Diskusi RUU Penyiaran, Antara Media Konvensional Vs Media Digital

by
Bahas RUU Tentang Penyiaran -- Anggota Badan Legislasi DPR RI Firman Subagyo (tengah) diapit Wakil Ketua Komisi i DPR Abdul Kharis Almasyhari dan Komisioner KPI Mimah Susanti hadir sebagai pembicara dalam diskusi RUU Penyiaran di kompleks parlemen Senayan Jakarta, Selasa(19/3/3024). (Foto: Asim)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Anggota KPI Pusat Mimah Susanti mendesak DPR untuk segera mengesahkan RUU Penyiaran, agar KPI bisa menjalankan tugas dan fungsinya untuk mengontrol seluruh jenis penyiaran baik digital maupun konvensional. Apalagi, yang digital sekarang mengalami perkembangan yang sangat pesat, dan jika bebas dampaknya bisa buruk bagi generasi muda bangs aini.

Hal itu disampaikan Mimah Susanti pada diskusi forum legislasi “Menuju Era Baru, RUU Penyiaran Perlu Ikuti Kemajuan Teknologi” bersama Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari, anggota Baleg DPR RI Firman Subagyo, dan anggota Komisi I DPR RI Dave Laksono di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Selasa (19/3/2024).

Lebih lanjut Mimah Susanti menilai jika media baru mencapai 79.8 % dari jumlah penduduk Indonesia sebesar 278 juta jiwa dengan pengguna sebanyak 221 juta orang. “Perkembangan ini berdampak terhadap perilaku anak dan penurunan bisnis akibat banyak yang mengalihkan ke media digital,” ujarnya.

Menurutnya, belum ada perlakuan sama antara kedua macam media tersebut. Dimana yang konvensional mendapat kontrol yang kuat dari KPI dan masyarakat sendiri juga membayar pajak. Sebaliknya media digital tidak demikian; kejar tayang tapi tak bayar pajak, dan lebih bahaya lagi jika kontennya membahayakan anak-anak. Seperti narkoba, kriminalitas, ideologi Barat, pergaulan bebas dan lain-lain.

Abdul Kharis sendiri mengakui jika Baleg DPR RI sudah melakukan beberapa kali rapat dan rapat terakhir sekarang ini diharapkan bisa menyelesaikan RUU penyiaran tersebut setelah menerima banyak aspirasi dari Masyarakat. “Insya Allah tidak lama lagi akan diparipurnakan untuk disahkan. Yang terpenting kedua media/TV digital dan konvensional mendapat perlakuan sama di tengah kemajuan teknologi saat ini,” tambahnya.

Terlebih kata Abdul Kharis, UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran ini tidak dilakukan perubahan, sehingga sudah saatnya revisi ini segera disahkan.

“Isu sentralnya seluruh bentuk penyiaran dengan perlakuan hukum yang sama. Media digital jangan memberi dampak buruk kepada masyarakat. Misalnya caci-maki, misuh-misuh seperti tradisi di Jawa Timur, dalam rangka menjaga etika tidak boleh diberlakukan sama di daerah lain,” ungkap Abdul Kharis.

Firman Subagiyo menyatakan hal yang sama, jika revisi RUU Penyiaran itu harus antisipatif, represif, dan dinamis sesuai kebutuhan zamannya. Apalagi perkembangan medsos sangat dahsyat, harus menghindari monopoli, juga tidak cermat apakah media itu membayar pajak atau tidak?

“Jangan sampai negara dirugikan oleh pelaku media asing. Karena itu, KPI harus diberi ruang untuk mengawasi media digital ini. Dalam masa sidang ini harus selesai, jangan sampai carry over ke anggota DPR baru 2024, karena akan dimulai dari nol lagi,” jelas politisi Golkar ini.

Dave Laksono juga menambahkan jika media asing harus mendapat pengawasan dari negara dan KPI. Selain soal pajak, juga mereka (Netflix) menyebarkan ideologi LGBT secara terselubung yang bertentangan dengan nilai-nilai dan moral bangsa Indonesia.”Jadi, jangan sampai mereka ini merusak ideologi, idealisme dan nilai-nilai luhur bangsa, khususnya generasi muda,” pungkasnya. (Asim)