Mahfud Md Dinilai Aneh, Ngomong Cepat Berubah, Kamrussamad: Sebelumnya dan Ada Video, Ngomong Rp300 Triliun, Bertemu Menkeu Lain Lagi

by
Anggota Komisi XI Kamrussamad (F Gerindra). (Foto : Jimmy)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Anggota Komisi XI DPR RI dari F-Gerindra, Kamrussamad menyatakan ada keanehan dengan Menko Polhukam Mahfud Md, yang dengan cepat merubah statement. Awalnya, dia bilang ada transaksi mencurigakan Rp 300 triliun di Kementerian Keuangan. Tapi kemudian berubah setelah Menkeu Sri Mulyani bertemu dengannya.

“Ada videonya itu saya menyaksikan, tapi kemudian berubah statement beliau ketika Bu Sri Mulyani sudah bertemu. Sebelum bertemu beliau mengatakan data, setelah bertemu Ibu Sri Mulyani mengatakan isu, Saya punya dua video yang berbeda. jadi berarti ada masalah nih diinternal pemerintah,” tandas Kamrussamad pada diskusi Dialektika Demokrasi dengan Tema “Akibat Gaya Hedon, LHKPN Pejabat Kemenkeu Jadi Sorotan”, di Media Center MPR/DPR/DPD RI, Kamis (16/3/2023).

Kamrussamad mengaku tidak mengerti dengan Mahfud Md, mungkin ada koordinasi yang tidak maksimal berjalan, atau mungkin Pak Mahfud lagi melihat Ini kesempatan baik untuk membangun pencitraan.

“Siapa tahu ada peluang 2024. Kita enggak tahu, tapi saya mau mengatakan sebagai mitra kementerian keuangan, kami memiliki keyakinan bahwa reformasi birokrasi yang dijalankan oleh kementerian keuangan dalam kurung 7-8 tahun terakhir ini ada indikator kinerja yang sudah kita sepakati, memang ada masalah yang belum selesai,” kata Kamrussamad.

Misal, ada masalah temuan BPK yang setiap tahun kita kawal untuk bisa ditindaklanjuti, kemudian ada masalah dari segi etika dan pelayanan publik yang belum maksimal dan ada capaian belanja negara tagline yang belum terwujud, yang disebut dengan standing better misalnya, tepat sasaran, tepat waktu, tepat prosedur, tempat manfaat belum sepenuhnya terimplementasi.

“Hampir semua belanja negara mayoritas misalnya TKD yang ditransfer masih berada di kuartal ketiga, bahkan ada di kuartal ke-4 di tahun berjalan, bagaimana mungkin bisa standing better, mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah kalau belanja APBN-nya dikeluarkan ketiga,” tutur Kamrussamad.

“Jadi enggak akan mungkin pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru bisa tumbuh, itu yang kita selama ini dorong, supaya direktorat dengan perimbangan keuangan daerah betul-betul mensuporvisi supaya ekonomi kita bisa tumbuh, kemiskinan bisa kita tekan dan pengangguran bisa kita tekan, itu yang kita percaya selama ini,” katanya lagi.

Dijelaskan Kamrussamad, ada 45.000 pegawai ASN di DJP (direktorat jenderal perpajakan). Dari 200 lebih KPP, ia mengaku, sangat kaget yang agak cenderung mempercayai yang Rp 37 miliar, yang ditemukan di dalam safety box.

“Kalau itu benar terjadi karena kami baru 27 Maret akan mengundang menteri keuangan dan jajarannya di komisi XI, kalau itu terjadi maka Rp 37 miliar dikali 45.000 pegawai, taruhlah 10% yang brengsek, yang kata Bu Sri Mulyani kalimat ‘penghianat’, ya kita mengutip aja kalimat beliau penghianatnya 10% dari 45.000 pegawai pajak. Berarti 4500 kali Rp37 miliar, tuh berapa banyak berarti lebih kurang 140 triliun duit yang sedang sekarang dalam bentuk tunai, yang berada di tempat-tempat yang dipakai oleh para pengkhianat yang Ibu Srimulyani sebut. Kalau itu benar terjadi,” jelas Kamrussamad.

Karena itu, menurut Kamrussamad, publik perlu penjelasan lebih detail sebetulnya dari PPATK. Jangan asal ngomong 200 kali melaporkan kepada kemenkeu. Kasihan menterinya, kasihan juga DPR yang menjadi mitra yang selama ini mempercayai.

Kemudian, lanjut Kamrussamad, kalau ternyata tidak benar 200 kali kepala PPATK harus meminta maaf bahwa yang benar itu 11 kali memberikan laporan ke Kemenkeu, jangan berubah dari data dan isu, kalau memang data yang ada tidak sampai Rp 300 Triliun, dipaparkan apa adanya, jangan sampai publik menilai bahwa 2 pejabat ini telah melakukan kebohongan publik, atau menambah panasnya sorotan ke kementerian keuangan.

Kamrussamad menjelaskan, penerimaan negara dari teks rasio masih jauh dari harapan, kalau dibandingkan negara-negara lain, misalnya Korea Selatan di atas 20%, Amerika di atas 20%, Singapura di atas 20%, Indonesia masih di kisaran 9, sekian persen, padahal wajib wajib pajaknya sudah mencapai 62 juta, yang produktif baru lebih kurang 10 juta lebih.

“Kita mau bagaimana meningkatkan kepercayaan wajib pajak, supaya akselerasi pembangunan kita bisa lebih maksimal, karena pilar utama kita untuk pembangunan nasional yang berkelanjutan adalah penerimaan negara yang salah satunya bersumber dari pajak,” pungkasnya. (Asmin/Kds)