israel-Hamas, sebagai kartu truf untuk mengurungkan serangan balasannya terhadap Israel.
AS yang November mendatang akan mengadakan Pemilu Presiden, sangat terganggu dengan konflik Palestina-Israel. Terlebih ‘image’ Israel sebagai pelanggar ‘humanity’ di Gaza, akan berpengaruh terhadap elektabilitas para capres yang mesti berkontestasi. Satu sisi, Kongres dan lobi Yahudi AS akan melihat keberpihakan sang Capres.
Di sisi lain. Pelanggaran kemanusiaan terhadap anak-anak dan wanita Gaza, menimbulkan antipati bagi pemilih non-Yahudi di AS.
Penulis terkenal, Bobb Biehl dalam buku “Increasing Your Leadership Confidence” mengatakan. “Sebuah perubahan pada pemimpin, bisa masuk akal. Tapi, tetap menyebabkan kegelisahan psikologis”.
Pemimpin garis keras Hamas Yahya Sinwar versus pemimpin garis keras sayap kanan Israel: Benyamin Netanyahu plus Bazalel Smotrich (Menteri Keuangan) dan Ittamar Ben-Gvir (Menteri Keamanan Dalam Negeri), adalah para pemimpin dari pihak yang berseteru. Kita berharap ada perubahan sikap dan kelunakan hati pada keduanya. Demi kemanusiaan dan perdamaian.
Ibarat pepatah, “mati takkan menyesal, luka takkan menyiuk (tarik nafas)”. Yang artinya, para pemimpin kedua belah pihak, agar melakukan sesuatu, yang di belakang hari, takkan ada penyesalan. Di anggap sebagai “penjahat perang”, atau melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Perundingan gencatan senjata di Kairo pekan ini, adalah peluang paling akhir. Semoga hati pemimpin Israel dan Hamas, bisa lebih pragmatis. Sehingga perang skala besar Iran-Israel, dapat dicegah.
*Sabpri Piliang* – (Wartawan Senior/Anggota Dewan Redaksi www.beritabuana.co)