AS dan Sekutunya Punya Agenda Tersendiri. Termasuk Bom Nordic?

by
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan Presiden Rusia Vladimir Putin. (Foto: Ist)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Perang Rusia-Ukraina terus bergolak. Setidaknya, dalam waktu dekat ini belum ada tanda-tanda ketegangan yang sudah berlangsung lebih dari setahun itu, akan berakhir. Ledakan besar di Nord Stream 1 dan Nord Stream 2 pada 26 September 2022, yang diistilahkan oleh situs berita EurAsian Times sebagai “bom Nordic”, turut memperkeruh suasana. Amerika Serikat dan sekutunya dituding memiliki agenda tersendiri di sana. Tetapi, diyakini ada tidaknya sabotase Amerika Serikat dalam ledakan itu, perang belum menunjukkan akan berakhir.

Begitu parahnya ledakan itu, sampai membuat tiga dari empat jalur pipa tidak dapat beroperasi. Menariknya, berbagai teori telah dikemukakan terkait siapa pihak yang melakukan serangan tersebut, tetapi sejauh ini belum diketahui pasti siapa yang memicu ledakan besar itu. Baik Amerika Serikat maupun Rusia menyangkal bertanggung jawab atas ledakan tersebut.

Dalam keterangannya Senin (13/3/2023), anggota Komisi I DPR RI Dave Laksono mengatakan, konflik Rusia-Ukraina bukan perkara gampang. Itu perseteruan yang telah berjalan belasan tahun. Selama ini, urai politikus Partai Golkar itu, dunia barat tetap melihat Putin sebagai penjahat kejam yang hanya ingin melumatkan Ukraina.

Ketika ditanya soal Bom Nordic, Dave Laksono tidak menjawab secara tersurat. Yang jelas menurutnya, Amerika Serikat, dan sekutunya memiliki agenda tersendiri dalam perang ini, dan itu juga yang memperlambat proses perdamaian. Dan negara-negara Eropa barat terpaksa masuk dalam ritme yang ditentukan oleh AS, Walau pun itu menyakitkan bagi ekonomi Eropa barat. “Jadi seperti tersandera semuanya.” katanya

Sejauh ini, belum ada tanda-tanda perang Rusia-Ukraina akan reda. Pertanyaan dari Dave Laksono, seberapa kuat ekonomi Rusia menghadapi ribuan sanksi yang diberikan dunia, atau kalangan internasional kepada mereka.

“Apakah China akan terus menyokong mereka?. Banyak hal yang harus kita lihat untuk memprediksi perang ini,” tanya Dave.

Memang, China belakangan muncul memainkan peran strategisnya, termasuk sukses mendamaikan Arab Saudi dan Iran. Tetapi, adakah China bakal sukses bermain dan mendamaikan perang Rusia Ukraina ini?. Menurut Dave Laksono, tidak mungkin bermain sendiri, harus melibatkan semua pihak.

Artinya, ditambah agenda AS, Dave Laksono berharap perang Rusia versus Ukraina ini tidak terus bergolak, sampai ada yang kalah, misalnya. Sampai kini, kalangan internasional, termasuk pihak Indonesia, tidak terkecuali jajaran parlemen, senantiasa mengupayakan terjadinya perdamaian di wilayah itu.

Untuk jalur perdamaian dunia, menurut Dave Laksono, DPR RI selalu membawa masalah itu, ke berbagai panggung parlemen yang ada. “Iya, itu selalu kita bawa. Dalam setiap kegiaatan parlemen, baik bilateral, atau multilateral, kita selalu mengupayakan dialog agar tercipta perdamaian, dan perang Rusia-Ukraina berhenti dengan damai,” katanya.

Sementara itu, pengamat Eropa Timur dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Radityo Dharmaputra mengungkapkan, lepas dari benar tidaknya ada sabotase dalam peledakan pipa itu, ada yang perlu dipahami dari meletusnya perang Rusia-Ukraina. Masalah mendasar itulah, yang selama ini membuat sulit mencari titik temu, sehingga perang bergolak, dan membuat korban terus berjatuhan.

Menurut Radityo Dharmaputra, perang tersebut bukan soal NATO, seperti banyak pandangan orang awam dan para ahli yang tidak paham soal Rusia dan Ukraina.

“Ini soal identitas diri. Bahwa Rusia merasa Ukraina semakin jauh dari dia, sementara Ukraina memang ingin menjauh secara politik dan kultural dari Rusia karena mereka trauma dengan Rusia,” kata Radityo.

Pihak yang menekan dan mengimbau agar perang dihentikan tidak memahami situasi ini. Karena situasi yang sulit dipahami itulah, titik temu ini memang belum akan dicapai. Karena Putin tidak punya opsi selain terus menyerang. Kalau tidak menyerang, Rusia, atau Presiden Vladimir Putin akan jatuh, karena dianggap gagal dan akan dapat tekanan dari masyarakat Rusia juga.

