Banyak Daerah Sudah Lama Terapkan Pajak Hiburan Khusus Sebesar 75 Persen, Jadi Bukan Hal Baru Kenaikan BPJT 

by
Diskotek. (Ilustrasi/Foto: Ist)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Lidya Kurinawati, membenarkan jika sejumlah daerah telah lama menerapkan pajak hiburan khusus hingga menyentuh batas maksimal dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) sebesar 75%.

Daerah-daerah itu di antaranya adalah Kabupaten Siak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Kabupaten Belitung Timur, Kabupaten Lebak, Kabupaten Grobokan, dan Kota Tual.

Penerapan di daerah tersebut bahkan pada saat masih berlakunya UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), atau sebelum adanya protes dari pengacara kondang Hotman Paris ataupun pedangdut kenamaan Inul Daratista, yang juga pemilik tempat karaoke Inul Vizta.

“Rancangan perdanya itu sudah kenakan tarif 75%, dan ini sama saat mereka mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 (UU PDRD) itu memang mereka sudah memberikan tarif 75%,” kata Lidya saat konferensi pers di kantor pusat Kemenkeu, Jakarta, Selasa (16/1/2024).

Besaran tarif itu khusus untuk objek Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa yang ditetapkan dalam UU HKPD. Sedangkan dalam aturan yang lama di UU PDRD berlaku untuk pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa.

Ia pun merincikan, sejumlah daerah yang telah menerapkan tarif sesuai UU HKPD dan menuangkan dalam raperdanya, yakni untuk range tarif kisaran 40-50% sebanyak 36 daerah, 50-60% sebanyak 67 daerah, 60-70% sebanyak 16 daerah, dan 70-75% ada sejumlah 58 daerah.

Pada saat masih berlakunya UU PDRD, Lidya pun mengatakan, sebetulnya sudah sebanyak 177 daerah yang menerapkan tarif pajak hiburan khusus itu dalam rentang 40-75%, dari total sebanyak 436 daerah. Oleh sebab itu, ia menekankan besaran tarif itu bukan barang baru.

“Jadi kalau basenya keputusan pembahasan di DPR itu sudah melihat praktik-praktik pemungtuan di beberapa daerah yang sudah menerapkan 40% itu dengan dasar UU 28/2009, jadi ini bagi daerah bukan sesuatu yang baru,” ungkap Lidya. (Kds)