Diskusikan Khitan Perempuan, Membuka Ruang Dialog Antartokoh dan Pemikir Muslim

by
Yayasan Puan Amal Hayati (PAH) selenggarakan Bahtsul Masail membahas isu Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP). (Ist)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Yayasan Puan Amal Hayati (PAH) menyelenggarakan Bahtsul Masail  membahas isu Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP). Kegiatan ini mengundang para pakar, Bahtsul Masail bertujuan membuka ruang dialog antartokoh dan pemikir muslim untuk menggali perspektif hukum Islam, memproduksi pengetahuan terkait upaya pencegahan, serta mendorong kajian keislaman yang menolak praktik P2GP.

Ketua Yayasan PAH, Nyai Hj Sinta Nuriyah Wahid menyatakan, perlu diungkapkan alasan-alasan logis yang menunjukkan bahaya dari praktik P2GP. Sebab, ia khawatir akan adanya praktik illegal khitan perempuan itu.

“Apabila praktik ini tidak dihentikan, kekhawatiran saya adalah terjadinya praktik-praktik ilegal dalam perbuatan itu. Sehingga, korban akan bertambah banyak tanpa ada yang bertanggung jawab,” tuturnya sesaat sebelum membuka kegiatan yang diselenggarakan di Jakarta Selatan, kemarin.

Sementara itu, KH Husein Muhammad, ulama yang concern pada isu hak-hak perempuan, memaparkan dua hadits Nabi tentang praktik pemotongan bagian genitalia perempuan. Menurutnya, dua hadis itu menunjukkan sebuah proses transformasi budaya. “Yang tadinya memotong habis, (kemudian hanya sebagian). Jadi, Nabi melakukan proses transformasi kebudayaan. Seharusnya kita melanjutkan (menjadi) tidak memotong,” paparnya.

Ulama kelahiran Cirebon ini mengutip pendapat Al-Hafidh Ibnu Mundzir (w. 309 H) yang menyatakan bahwa tidak ada satupun hadis yang dapat digunakan untuk melegitimasi praktik sunat perempuan. Ini disebabkan hadisnya dinilai lemah. Ia juga mengutip fatwa Dewan Fatwa Mesir dan hasil Muktamar Ulama Dunia tahun 2006 yang melarang praktik tersebut berdasarkan pertimbangan medis.

Dari perspektif lain, Maria Ulfah Anshor, penulis buku Fikih Aborsi, menyampaikan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa praktik khitan perempuan ini dilakukan atas anjuran tokoh agama melalui pengajian yang didapatkannya. Pun orang yang tidak melakukan praktik tersebut juga terdorong melalui pengajian tokoh agama. “Jadi, bagi mereka yang menolak maupun yang menjalankan, argumentasinya adalah (tokoh) agama,” beber ulama kelahiran Indramayu ini.

Dosen Pascasarjana Universitas Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur`an (PTIQ) Nur Rofiah menegaskan pentingnya menyadari perbedaan sunat perempuan dan sunat laki-laki. Sebab, banyak perbedaan mendasar di antara keduanya. Misalnya, secara anatomi dan fungsi reproduksi. Secara sosial, sunat perempuan diyakini secara berbeda dengan sunat laki-laki.

Mengingat begitu banyaknya perbedaan yang masih sering diabaikan, ia menekankan pentingnya menyajikan perbedaan sunat perempuan dan sunat laki-laki secara komprehensif sebagai salah satu strategi dalam upaya menghentikan praktik ini. “Strategi yang harus dibangun adalah memberikan perbedaan secara komprehensif dari A sampai Z, tidak hanya secara biologis tetapi juga secara sosial. Termasuk dalil-dalilnya,” tekannya.

Ia juga menekankan pentingnya mengajarkan materi P2GP kepada para mahasiswa kedokteran. Namun, materi yang diajarkan bukan terkait prosedur, melainkan bahayanya. Sehingga dokter dan bidan itu lulus dengan pengetahuan bahwa P2GP itu berbahaya.

Berbeda dari lainnya, Ustadz Ibnu Kharish mengutip kaidah dari Syekh Wahbah az-Zuhaili, bahwa ketika ada pendapat fikih bertentangan dengan pendapat medis, maka yang didahulukan adalah pendapat ahli medis. Kaidah yang disebutkan itu sendiri dipakai oleh Az-Zuhaili dalam konteks haid. Namun, menurutnya, itu masih bisa dipertimbangkan untuk digunakan juga dalam konteks P2GP.

Ditinjau dari aspek regulasi, Menteri Agama periode 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin membeberkan terdapat Fatwa MUI No. 9A tahun 2008 yang mendukung praktik P2GP. Di dalamnya, dinyatakan bahwa khitan perempuan sebagai pemuliaan bagi perempuan. Bahkan dinyatakan secara eksplisit, baik khitan laki-laki maupun perempuan adalah fitrah, aturan, dan syiar Islam.

Fatwa MUI yang disebutkan sendiri juga menunjukkan keragaman pendapat para ulama dalam memandang P2GP. Karena itu, menurut Lukman Hakim Saifuddin, perlu dijelaskan masing-masing konteks yang melatarbelakangi perbedaan pendapat tersebut. “Jadi, kontekstualisasi dari masing-masing pendapat keagamaan terkait dengan sunat perempuan itu perlu dijelaskan. Karena hukum itu berubah-ubah sesuai konteksnya,” ujarnya.

Problem di lapangan tidak lebih baik. Sebagaimana dikisahkan oleh Atashendartini Habsjah dari Yayasan Kesehatan Perempuan, bidan sebagai tenaga medis sering mendapat pengusiran oleh warga ketika menolak untuk melakukan tindakan P2GP. “Yang di atas, para elit bilang melarang. Tapi apa yang terjadi di bawah? Bidan diusir dari desa kalau tidak menyunatkan,” kisahnya. (*/Ful)