Nama Baik Sungguh Mahal: Gus Dur, SBY, Jokowi

by
Jacobus K. Mayong. (Foto: Asim)

ADA pepatah yang amat populer, sering sekali dikutip;Harimau mati meninggalkan belang, Gajah mati meninggalkan gading.

Harimau dan Gajah adalah simbol kebesaran di antara penghuni hutan. Maka pepatah hasil pikiran bijak dari leluhur bermakna setiap tokoh meninggalkan kesan. Tiap-tiap orang akan meninggalkan kenangan lingkungannya.

Demikian halnya berbicara lingkup negara Indonesia, masing-masing mantan presiden menyisakan kisah yang diceritakan tidak hanya di dalam tetapi juga luar negeri. Kepada mereka gelar yang disematkan secara formal oleh negara, ada gelar yang dibangun pendukung, kelompoknya namun ada juga gelar tidak formal tetapi tumbuh dengan sendirinya di masyarakat. Tanpa rekayasa, tanpa diatur, tidak melalui koordinasi, masyarakat secara bebas memberi gelar. Dari gelar-gelar yang tumbuh di masyarakat itu, satu hal penting yang patut jadi pertimbangan, rujukan untuk membangun peradaban; nama baik amatlah mahal.

Dalam kaitan itulah patut kita menyimak dua sosok mantan presiden; Gus Dur dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Kenapa memilih keduanya? Sebab di antara keduanya ada aspek yang bagus dipersandingkan yang patut menjadi pelajaran penting dalam hal kepemimpinan. Sebab pada akhirnya nilai tertinggi dari sebuah kepemimpinan ada di masyarakat, bukan pada lembaga formal.

Konkretnya, mari kita sandingkan bapak Gus Dur dan bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Dari aspek pendidikan saja bapak Gus Dur tidak memiliki gelar akademik sementara bapak Susilo mendapatkan gelar doktor dan seingat saya gelar itu masih ditambah kualifikasi cumlaude, sebuah capaian terbaik di kalangan akademik.

Di bidang jenjang karier, bapak Susilo ditempat secara formal dari pendidikan militer melalui berbagai jabatan hingga mencapai pangkat tertinggi jenderal bintang empat. Sementara bapak Gus Dur tidak sempat menyelesaikan kuliahnya dan hanya bergiat di lingkungan masyarakat. Pada akhirnya keduanya menjadi presiden namun dengan usia yang amat berbeda. Gus Dur hanya dua tahun dan tragis, dimakzulkan. Sedang Susilo Bambang Yudhoyono sukses menyelesaikan dua periodenya.

Ada diametral yang jauh antara keduanya pada aspek pendidikan, jenjang karier dan tenggang waktu berkuasa. Akan tetapi di masyarakat keduanya mendapat penilaian yang berbeda. Pada aspek toleransi, pemihakan pada pluralisme yang menjadi inti persatuan, kebangsaan, Gus Dur mendapatkan nilai tertinggi jauh dari Susilo Bambang Yudhoyono yang pada saat berkuasa, unsur-unsur radikal justru tumbuh subur. HTI misalnya berkembang, FPI menjadi polisi yang bisa melakukan razia warung makan yang tidak tutup pada bulan puasa.

Saya tidak tahu sekarang, tetapi beberapa tahun lalu sayang datang ke sebuah toko buku besar dan terperangah melihat buku tentang Gus Dur banyak sekali sementara tentang SBY hanya ada empat.

Gus Dur memang hanya 2 tahun tetapi ia meninggalkan kesan yang luar biasa. Sementara SBY dengan predikat akademik dan pangkat militer puncak serta berkuasa 10 tahun, pada akhirnya menjadi biasa-biasa saja. Sungguh nama baik itu amatlah mahal.

Saya menjadikan keduanya sebagai model telaah untuk mencoba menerawang tentang bapak Jokowi sesudah tidak menjabat nanti. Beliau mencapai jenjang tertinggi melalui tahapan yang luar biasa. Beliaulah satu-satunya presiden yang melewati jenjang struktural jabatan eksekutif dari wali kota kemudian gubernur dan presiden dua periode. Itu pun masih dilengkapi prestasi pembangunan pisik yang luar biasa. Hanya sayang seribu sayang, capaian dan prestasi yang luar biasa itu ia corengi dengan langkah yang kini dikecam habis-habisan para akademisi termasuk di almamaternya sendiri UGM. Baik BEM UGM maupun akademisi UGM tegas menyesalkan langkah politik Jokowi.

Entahlah sesudah tidak menjabat nanti, tetapi saya khawatir cerita buruk menantinya, seperti yang dikatakan seorang pada sebuah video yang beredar luas; Jokowi sedang menggali kuburnya sendiri.

Konsisten memang mahal.
Nama baik amatlah mahal

*Jacobus K. Mayong* – (Anggota DPR RI periode 1999 – 2004/Pendiri Institut Marhaen/ 12-2-2024