Sementara itu, Ukraina sebagai pihak yang diserang oleh Rusia, tentu tidak akan berhenti mempertahankan wilayahnya. Karena, Ukraina yang diserang.

Jadi, sekali lagi, kata Radityo Dharmaputra, kalau ini cuma soal NATO, gampang solusinya. Masalahnya, ini bukan soal NATO, tapi soal identitas negara. Nyaris tidak mungkin berhenti. Kecuali salah satu pihak kalah.

Dalam konteks perang Rusia-Ukraina, menurut dia, soal kemungkinan ada sabotase, tidak terlalu memperumit situasi seperti dibayangkan. Pasalnya, tanpa insiden itu pun perang ini sulit selesai. Karena sekali lagi, ini soal identitas diri.

Dalang Di Balik Serangan Pipa Gas
Sebuah laporan dari jurnalis investigasi pemenang penghargaan Pulitzer, Seymour Hersh terang-terangan menuding Amerika Serikat sebagai dalang di balik serangan yang meledakkan pipa gas Rusia tersebut. Sejak lama Amerika Serikat menentang pipa gas alam Nord Stream, yang mayoritas sahamnya ternyata dimiliki perusahaan gas Rusia, Gazprom.

Jalur pipa tersebut menjadi bagian penting dari infrastruktur energi Eropa. Pipa gas alam ini memasok gas alam Rusia yang siap pakai ke Eropa sehingga mengurangi ketergantungan Rusia pada energi Amerika Serikat.

Karena invasi Rusia ke Ukraina, aliran gas alam Nord Stream berulang kali dikurangi, bahkan diberhentikan. Saat ledakan dilaporkan, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell menuding Rusia terlibat. Rusia dengan tegas membantah.

Rusia mengatakan tidak ada hubungan antara negaranya dengan sabotase.
Tetapi, wartawan top Seymour Hers mengklaim pengeboman pipa gas alam Nord Stream 1 dan 2 pada September 2022 itu dilakukan oleh CIA (Central Intelligence Agency) dalam operasi rahasia atas arahan Gedung Putih. Hers mengatakan bahwa ahli selam yang dilatih di US Navy Diving and Salvage Center, Florida telah menanam bahan peledak.

Penyelam disebutkan telah melakukan operasi rahasia serta bahaya selama BALTOPS 22, rangkaian militer di Laut Baltik yang dilakukan oleh beberapa negara NATO. Bahan peledak yang terpasang pada pipa dilengkapi sensor yang memungkinkan untuk diledakkan dari jarak jauh di kemudian hari. Dalam laporannya, Hers menilai ledakan dipicu oleh pelampung sonar yang dijatuhkan oleh pesawat terbang.

Sementara itu, mantan Pejabat Operasi Khusus Angkatan Darat AS Jack Murphy melalui situs webnya, menyebutkan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Amerika Serikat (AS) melalui badan intelijen CIA, terlibat dalam kampanye untuk menyabotase Rusia.

Mengutip mantan pejabat yang menolak disebutkan identitasnya, Murphy menyebut kampanye spesifik tersebut diarahkan oleh CIA.

Dalam tulisannya, Murphy mengungkapkan, NATO dan badan intelijen AS telah menjalankan agen di dalam Rusia, mengarahkan mereka untuk menargetkan infrastruktur penting dalam upaya untuk menciptakan kekacauan.

“Kampanye ini melibatkan sel-sel yang telah lama tertidur dan telah diaktifkan kembali oleh layanan mata-mata sekutu untuk menghalangi invasi Moskow ke Ukraina dengan mengobarkan perang rahasia di belakang garis Rusia,” kata Murphy, seperti dikutip media asal Inggris, Express, Kamis (16/2/2023).

Masih kata Murphy, kampanye ini bertanggung jawab atas banyak ledakan yang tidak dapat dijelaskan dan kecelakaan lain yang menimpa kompleks industri militer Rusia sejak invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina. “Jembatan kereta api, depot bahan bakar, dan pembangkit listrik di Rusia semuanya telah rusak dalam insiden yang tidak dapat dijelaskan sejak Kremlin meluncurkan invasi besar-besaran ke Ukraina.”

Di luar itu, Jumat (17/2/2023), pihak China mempertanyakan sikap diam Amerika Serikat atas laporan investigasi jurnalis Seymour Hers itu. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin selama konferensi pers reguler di Beijing juga meminta AS untuk menjelaskan tiga objek yang ditembak jatuh setelah insiden balon.

“Mengapa AS mengubah nada tinggi untuk menuntut penyelidikan atas ledakan Nord Stream tetapi menjadi diam setelah pengungkapan jurnalis AS Seymour Hersh?,” Global Times mengutip perkataan Wang.

Pemerintahan Presiden Joe Biden tegas membantah tuduhan tersebut. Ia menyebut tuduhan tersebut, sebagai fiksi yang sepenuhnya palsu dan lengkap. ***

[ays_survey id=”1”]