Rendahnya Partisipasi Politik Perempuan pada Pemilu, Masih Jadi PR Tersendiri

by
Ketua Presidium KPPI, Kanti W Janis. (Foto: Ist)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Rendahnya partisipasi politik perempuan pada pesta demokrasi lima tahunan di Tanah Air masih menjadi pekerjaan rumah tersendiri. Padahal sejumlah regulasi mulai dari Undang-Undang (UU) tentang Pemilu, UU tentang Penyelenggara Pemilu, hingga UU tentang Partai Politik dengan jelas harus memperhatikan keterwakilan perempuan harus sekurang-kurangnya mencapai 30 persen.

Oleh karena itu, Ketua Presidium Kaukus Perempuan Politik Indonesia atau KPPI, Kanti W Janis bicara dalam diskusi Sosialisasi Peraturan Pemilu 2024 bertema ‘Keberpihakan Peraturan Pemilu 2024 untuk Perempuan’, secara daring beberapa waktu lalu menekankan agar perempuan harus mengambil peran penting dalam politik kekuasaan ini, agar Indonesia berjalan sesuai dengan pernyataan yang termasuk di dalam Pasal 1 ayat 2 UUD 1945, ‘Kedaulatan adalah di tangan rakyat’.

“Apa hubungannya pasal satu ini dengan perempuan di Indonesia? Karena perempuan membentuk komposisi rakyat Indonesia yang jumlahnya hampir 50% dari total populasi. Perempuan sebagai pembentuk komposisi rakyat, juga menentukan kedaulatan menentukan kebijakan yang ada di Indonesia,” tegasnya.

Karena itu, Kanti mengharapkan perempuan harus aktif mempengaruhi kebijakan, yakni dengan terjun ke ranah politik praktis. Perempuan harus hadir untuk menyelesaikan persoalan krusial di masyarakat.

“Meski untuk terjun dalam politik praktis bukan hal yang mudah bagi kaum perempuan. Tapi, saya sangat salut dan bangga kepada kawan-kawan kaum perempuan yang mau terjun ke ranah politik praktis. Kamidari prganisasi KPPI, terus berusaha mendorong partisipasi perempuan untuk duduk di Parlemen,” kata dia lagi.

Kebijakan Afirmasi

Sedang Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Betty Epsilon Idroos, mengatakan kebijakan afirmasi untuk perwakilan perempuan dalam politik, terus mengalami perkembangan di UU Parpol No 2 Tahun 2011. Saat ini KPU sedang memverifikasi untuk parpol calon peserta Pemilu 2024 terkait regulasi tersebut.

“Untuk pendaftaran partai dalam UU Pemilu di Pasal 173, 245, 252, 257, ada keharusan parpol untuk memenuhi persyaratan menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada pengurusan parpol,” beber dia seraya menamhakan, KPU juga akan memastikan parpol untuk memuat daftar beberapa bakal calon terkait keterwakilan perempuan dalam proses pencalonan.

Kalau parpol dalam suatu dapil (daerah pemilihan-red) tidak memenuhi paling sedikit 30 persen dari jumlah adalah perempuan, kanjut Betty, maka pihaknya akan minta perbaikan kepada parpol sebelum nanti KPU menetapkan bakal calon sementara dan bakal calon tetap pada tahun 2024 sama persis seperti di 2019 sehingga parpol diminta mewajibkan 30 persen harus perempuan.

Sedang Lamlam Masropah dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menilai perempuan menjadi sosok penting untuk berpartisipasi dalam Pemilu 2024. Pasalnya, peningkatan partisipasi perempuan dalam Pemilu 2024 akan sangat berkorelasi dengan pengambilan keputusan politik yang berkeadilan secara gender.

“Karena bisa dikatakan tidak ada pemilu yang demokratis tanpa keterlibatan perempuan. Di Pemilu 2019, partisipasi pada tingkat pemilih perempuan bisa dikatakan memberikan kontribusi yang paling tinggi dengan datang ke tempat pemungutan suara sebanyak 80,8 juta orang.

Namun hal itu, menurut Lamlam, sangat kontradiktif dengan keterwakilan perempuan dalam penyelenggara pemilu seperti Bawaslu, KPU, dan calon legislatif (caleg) yang lolos ke DPR RI. Untuk keterwakilan perempuan di penyelenggara di Bawaslu RI saat ini hanya ada satu. KPU RI juga hanya ada satu.

“Jadi masih di bawah 30 persen. Untuk keterwakilan perempuan yang lolos ke Senayan (DPR) baru 20,25 persen,” jelas Lamlam sembari melanjutkan bahwa ada sejumlah catatan kritis terkait keterwakilan perempuan di Pemilu 2019, seperti masih banyak ditemukan budaya patriarki dan politik maskulin.

Hal tersebut, kata Lamlam, tampak terlihat dari belum adanya kebijakan partai politik untuk mendorong kader terbaik perempuan di Pilkada 2020. Sedang faktor lain yang juga mempengaruhi adalah masih kuatnya politik dinasti dan lekatnya budaya masyarakat yang patriarki dengan mendahulukan memilih laki-laki daripada perempuan.

“Dan masih banyak kelompok rentan yang termaginalkan dalam proses pemilu. Kandidat perempuan belum semuanya konsisten membawa agenda perjuangan perempuan. Pemilih perempuan pada kenyataannya tidak semua memilih kandidat perempuan. Meskipun calegnya dari kaum hawa tidak menjamin untuk dipilih oleh pemilih perempuan,” ucapnya.

Karenanya Menurut Lamlam, Pemilu 2024 layak dijadikan sebagai momentum konsolidasi perempuan untuk membumikan kesetaraan gender. Hal itu bisa dimulai dengan mendorong afirmasi aksi minimal 30 persen keterwakilan perempuan untuk bisa terwujud. Kemudian, mengembangkan kebijakan sensitif gender dalam penyelenggaraan Pemilu dan meningkatkan keterpilihan perempuan di legislatif serta eksekutif.

“Terobosan apa yang perlu dilakukan partai politik dan bakal caleg perempuan? Perlu kiranya partai politik (parpol) untuk mendukung bakal calon perempuan untuk melakukan pemetaan pemilih dengan memberikan pendukung infrastruktur kemenangan,” pungkasnya. (Ery)