White Collar Crime di Tubuh Birokrasi dan Krisis Kepercayaan

by
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo/Bamsoet. (Foto:BS)

KONSEKUENSI logis dari terungkapnya rangkaian fakta tentang perilaku korup sejumlah aparatur negara akhir-akhir ini adalah terbentuknya persepsi publik yang sangat negatif pada sejumlah institusi. Anggapan buruk itu akan berkembang menjadi krisis kepercayaan, jika tidak segera disikapi dengan pendekatan holistik. Maka, memerangi korupsi tak cukup lagi dengan penindakan, namun lebih mengutamakan pencegahan.

Rangkaian fakta tentang perilaku korup sejumlah aparatur negara yang terungkap belakangan ini memaksa siapa saja menyimak serta menyuarakan keprihatinan. Pasti sangat mengecewakan karena korupsi ternyata masih dan semakin marak, dengan potensi kerugian negara yang nilainya terbilang fantastis. Padahal, sudah puluhan tahun negara konsisten memerangi korupsi.

Gambaran dari rangkaian kasus baru itu hanya memberi penjelasan kepada masyarakat bahwa negara belum memenangi apa pun dari perang itu. Memenuhi syarat untuk mengatakan korupsi saat ini demikian merajalela. Kalau di masa lalu, korupsi skala besar dilakukan oleh pusat kekuasaan, kini korupsi bernilai tirliunan rupiah sudah bisa dilakukan cabang-cabang kekuasaan level eselon menengah.

Menyikapi kecenderungan itu, masyarakat tak cukup hanya geleng-geleng kepala atau mengelus dada, tetapi juga dipaksa untuk menerima kenyataan yang menyakitkan itu. Pasti menguras emosi. Perang seperti apa lagi yang diperlukan untuk sekadar bisa meminimalisir peluang oknum aparatur negara melakukan korupsi. Mengapa reformasi birokrasi yang sudah dilaksanakan belum juga dapat meminimalisir peluang oknum melakukan korupsi?

Namun, semua komunitas anak bangsa diharapkan tidak pernah lelah dan jenuh untuk ikut memerangi korupsi, sebagaimana sudah ditunjukan sebagian warganet akhir-akhir ini. Kalau masyarakat demikian peduli, pemerintah bersama institusi penegak hukum pun diharapkan lebih bersungguh-sungguh, terutama pada aspek pencegahan. Sebagai salah satu modus kejahatan terhadap negara dan rakyat, korupsi mungkin sulit dieliminasi. Namun, strategi pencegahan yang lebih dan semakin efektif seharusnya bisa dirumuskan.

Memang, tema tentang pencegahan tindak pidana korupsi (Tipikor) sama sekali tidak baru, karena sudah begitu sering dibahas dan didiskusika. Namun, setelah memahami ragam modus korupsi yang dipraktikan pada kasus-kasus terbaru, tema pencegahan Tipikor menjadi relevan dan perlu disegarkan lagi. Relevansi dan masalahnya sangat jelas. Bayangkan, di tengah konsistensi negara memerangi korupsi, alih-alih semakin bersih wajah institusi dari perilaku korup, potret riel yang terungkap malah sangat menakutkan. Sebab, ada beragam mafia pada sejumlah institusi yang siap memangsa siapa saja yang lemah, termasuk memangsa hak-hak negara.

Pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD tentang maraknya korupsi mempertegas gambaran itu. Belum lama ini, Menko Mahfud berujar, “Gilanya korupsi di negara kita ini. Sekarang, kalau Saudara noleh ke mana aja, ada korupsi. Noleh ke hutan ada korupsi di hutan; noleh ke udara ke pesawat udara, ada korupsi di Garuda.”

Keprihatinan bersama akibat korupsi hendaknya tidak semata-mata terfokus pada besar-kecilnya nilai kerugian negara dan rakyat. Tak kalah pentingnya untuk dipahami adalah bagaimana para terduga koruptor itu memperlakukan institusi negara sebagai basis dan sarana mempraktikan kejahatan mereka. Para oknum itu menjadi ASN bukan untuk menjalankan tugas dan fungsinya sebagai abdi negara. Mereka masuk institusi negara untuk membangun organisasi kejahatan, dengan cara menyalahgunakan wewenang yang diberikan negara kepada mereka. Sangat wajar jika kemudian publik mengenal ragam mafia pada sejumlah institusi.

