Habibie, Prabowo dan Kekuatan Global.

by
Menhan RI yang juga Ketum DPP Partai Gerindra, Prabowo Subianto bersama Presiden keempat RI BJ Habibie. (Foto: Istimewa)

Oleh: Fahri Hamzah (Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia/Aktivis ’98)

(Mengenang Para Aktifis reformasi dalam lebih Seperempat Abad Politik Indonesia).

Waketum DPN Partai Gelora Indonesia Fahri Hamzah. (Foto: Istimewa)

INI adalah kisah dua anak manusia yang mencintai negeri ini yang suatu hari bertemu lalu kemudian dipisahkan oleh sejarah yang tegang. Tulisan kecil ini Juga mengurai, bagaimana kekuatan global menyeleksi pemimpin kita dan menghancurkan yang tidak dikehendaki.

Habibie dan Prabowo adalah dua legenda Indonesia. Habibie adalah seorang ilmuan dan teknokrat yang sukses dalam dunia industri dan teknologi lalu diambil oleh Soeharto (Orde Baru) untuk menjadi perintis berdirinya industri strategis di Indonesia. Habibie yang jenius ini, membuat setiap ibu di Indonesia ingin melahirkan anak secerdas Habibie. Dulu di kampung-kampung, kami dirayu agar rajin belajar supaya bisa pintar seperti Habibie.

Prabowo di sisi lain, merasa berguru kepada seorang Habibie. Tetapi Habibie sudah terlebih dahulu mengatakan bahwa Prof. Soemitro Djojohadikusumo yang merupakan orang tua Prabowo adalah gurunya. Dan Habibie menganggap Prabowo adalah anaknya sendiri atau seperti kakak tertua dari anaknya Ilham Habibie. Demikianlah mereka hidup dalam orde yang sama.

Kita mengenal keduanya sejak lama. Jika Habibie dianggap sebagai legenda dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, maka Prabowo adalah seorang _the rising star_, seorang petinggi militer yang karirnya begitu cemerlang dan melaju begitu cepat menjadi meteor di zamannya.

Prestasi demi prestasi yang dimilikinya membuat kekaguman banyak orang, termasuk kelompok sipil yang merindukan tokoh militer yang mau berdialog pada zaman itu, ketika sipil dan militer menjadi dikotomi yang sangat sulit disatukan.

Yang paling menarik dari kedua orang ini adalah nasionalismenya yang luar biasa. Habibie dan Prabowo tampak sama-sama terpengaruh oleh gagasan sosialisme dalam ekonomi yang menyebabkan mereka menganggap bahwa negara harus terlibat dan turun tangan dalam sektor-sektor vital yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Jika Habibie mengimplementasikan sosialisme itu dalam keterlibatan negara membangun basis bagi industri strategis rasional, maka Prabowo melihat implementasi dari sosialisme itu pada keharusan intervensi negara agar rakyat mendapatkan bagian yang paling layak dalam hidup mereka sehingga tidak ada yang tertinggal dalam proses pembangunan.

Sejak muda Prabowo sangat sensitif dengan ketimpangan akibat persaingan pasar yang menyebabkan yang kuat bertambah kuat dan yang lemah bertambah lemah. Menurut Prabowo, amanat Undang Undang Dasar seharusnya tidak mengizinkan adanya penguasaan sumber daya yang tak terbatas sehingga meninggalkan kemiskinan di mana-mana.

Ketegangan Orde Baru

Sedikit banyak, cara berpikir semacam inilah yang menciptakan ketegangan dalam negara Orde Baru yang cenderung berpaham kapitalisme dan sangat dipengaruhi oleh kelompok ekonom neo-liberal yang justru berasal dari Fakultas yang didirikan oleh ayahnya, Soemitro.

Memang, Soemitro adalah seorang sosialis tetapi mengapa Fakultas Ekonomi yang ia dirikan menjadi kapitalis adalah karena Orde Baru disponsori oleh negara-negara kapitalis yang sekaligus juga menyiapkan sumber investasi bagi pembangunan di dalam rezim Orde Baru saat itu.

Dalam kerangka itulah saya melihat bahwa kesamaan Prabowo dan Habibie dalam paham ekonomi dan intensitas dialog yang mereka lakukan berdua sejak mereka aktif menjadi bagian dari Orde Baru, yang menyebabkan saya tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari mereka akan berpisah.

Tapi, itulah yang terjadi. Begitu Orde Baru tumbang dan ketika secara resmi Presiden Soeharto mengundurkan diri, Pada Tanggal 21 Mei 1998, maka Habibie otomatis dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia. Tentu ada banyak yang orang tidak membaca bahwa Habibie adalah seorang jenius, yang mungkin saja tidak akan sejalan dengan gagasan kaum globalis.

Dan itulah yang terjadi. Karena Habibie yang jenius dan begitu sanggup mengendalikan krisis masuk ke Indonesia melalui pintu moneter, sehingga krisis mata uang begitu cepat diatasi, dan setelah itu, Habibie menyelenggarakan Pemilu yang paling demokratis dalam sejarah Indonesia sejak tahun 1955.

