Ini Sikap Pengamat Pemilu Terkait 30 Persen Keterwakilan Perempuan dalam Pileg 2024

by
Pemilu 2024. (Photo: Ilustrasi)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Komite Pemilih Indonesia (TePI), pada Minggu (12/11/2023) kemarin menggelar diskusi secara daring dengan menghadirkan sejumlah peneliti dan pengamat pemilu. Diskusi ini diadakan karena ditenggarai adanya pembiaran dan ‘peniadaan’ norma yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam tahapan pencalonan DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota terkait jumlah minimal 30 persen perempuan dalam Daftar Calon Tetap (DCT) yang sudah dipublikasikan ke masyarakat.

Dalam pengantar diskusi itu, Koornas TePI Indonesia Jeirry Sumampow menyinggung soal pentingnya pelaksanaan pemilu yang adil, substantif dan normatif.

“Kami mendorong keadilan pemilu, baik substantif dan normatif, wajib diikuti oleh semua stakeholder pemilu, apakah KPU, Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu, peserta pemilu, pemilih dan seluruh masyarakat, wajib mengawasi dan memantau soal-soal substantif pemilu ini,” kata Jeirry Sumampow lewat keterangan tertulis yang diterima beritabuana.co di Jakarta, Senin (13/11/2023).

Diskusi media yang dimoderatori Maria Prisilia dari TePI Indonesia ini menghadirkan pembicara Koordinator JPPR Nurlia Dian Paramita, Sekjen KIPP Kaka Suminta, Peneliti Puskapol UI Delia Wildianti, Direktur Kata Rakyat Alwan Ola Riantoby, Direktur DEEP Neni Nur Hayati, Sekjen KPI Mike Verawati dan peneliti senior TePI Rendy Umboh.

Terkait dengan tema diskusi, Nurlia Dian Paramita menyatakan pada prinsipnya , mendorong keterwakilan perempuan dalam DCT 2024 harus memenuhi syarat UU 7 tahun 2017. Jika hal tersebut tidak dipenuhi kata dia, maka 17 parpol sesungguhnya sedang mengebiri martabat perempuan, sekaligus menjadi pengkhianat UU. Sebab sebut dia, kesempatan perempuan untuk memimpin harus terus didorong dengan segala konsekuensinya.

“Dengan demikian akan membawa kesempatan hidup pemilih yang jauh beradab dan progresif ke depan,” ujarnya.

Sementara Kaka Suminta secara tegas menyatakan, pembiaran atau peniadaan kuota 30 persen perempuan bisa disebut pembangkangan terhadap undang-undang, dengan dalil logika matematika, logika pembulatan yang justru bertentangan dengan angka matematis dari makna minimal 30% perempuan itu sendiri.

Sementara Alwan Ola Riantoby mengatakan, bahwa, sikap KPU yang melakukan pada proses pencalonan afirmasi perempuan merupakan indikasi yang sangat berbahaya bagi kredibilitas Pemilu 2024. Alasannya KPU telah terbuka menunjukkan kecenderungan untuk berpihak kepada kepentingan partisan atau partai-partai politik daripada berdiri di atas aspirasi masyarakat.

Dalam hal ini, kata dia, keterwakilan perempuan dalam politik yang sering di suarakan, hanyalah keterwakilan atau afirmasi semu.

“Karena sejak awal KPU dan partai politik sedang mengatakan keterlibatan dan keterpilihan perempuan dalam politik bukan hal di prioritaskan, atau hanya afirmasi semu belaka,” kata Alwan.

Lebih jauh Neni Nur Hayati menyebut, tidak hanya di tingkat nasional, imbauan surat dinas yang ditujukan KPU kepada partai politik berdampak massif pengabaian affirmative action 30% keterwakilan perempuan sampai tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Hasil pemantauan Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, di Provinsi Jawa Barat hanya Gerindra dan PKS yang memenuhi 30% keterwakilan perempuan di setiap dapil.

“Kondisi ini memperlihatkan kemunduran yang cukup serius berkaitan dengan partisipasi perempuan dalam politik baik itu dari hulu ke hilir ataupun hilir ke hulu yang terstruktur, sistematis dan massif,” ujanya.

Hal ini terjadi kata dia, akibat KPU tidak menindaklanjuti secara serius putusan Mahkamah Agung (MA), melalui revisi PKPU Pencalonan. KPU memainkan standar ganda atas putusan MA dan Putusan MK yang langsung melakukan revisi PKPU.

Neni menilai langkah KPU terkesan absurd. Begitupun juga dengan partai politik yang sekadar menempatkan aturan kuota 30 persen caleg perempuan sebagai persyaratan administratif untuk mengikuti pemilu dan tidak memiliki komitmen kesetaraan gender sehingga terjebak pada tafsir logika liberal.

Sementara untuk KPU, menurut dia, aturan keterwakilan perempuan masih dianggap sebagai imbauan moral dan formalitas.

“Kondisi ini sangat disayangkan karena semakin melemahkan gerakan perempuan di politik, belum lagi isu ini masih dianggap terpinggirkan,” ujarnya.

Neni juga mendorong agar Bawaslu segera menyampaikan hasil pengawasan pencermatan DCT kepada publik sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas hasil pengawasan.

Disisi lain, Mike Verawati menegaskan, hasil DCT yang menunjukan tidak terpenuhi 30% keterwakilan perempuan pada setiap dapil, telah membuktikan bahwa lemahnya itikad KPU untuk mengembalikan pemenuhan prinsip afirmatif action dalam PKPU 10 Tahun 2023 khususnya pasal 8 ayat 2.
Hal ini semakin menunjukan bahwa Pemilu 2024 kemungkinan akan gagal memastikan indeks demokrasi dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goal khususnya tujuan ke-5 mengenai kesetaraan gender, dan pengabaian pada kesepakatan Negara Indonesia dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, yang dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.

Sementara itu, Rendy Umboh menegaskan, pada titik ini, penegakan hukum Pemilu itu sangat dibutuhkan, untuk menegakkan dan memastikan berfungsinya norma-norma hukum yang ada dalam Pemilu, dan Bawaslu itu adalah ujung tombaknya, dimana telah terjadi Pelanggaran Administratif masal, di seluruh Indonesia, baik di Daerah Pemilihan DPR RI, DPRD Provinsi, maupun Dapil Kabupaten/Kota seluruh Indonesia terkait norma minimal 30 persen perempuan dalam DCT yang telah ditetapkan pada tanggal 3 November 2023.

Dia mengatakan, telah jelas dan terang, bahwa terjadi pelanggaran prosedur, tata cara dan mekanisme dalam tahapan pencalonan. Rendy merasa heran karena pelanggaran administrasi dibiarkan, sehingga menimbulkan pertanyaan dimana fungsi pengawasan Pemilu itu?

“Ada pelanggaran terhadap Norma yang jelas dan terang diatur dalam UU Pemilu pasal 245, 246 serta PKPU 10/2023 pasal 8 ayat 1 yang secara terang dan jelas menyebut minimal 30% setiap Daerah Pemilihan (Dapil), yang dikuatkan dengan Putusan MA No. 24 P/HUM/2023 yang membatalkan pasal 8 ayat 2, terkait pembulatan, tapi baik KPU maupun Bawaslu, abai soal ini,” ungkapnya. (Asim)