“SEJARAH tak pernah berulang. Manusialah yang mengulanginya”. (Voltaire, Filsuf Perancis: 1694-1778).
Sejatinya sejarah (histori), memang akan berulang. Namun, ‘sejarah’ adalah benda mati, dia tak dapat berulang. Pengulangan ‘histori’ (sejarah) hanya dilakukan oleh tangan manusia, lewat “perbuatannya”. Karena, manusialah yang menjadi aktor sejarah itu.
Dalam konteks Timur Tengah, sejarah yang terjadi 75 tahun lalu (1948), kini tarulang lagi. Pembersihan etnis (ethnic cleanshing) oleh Israel, menewaskan banyak rakyat Palestina kala itu.
Peristiwa yang disebut Nakhba (malapetaka atau bencana) ini, diiringi dengan penghancuran lebih dari 500 desa Palestina, dan eksodus 700.000 warga. Mereka menjadi diaspora di: Suriah, Yordania, Lebanon, dan di mana pun yang mau menampung.
Kita tarik sedikit ke belakang, sejak peristiwa ‘intifada’ Al-Aqsa tahun 2000, sampai 30 April 2024. Jumlah korban “ethnic cleanshing’ Israel telah menyentuh 46.500 (34.000-an korban di antaranya, setelah 7 Oktober 2023).
Jumlah itu tentu telah bertambah, karena kini memasuki bulan Agustus. Korban Gaza, tidak lagi 34.000-an, tapi sudah 39.500 jiwa. Peristiwa Nakhba “jilid 2”, pun terulang kembali, lewat “Banjir Al-Aqsa”. Peristiwa penyerbuan, pula menewaskan 1.200-an rakyat Israel. Ditambah 230 orang lagi di tawan Hamas.
Permusuhan Palestina-Israel, terus berkelindan, “overlapping”. Semua karena “causa prima” (sebab-akibat). Siapa menyalahkan siapa, tergantung keberpihakan satu sama lain.
Tidak bisa berharap banyak terhadap “wasit’, untuk melerai (PBB). Karena Israel berada dalam “perlindungan” negara-negara pemilik hak veto di Dewan Keamanan PBB.
Resolusi dan segala “tetek bengek”nya, tidak “mempan” bagi Israel. Mahkamah Internasional (ICJ) yang berpusat di Den Haag, adalah pengecualian untuk Israel. PM Israel melenggang dan pidato di Kongres AS, tanpa perlu takut ditangkap.
Dalam kebuntuan ‘serius’ dan “membingungkan”. Di sisi lain, Timur Tengah makin berkecamuk, lewat pembunuhan Kepala Biro Politik Hamas, Ismail Haniyeh. China mencari “sudut pandang” lain. Melalui Menteri Luar Negerinya, Wang Yi, pekan lalu, di Beijing. China mengambil peran.
Duduk bersama, Wakil Ketua Komite Sentral Faksi Fatah Palestina, Mahmoud Al- Aloul dengan anggota Senior Hamas Palestina, Mussa Abu Marzuk. Ditengahi oleh Wang Yi, China. Kedua pihak (Palestina) sepakat, untuk bersatu (rekonsiliasi).
Kita membaca, hanya rekonsiliasilah, yang akan membawa Palestina ke meja perundingan dengan Israel, pasca-perang. Bila itu mewujud, ini akan mengubah peta geopolitik, dan sekaligus mereduksi peran Iran terhadap isu Palestina.
Agak sulit bagi Palestina maju ke meja perundingan, bila hanya mengandalkan dukungan Iran. Sejumlah negara Timur Tengah, sekutu AS (Arab Saudi, Qatar, UAE, Bahrain, Kuwait, Oman) enggan bersama Iran, dalam isu apa pun, termasuk isu Palestina.
Kekhawatiran “ekspor” Revolusi 1978, ke negara-negara Gulf (Teluk) itulah yang menjadi “benang merah”nya. Sekaligus sulit, untuk memasukkan Iran ke dalam “roadmap” penyelesaian konflik Hamas (baca Palestina) dengan Israel. Situasi ini dibaca oleh China, untuk mengambil posisi.
Kecerdikan China ini, tentu di luar dugaan Israel dan AS. Pilihan “angle”, rekonsiliasi dua faksi Palestina, akan menjadi titik awal penyelesaian konflik Timur Tengah secara komprehensif.
Prakarsa China menghimpun Faksi Hamas dan Fatah, serta 12 Faksi kecil Palestina lainnya di Beijing, disikapi secara skeptis oleh sejumlah kalangan di Israel. Mereka menganggap, seperti dikutip dari kolom (Penulis) Vas Shenoy di “Jerusalem Post” (6/8-2024), “China telah beralih, dan melibatkan aktor negara Muslim jadi pendukung kelompok itu”.
Selanjutnya Vas Shenoy mengingatkan, China secara langsung mendukung Hamas dengan cara terbuka. Mengumpulkan 14 kelompok Palestina di Beijing (Ibukota China).
Berjalan sampai ke batas. Berlayar hingga ke tepi. Konflik Hamas (baca: Palestina), sekalipun mengalami eskalasi. Namun ini akan bersipat ‘kulminatif’. Telah sampai di “titik letih”, untuk kedua pihak: Israel-Hamas.
Sangat mungkin, terjadi perang besar dalam 1-2 hari ini, namun tetap lewat “proxy” masing-masing. Iran, tidak akan secara langsung “terjun”, Hezbollah dan Houthy tetap akan menjadi aktor utama peperangan.
Sementara Hamas, ada kemungkinan. Setelah pertemuan dengan Menlu Wang Yi di Beijing, akan sedikit “defend”, untuk bersiap maju ke meja perundingan. Melebur, bersama Fatah. Atas nama Bangsa Palestina. Semoga saja.
*Sabpri Piliang* – (Wartawan Senior/Anggota Dewan Redaksi www.beritabuana.co)