Dua agenda penting itu menyelamatkan perekonomian nasional sekaligus dan menyelamatkan politik nasional. Habibie membereskan hanya dalam tempo satu tahun tujuh bulan. Meskipun akhirnya, setelah terjadi jajak pendapat di Timor Timur, dan akibat tekanan dunia internasional, Indonesia kehilangan Timor Timur. Dan itu dianggap dosa seorang Habibie.

Dosa atau kesalahan kecil Habibie itu dijadikan alasan bagi kaum globalis untuk tidak memaafkan Habibie, sehingga kampanye negatif untuk menolak Habibie mencalonkan diri kembali dilakoni secara besar-besaran. Setelah Habibie gagal menjadi Presiden kembali, maka kaum globalis berpesta pora karena musuh mereka telah dilumpuhkan.

Kekuatan Global

Siapakah kekuatan global ini? Mereka tidak lain dan tidak bukan adalah kelompok neo-liberal dan menganggap dirinya pro-demokrasi liberal, tapi sekaligus menitipkan kebencian pada apa yang berbau Orde Baru sebagai cara untuk mengklaim dan mengambil alih isu sebagai kaum reformis.

Mereka tidak peduli karena Orde Baru telah tumbang dan segala otoritas yang kuat pun harus dihancurkan. Saya juga tidak menyangka bahwa ternyata mereka berhasil mengkampanyekan bahwa Habibie, seorang jenius berpikir dan akrab dengan kehidupan orang Eropa dan Jerman, tetap saja dianggap sebagai musuh yang akhirnya mereka jatuhkan, setelah berkuasa selama satu tahun tujuh bulan.

Sebelum Habibie dijatuhkan, proyek terpenting kekuatan global ini adalah berkonspirasi agar Prabowo sebagai tentara yang begitu moncer tidak boleh berada di dalam kekuasaan. Dia harus disingkirkan terlebih dahulu agar tentara mereka bisa kendalikan dari belakang, secara langsung atau tidak langsung.

Maka, jadilah Prabowo dikambinghitamkan sebagai penanggung seluruh dosa Orde Baru, terutama dosa-dosa militer seperti pelanggaran HAM, penculikan, dan kekejaman lainnya yang biasanya dinisbatkan kepada Orde Baru, tetapi sekarang dikalungkan kepada Prabowo seorang sendiri.

Yang tragis adalah karena yang melucuti Prabowo dari karir militernya justru Habibie sendiri yang sebenarnya menjadi musuh kaum globalis. Tetapi ada kelemahan dari dua figur ini, yaitu mereka tidak pandai berpolitik. Mereka tidak pandai berbohong, mereka tidak pandai bersilat lidah dan tidak pandai menyusun kata-kata dengan maksud berkelit dan keluar dari tanggung jawab dan masalah.

Habibie yang lugu, seorang teknokrat yang jenius tetapi mengikuti saja saran agar Prabowo disingkirkan dari militer karena tuduhan yang tidak pernah bisa dibuktikan bahwa dia akan melakukan pengambil-alihan kekuasaan.

Habibie sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia telah memberikan jalan agar Prabowo disingkirkan. Prabowo kemudian berpamitan kepada orang yang dikaguminya itu, yakni Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, yang sedang berkuasa pada waktu itu.

Saya berkali-kali bertanya, apakah ada alasan yang kuat untuk menuduh Prabowo melakukan kudeta? Tidak benar, jawab para bawahannya. Hanya karena Prabowo mengendalikan pasukan Kostrad dan sebagian dari kawan-kawannya menjadi komandan militer yang strategis pada waktu itu, jadi seolah-olah dia akan melakukan kudeta.

Tapi, sudahlah, sekarang kita telah kehilangan dua orang yang seharusnya bersatu menjadi harapan bagi penyelesaian begitu banyak masalah nasional. Seperti yang dibuktikan oleh Habibie, hanya dengan waktu setahun tujuh bulan, Habibie menuntaskan seluruh persoalan sehingga persoalan mata uang yang paling krusial waktu itu, justru diselesaikan dengan begitu mudahnya dan tidak saja isu ekonomi, politik kita telah diselamatkan dengan penyelenggaraan Pemilu yang sangat sukses dan dinilai oleh dunia internasional sebagai salah satu Pemilu terbaik, setelah Pemilu tahun 1955.

Habibie adalah penyelamat transisi, tetapi apa yang terjadi dia tetap saja dianggap sebagai pelanjut Orde Baru dan menjadi musuh bagi kebebasan dan demokrasi. Ini semua adalah kerja kelompok kekuatan global yang takut apabila figur-figur yang jenius di bidang ekonomi memimpin kita.

Prabowo tidak terkecuali. Segala upayanya dihambat, bahkan setelah ia meninggalkan tentara, kemudian menjadi pengusaha dan mengalami pergumulan yang panjang dalam kegiatan kemanusiaan dan bisnis, mendirikan partai politik yang sampai sekarang telah mengikuti empat kali kontestasi.