Fakta tentang ragam mafia pada sejumlah institusi melahirkan kesimpulan bahwa birokrasi pada beberapa institusi sarat dan dikendalikan pelaku kejahatan kerah putih (white collar crime). Jabatan mereka terhormat dengan kewenangan besar yang dipercayakan negara kepadanya. Namun, mental dan orientasi mereka bukan untuk melayani negara dan rakyat, melainkan membangun organisasi kejahatan yang nyaris tanpa bentuk untuk merampok dan merampas hak-hak negara dan rakyat.

Dalam beberapa kasus terbaru, bahkan muncul gambaran jika para oknum aparatur negara itu memindahkan kejahatan jalanan (blue collar crime) ke dalam organisasi mereka di institusi. Untuk memperluas jaringan, para oknum itu menggunakan wewenang sebagai tameng untuk ‘operasi penindakan atau penertiban’. Padahal target utamanya adalah penguasaan ruang yang lebih dan semakin besar untuk memuluskan kejahatan. Misalnya, para oknum itu akan memburu dan menindak pengedar narkoba yang bukan anggota jaringan.

Peran cukup dominan dari pelaku kejahatan kerah putih pada sejumlah institusi itu hendaknya tidak disederhanakan dengan sekadar menangani perkara Tipikor-nya. Sebaliknya, harus disikapi dengan sangat serius dan holistik. Harus dimunculkan ambisi untuk mengeliminasi ragam mafia pada birokrasi institusi negara. Kalau terpaku pada kasus Tipikor-nya, sama sekali tidak ada jaminan mafia-mafia itu akan terliminasi. Pada akhirnya, setiap administrasi pemerintahan menjadi tidak nyaman karena tercoreng oleh sepak terjang ragam mafia itu.

Dan, ketika rakyat sampai pada asumsi atau anggapan bahwa negara gagal memerangi mafia di tubuh birokrasi, persoalan yang akan mengemuka kemudian adalah krisis kepercayaan kepada pemerintah. Semua orang tahu apa yang akan terjadi pada negara jika krisis kepercayaan kepada pemerintah tidak ditangani dengan efektif. Persoalannya bisa melebar menjadi krisis politik.

Hari-hari ini, telah dibentuk dan mulai bekerja Satuan Tugas (Satgas) Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk mengusut dugaan transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun itu. Kehadiran Satgas TPPU ini tentu harus dan layak diapresiasi. Publik berharap Satgas mampu menuntaskan kasus ini, termasuk memberi penjelasan kepada masyarakat tentang konstruksi kasus, dan siapa serta bagaimana cara bekerja semua pihak yang terlibat dalam kasus ini.

Setelah puluhan tahun negara konsisten memerangi korupsi, jumlah penindakan, plus jumlah kasus Tipikor yang telah divonis pengadilan sudah begitu banyak, baik kasus Tipikor skala besar maupun kecil. Namun, terungkapnya rangkaian fakta kasus dugaan Tipikor terbaru menjadi bukti bahwa penindakan yang berujung pada sanksi hukum terhadap para koruptor sama sekali tidak menumbuhkan efek jera. Kalau sanksi hukum tidak efektif menumbuhkan efek jera, tentu harus dicari strategi lain yang lebih efektif dalam perang melawan korupsi.

Strategi pencegahan hendaknya lebih diutamakan. Bagaimana rumusan strategi pencegahan yang dinilai efektif, tentu diperlukan inisiatif bersama lintas sektor, melibatkan para pakar, termasuk belajar dari pengalaman negara lain yang mampu meminimalisir korupsi di tubuh birokrasi negara.

*Bambang Soesatyo* – (Ketua MPR RI/Ketua Dewan Pembina Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD/Dosen Tetap Fakultas Hukum, Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Terbuka dan Universitas Perwira Purbalingga (UNPERBA)

No More Posts Available.

No more pages to load.