PKS dan Demokrat Menolak Pengesahan RUU Kesehatan

by
Diskusi Forum Legislasi dengan tema "Menakar Efektivitas RUU Kesehatan Mengendalikan Wabah Penyakit Menular" di Media Center MPR/DPR/DPD RI, Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Hadir sbagai nara sumber dan pembicara Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Dr. Hj. Kurniasih Mufidayati, M.Si dan Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid. (Foto : Jimmy)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Dihapusnya kewajiban besaran anggaran kesehatan atau mandatory spending dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan berdampak pada ketiadaan jaminan yang mengharuskan pendanaan kesehatan sebagai prioritas. Padahal, kesehatan merupakan prioritas dasar yang wajib dipenuhi negara.

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Kurniasih Mufidayati mengibaratkan mandatory spending seperti darah yang sangat dibutuhkan tubuh. Memiliki peran dan fungsi sangat penting bagi semua organ tubuh karena organ tubuh memerlukan energi melalui perantara darah.

“Jadi dari pasal-pasal yang tadi sudah kita perjuangkan itu, justru darahnya belum ada. Jadi belum fix. Walaupun di pasal-pasal tentang pendanaan itu sudah lebih detail dibandingkan Undang-Undang Kesehatan sebelumnya,” ucap Kurniasih Mufidayati dalam diskusi Forum legislasi dengan tema ‘Menakar Efektivitas RUU Kesehatan Mengendalikan Wabah Penyakit Menular’ di Media Center Parlemen, Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Selasa (4/7/2023).

RUU Kesehatan yang akan disahkan di rapat paripurna DPR mendatang akan merevisi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dan akan menggunakan mekanisme omnibus law. Karena RUU Kesehatan yang dibahas ini akan menggabungkan 13 Undang-Undang yang berkaitan dengan sektor kesehatan.

Kurniasih menambahkan karena mandatory spending seperti darah yang mengalir dalam tubuh tidak ada, maka sebagus apapun upaya kesehatan apabila dananya tidak fix, tidak disediakan melalui mandatory spending maka rakyat tetap akan susah memperoleh pelayanan dan fasilitas kesehatan yang baik dari negara.

“Supaya ada jaminan buat rakyat, ya kita harus mengalokasikan anggaran yang fix. Untuk PBI besarannya berapa. Kemudian juga untuk meningkatkan layanan kesehatan pasien yang masih belum merata, ketersediaan dokter spesialis dan sub spesialis yang masih sangat kurang. Itu semua butuh anggaran, butuh dana. Sementara kita mandatory spendingnya malah dihapus,” sesal Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) ini.

Sejauh ini, pemerintah dan DPR telah sepakat membawa RUU Kesehatan disahkan dalam rapat paripurna DPR RI dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I di Komisi IX DPR RI.

Namun kesepakatan tersebut tidak bulat karena dari 9 fraksi di DPR, hanya 7 fraksi menyetujui, sedangkan 2 fraksi menolak.

Adapun fraksi yang menyetujui RUU Kesehatan segera dibawa ke rapat paripurna adalah PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), serta Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Sementara itu, Partai Kebangkitan Nasional (PKB) dan Partai Nasdem menyetujui dengan catatan. Sedangkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat menolak. Tidak setuju RUU tersebut segera disahkan di paripurna.

Semula, dalam draf RUU tersebut pemerintah mewajibkan besaran anggaran kesehatan sebesar 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di luar gaji dan sebesar minimal 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di luar gaji. Namun, dalam perkembangannya pemerintah malah memutuskan menghapus mandatory spending.

Dengan dihapusnya mandatory spending ini, Kurniasih mengaku khawatir negara atau pemerintah tidak siap jika terjadi kejadian luar biasa (KLB) dan wabah seperti pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu yang membutuhkan penanganan luar biasa dan perlu juga dukungan anggaran luar bisa besar. Karena tidak memiliki plafon dari besaran untuk anggaran kesehatan.

Ia mengungkapkan sebenarnya yang menginginkan tetap ada mandatory spending bukan Fraksi PKS dan Fraksi Demokrat saja.

“Kalau nggak salah dari dari 9 itu sekitar 4 atau 5 fraksi yang memang tetap menginginkan adanya mandatory spending ini. Karena ini sangat penting apalagi untuk menghadapi kejadian luar biasa dan wabah,” tegasnya.

Dalam forum yang sama, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid mengatakan pengaturan mengenai wabah dan kejadian luar biasa dalam RUU Kesehatan yang merevisi UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menjadi lebih komprehensif.

Karena mulai dari definisi, kemudian cara penanggulangannya, yaitu kewaspadaan pada saat wabah maupun KLB, juga pasca kejadian juga diatur. Selain itu peran dan partisipasi masyarakat juga diatur antara mengenai komunikasi risiko, perilaku yang harus dilakukan masyarakat di saat terjadi wabah atau KLB seperti kejadian pandemi Covid-19 lalu. (Kds)