Dalam Situasi Pemilu yang Mulai ‘Memanas’, Media Massa Diharapkan Jadikan Masyarakat Pemilih Cerdas

by
Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus bersama Pengamat politik dari Unpad Bandung Idil Akbar saat menjadi pembicara pada diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema "Pemilu Berlangsung Damai akan Melahirkan Pemimpin Penuh Kedamaian" di Media Center MPR/DPR/DPD RI, Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen, Senayan. (Foto : Jimmy)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Dalam situasi yang semakin ‘panas’ menjelang Pemilu, khususnya Pilores, Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus mengajak media massa menjadikan masyarakat menjadi pemilih cerdas. Artinya, sebagai pemilih yang tidak mau diintimidasi, tidak mau digiring, harus tahu siapa calon pemimpin tepat dipilih, baik presiden ataupun para calon anggota legislatif (caleg).

“Pemilih harus mengetahui rekam jejak yang akan dipilih. Ini untuk kepentingan kampungnya, masyarakatnya apalagi bangsa dan negaranya, tentu harus ada track recordnya,” ujar Guspardi Gaus dalam diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema “Pemilu Berlangsung Damai akan Melahirkan Pemimpin Penuh Kedamaian” di Media Center MPR/DPR/DPD RI, Gedung Nusanta III, Senayan, Jakarta, Kamis (30/11/2023).

Guspardi menerangkan bahwa Pemilu atau Pilpres merupakan pesta demokrasi yang memiliki pilihan-pilihan berbeda. Jadi tidak mungkin akan sama.

“Kalau sama, itu bukan pesta demokrasi, itu namanya musyawarah mufakat,” ujarnya.

Meski berbeda, politisi dari Partai Amanat Nasional (FPAN) ini berharap pemilu bukan justru menjadi malapetaka, yang membuat bangsa Indonesia terpecah, timbul konflik karena mempertahankan calon yang didukung.

“Artinya kita berharap dalam pelaksanaan pemilu ini, nggak boleh ada black campain, memfitnah, hoaks dan lain sebagainya,” ingatnya.

Pengamat Politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Idil Akbar menekankan pentingnya penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu dan DKPP menjaga marwah lembaganya.

Selain itu, penyelenggara pemilu juga diminta tidak justru menjadi sumber konflik dan sumber perpecahan karena tidak netral dan berpihak kepada salah satu calon.

“Ini dimulai dari Bawaslu sendiri, saya ambil contoh, konsep soal kampanye itu sudah berubah, kita tahu bahwa orang sudah memasang APK, yaitu kampanye, bukan lagi sosialisasi, tapi sekarang namanya sosialisasi belum masuk kampanye. Karena disitu belum ada nomor urut, belum ada kata coblos nomor urut sekian, dan segala macam,” urainya.

Akhirnya memunculkan tanda tanya di masyarakat, bahwa ini bentuk kampanye terselubung, tetapi Bawaslu menyatakan tidak ada kampanye terselubung.

“Nah, hal-hal semacam ini kan sebetulnya sudah mulai membangun sebuah konflik tersendiri, sebuah konteks kedamaian sendiri di dalam masyarakat,” ujar Idil.

Dari kecaman atas sikap Bawaslu itu, juga memunculkan tuduhan di masyarakat bahwa Bawaslu hanya sebatas lembaga Watch Dogs. Hanya menjadi penjaga saja, tetapi tidak melakukan aksi, gerakan nyata yang mampu meminimalisir konflik yang terjadi di masyarakat. (Kds)