Tuduhan Islam Radikal

Satu lagi tuduhan kepada Habibie yang mengagetkan adalah karena dia dianggap seorang muslim radikal. Dengan kedekatannya kepada kelompok Islam melalui ICMI (ikatan cendekiawan Muslim se-Indonesia), Habibie bakat dituduh sama dengan para Tiran Islam yang pernah ada.

Tuduhan ini sempat diberikan kepada Prabowo terutama pada dua Pilpres terakhir karena munculnya polarisasi dikotomis antara kaum Islam dan nasionalis akibat hanya tersedia dua kandidat.

Belakangan ini setelah Prabowo dan Jokowi bergabung, ada kesulitan merumuskan label label negatif yang selama ini dipakai karena kaum Islam dan nasionalis telah bersatu di belakang Prabowo dan Jokowi. Kecuali ada sedikit sekali yang masih marah dan sekarang dipakai untuk melabelkan Prabowo sebagai Anti Islam seperti tuduhan yang sama kepada Jokowi yang mereka lakukan dalam dua Pemilu terakhir.

Habibie ke Prabowo Via Jokowi

Dari cara kerja kekuatan global yang selama ini kita lihat, maka setelah dahulu mampu melumpuhkan Habibie, kini agenda terakhir mereka adalah melumpuhkan Prabowo sebagai figur yang telah menjadi sasaran konspirasi mereka dalam krisis geo-politik pada akhir tahun 90-an.

Prabowo adalah musuh mereka dulu dan sekarang. Tetapi mereka tahu bahwa Prabowo tidak akan sampai kepada kursi kepresidenan. Mereka merasa sangat cukup tahu cara untuk menghentikan laju Prabowo dalam setiap pencalonannya sebagai Presiden. Prabowo selalu dicari cara supaya cukup menjadi pemenang nomor dua alias kalah.

Tetapi, kelompok kekuatan global gagal membaca pergerakan politik Jokowi sebagai “game changer” dalam pertarungan politik di Indonesia sekarang. Ternyata, rekonsiliasi dan koalisi antara Prabowo dan Jokowi tahun 2019 lalu, sukses melewati berbagai krisis global dan sukses menyelamatkan keadaan Indonesia. Tidak sampai di situ, rupanya berakhir pula dengan rencana koalisi jangka panjang, sehingga Jokowi secara serius meletakkan diri dalam perjuangan bersama Prabowo untuk mengatur transisi menuju Indonesia emas 2045.

Kini, Prabowo dan Jokowi telah menjadi pemimpin yang sama-sama keras kepala sehingga kaum globalis gagal mengendalikan keduanya dalam berbagai isu yang menyangkut kepentingan kekuatan global.

Maka, sekarang peluang kemenangan Prabowo yang begitu besar, justru bersumber dari dukungan Jokowi yang tidak diduga kelompok kekuatan global. Maka ada kepanikan yang luar biasa dari mereka, apabila Prabowo dapat memenangkan pertarungan ini dengan mudah. Kekuatan global tentu akan membuat rencana. Mereka tidak akan diam.

Harapan terakhir kekuatan global ini adalah mengusahakan agar calon mereka masuk ke dalam putaran kedua, lalu mereka menciptakan kekacauan menuju putaran kedua, sehingga legitimasi dari kandidat yang didukung Jokowi pun (Prabowo) akan hancur. Dengan kehancuran dan kekacauan itu, maka akan memicu penolakan kepada pemerintahan Jokowi dan Prabowo sebagai Capres yang dukungannya.

Inilah rencana busuk kekuatan global yang bisa berakibat sangat fatal dan berbahaya bagi kelangsungan transisi demokrasi Indonesia dan bahkan kelangsungan bangsa ini secara keseluruhan. Kerja kelompok ini harus dihentikan.

Salam Aklamasi!
Saya mengajak semua kalangan untuk aklamasi memilih Prabowo-Gibran dalam sekali putaran karena saya mengkhawatirkan campur tangan kekuatan global dalam Pemilu kali ini kembali seperti sebelumnya. Kali ini mereka punya 2 musuh besar, 2 pemimpin keras kepala: Prabowo dan Jokowi.

Maka Kita perlu membangun kewaspadaan nasional, sambil juga menyongsong optimisme, bahwa sebentar lagi Indonesia akan memasuki transisi kepemimpinan yang sangat solid, sehingga kepemimpinan Prabowo-Gibran nanti adalah kepemimpinan yang membawa Indonesia menuju negara superpower baru.

Kita hanya bisa betul-betul jadi negara yang mandiri jika bisa keluar dari jebakan kaum globalis yang selalu menghambat agar Indonesia tidak pernah menjadi negara maju.

Mereka mau menyetop hilirisasi sebagai fondasi bagi Indonesia maju kita. Mereka tidak suka kalau Indonesia menjadikan sumber daya alamnya sebagai posisi tawar (bargain power). Mereka menginginkan kita agar ikut saja dengan gagasan global dan kehendak negara-negara maju yg ingin mendikte kita.

Sungguh suatu momen bersejarah apabila kita bisa menghentikan ambisi dan mimpi kelompok kekuatan global dengan cara membuat Pemilu sekali putaran, sebelum mereka berbuat onar bagi negara kita. Inilah agenda kita beberapa hari ke depan! ***