Wakil Ketua Komisi II: Meski Kewenangan Pusat, Sebaiknya Penetapan Pj Kepala Daerah Dibicarakan Dengan Gubernur

by
Anggota MPR RI dari F-NasDem, Saan Mustopa. (Foto: Jimmy)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Gubernur Sulawesi Tenggara (Sulteng), Ali Mazi batal melantik pejabat (Pj) Bupati Muna Barat dan Pj Bupati Buton Selatan yang sudah ditetapkan Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri). Alasan ditunda, karena nama Pj kepala daerah yang ditetapkan Kemendagri ternyata tidak sesuai dengan nama yang di usulkan Ali Mazi.

Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustofa kepada media di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (24/5/2022) mengatakan, penunjukan Pj kepala daerah, Bupati dan Walikota, merupakan kewenangan Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kemendagri. Namun, nama untuk Pj kepala daerah ini merupakan usulan dari gubernur seteempat.

“Berdasarkan usulan dari gubernur, gubernur mengusulkan nama dan Pemerintah Pusat tentu memilih nama tersebut, atau bahkan bisa mengabaikan dari nama yang diusulkan oleh gubernur,” kata Saan.

Meski demikian, politisi Partai Nasdem ini menyarankan, idealnya putusan yang mau diambil oleh pemerintah supaya dibicarakan dengan Gubernur. Hal ini untuk menghindari terjadinya kekisruhan seperti yang terjadi di Sultra.

“Kemendagri membicarakan dulu dengan dengan gubernur sebelum memutuskan menunjuk penjabat kepala daerah,” imbuh Saan Mustofa.

Seperti diketahui, Kemendagri menerbitkan Surat Keputusan (SK) atas nama Bahri sebagai penjabat Bupati Muna Barat. Bahri sebelumnya menjabat Direktur Perencanaan Keuangan Daerah Kemendagri.

SK kedua adalah atas nama La Ode Budiman untuk ditetapkan sebagai penjabat Bupati Bupati Buton Selatan. La Ode sebelumnya menjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Buton Selatan.

Selain penjabat Bupati Muna Barat dan Bupati Buton Selatan, pelantikan penjabat Bupati Serat Bagian Barat juga mendapat sorotan karena penjabat yang dilantik ini merupakan perwira tinggi yang masih aktif TNI, yaitu Brigjen Chandra Sa’aduddin.

Terkait dengan hal ini, Saan Mustofa menyatakan, perwira TNI maupun perwira Polri yang masih aktif tidak boleh ditetapkan sebagai penjabat kepala daerah, seperti Bupati dan Walikota.

“Kecuali yang ditetapkan itu sudah purnawirawan. Atau masih aktif sebagai TNI tetapi menduduki jabatan-jabatan sipil, masih dibolehkan menjadi penjabat kepala daerah,” terangnya.

Karena itu, Saan Mustofa menyarankan supaya pemerintah membuat aturan turunan dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam bentuk peraturan tertulis secara formal. Sehingga proses penetapan seseorang menjadi penjabat kepala daerah dilakukan secara transparan, prinsip-prinsip demokrasinya bisa dikedepankan. Sehingga kata Saan tidak terjadi problem seperti yang terjadi di beberapa daerah.

“Jadi sekali lagi, pertimbangan MK penting untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah, supaya ada mekanisme yang jelas aturan, yang jelas transparansi dan demokrasi, sehingga tidak menimbulkan polemik,” kata Saan Mustofa. (Asim)