Saatnya Mencari Solusi Konflik Identitas Pasca Pilkada DKI 2017 Setelah Kasus Penyerangan Ade Armando

by
ILUSTRASI

PASCA Pilkada DKI 2017 sebagai post factum peristiwa politik di tanah air, negara dan masyarakat dihadapkan pada suatu kondisi ketegangan kelompok di masyarakat yang dilandaskan pada rasa benci (hate feeling) dengan menggunakan sentimen politik aliran yang mengkapitalisasi pandangan terhadap ajaran keagamaan satu dengan ajaran keagamaan lain secara terbuka dengan tidak mengindahkan rasa tepo seliro sebagai satu bangsa yang plural dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika Sebagai Satu Kesatuan Pondasi Kebangsaan Dan Kewarganegaraan dalam makna sila sila dalam Pancasila.

Sejak orde baru runtuh diganti dengan orde reformasi konon sebagai suatu orde perubahan dan pembaharuan serta harapan harapan baru tentang hubungan negara dan masyarakat yang saling bertanggung jawab dalam koridor hak dan kewajiban konstitusional masing masing dalam relasi yang lebih berkeadilan (Equality) dan berkesetaraan (Equity) .

Gerakan Reformasi 98 sebagai momen krusial perubahan yang pada saat itu disambut dengan suka cita dan harapan baru tentang Indonesia yang demokratis dengan agenda agenda yang berhubungan dengan spirit penegakkan Hak Azasi Manusia yang lebih baik, Pengelolaan Birokrasi yang melayani dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, serta adanya pemilihan umum yang diselenggarakan secara jujur dan adil dan adanya supermasi hukum

Agenda reformasi tersebut kemudian menjadi agenda besar negara ini, untuk menyusun fundamental perubahan yang diawali dengan amandemen konstitusi yang menjadi pijakan perubahan fundamental dari sistem dan sub sistem pemerintahan yang diharapkan mampu membangun wajah baru (reformasi ) birokrasi dalam jargon “Reinventing Government“.

Bagi indonesia saat itu momen reformasi diharapkan menjadi babak baru dari sebuah wajah pemerintahan yang membuka ruang bagi publik untuk berpartisipasi pada urusan urusan pemerintahan dalam masyarakat yang memiliki hak dan kewajjban konstitusional yang adil dan setara.

Namun tentunya spirit keterbukaan yang lahir dari gerakan reformasi sepertinya membuka kotak pandora persoalan hubungan sosial masyarakat yang plural vis a vis memperkuat polarisasi in group dan out group yang selama orde baru polarisasi pengelompokan hanya pada orbaisme dan orlaisme , militerisme dan komunisme.

Polarisasi identitas pada era reformasi berkembang lebih luas dan mendasar pada isu isu suku, agama , ras dan golongan yang sejatinya isu isu ini telah dibungkus dalam konsesus kebangsaan dan kewarganegaraan pada saat di proklamirkan Indonesia Merdeka.

Ketegangan berbasis pada isu isu tersebut menjadi kecemasan baru bagi publik dan pemerintahan apalagi ketika spirit reformasi 98 yaitu menemukan kembali tata kelola pemerintahan yang relatif ideal belum sepenuhnya sesuai dengan harapan perubahan ditengah tengah tingkat illeterasi masyakat yang relatif tinggi, kontestasi kekuasaan yang didasarkan pada sentimen popularitas dan praktek patrimonialisme di hampir semua struktur kekuasaan serta di tengah tengah melemahnya nilai nilai konsesual sebagai warga negara dan bangsa yang berdasarkan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.

Kondisi psiko sosial publik atas situasi menjaga jarak antar kelompok masyarakat memerlukan suatu perhatian besar dari negara karena jika kecemasan ini terus dibiarkan benih benih prasangka antar kelompok masyarakat akan semakin meluas dan semuanya akan bermuara pada hilangnya akal sehat dan timbulnya irasionalitas kolektif yang dapat memicu konflik horisontal berbasis identitas yang mematikan dan dapat menjadi mimpi buruk bagi keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam merespons situasi seperti ini, negara juga dihadapkan kepada kesiapan sumber daya yang profesional yang bekerja dalam koridor konstitusional dan kompentensi profesionalitas.

Sejarah pecahnya negara Yugoslavia dan Arab Spring maupun Irak dipicu karena adanya agitasi dan provokasi aktor negara yang memicu gelombang ketidak puasan publik pada isu isu sosial mendasar dan tata kelola pemerintahan yang buruk ditengah tengah ketegangan identitas menguat di masyarakat.

Dalam riset tentang konflik identitas suporter sepak bola Jack Mania Jakarta Vs Viking Bandung, konflik keduanya berlangsung lama dan menahun bahkan bersifat generatif dari satu generasi ke generasi berikutnya dan sampai saat ini menjadi bagian dari konflik sosial di dalam industri sepak bola kita bahkan kesalahan polisi (Power Blocking dan Excesive) dalam menanganinya membuat polisi dianggap menjadi bagian dari pada konflik dan memihak dari kelompok yang berkonflik, sehingga pada kelompok aliran garis keras masing masing muncul istilah All Police Are Bastard , mereka tidak lagi percaya ( Trust ) pada polisi dan ini kemudian menjadi cerita sejarah dan melahirkan sinisme kelompok terhadap polisi (negara) .

Hal ini bisa dipelajari dengan apa yang dilakukan oleh Slobodan Milosevic ketika menjadi Presiden Yugoslvia mengangkat isu Serbia Raya yang berorientasi pada hegemoni ethis serb yang dipengaruhi oleh kristen ortodox ditengah tengah bangsa yugoslavia yang plural diantaranya bosnia muslim dan kroasia yang katholik ( Lihat, The End Of War , Richard Hoolbrook ).

Konflik identitas sejatinya adalah peninggalan sejarah peradaban yang panjang, konflik komunal berbasis suku, agama, ras dan golongan selalu menyertai pergantian abad di belahan dunia manapun. Konflik identitas inipun akan menguat pada era demokrasi, globalisasi dan revolusi industri 4.0 dan tidak akan mampu diselesaikan dalam waktu yang singkat , karena disertasi penulis tentang konflik identitas jack mania jakarta dan viking bandung menunjukan thesis konflik yang berbasi siklus dan generatif (turun temurun).

Disisi lain negara wajib mencari solusi yang strategis, integral dan holisitik secara kolaboratif melalui road map yang disepakati oleh pemilik modal negara ini yaitu seluruh rakyat Indonesia dan tidak terjebak pada strategi pemadam kebakaran (Fire Brigade Model) yang justru tidak akan menyelesaikan akar masalahnya yang berakar dari sejarah, kondisi sosial-ekonomi masyarakat dan kualitas politik dan pemerintahan .

Untuk hal ini kita harus belajar dari para pendiri bangsa, mereka bisa menghasilkan konsesus kebangsaan dan meletakan visi indonesia merdeka dengan mengedepankan “Crowd Wisdom“ dengan ditemukannya Pancasila sebagai The Way Of Life bangsa dan warga negara termasuk aparatur publik.

Hal Ini Perlu Digaris Bawahi agar kita tidak terjebak pada perang semua lawan semua sebagaimana adagium Thomas Hobbes” Bellum Omnium Contra Omnes” atau dengan pepatah korban holocaust yang mengatakan “kita boleh tidak suka, tetapi kita tidak boleh membencinya karena dengan membencinya kita tidak saja menhancurkan mereka tetapi juga kita menghancurkan diri sendiri , karena kebencian itu sendiri adalah virus yang membahayakan semua orang (Eddie Jaku , Holocaust Survivor).

Kita mendukung apa yang disampaikan presiden jokowi untuk tidak ada lagi kampanye politik dan mobilisasi sosial yang menggunakan politik Identitas kedepan saat pelantikan Ketua KPU dan Ketua Bawaslu RI Periode 2022-2027. Meskipun hal ini masih memerlukan politik hukum yang lebih keras untuk patologi sosial yang bersifat kriminogenik bagi individu ataupun kelompok yang nyata nyata menggunakan isu isu yang dapat memecah belah persatuan nasional.

Kasus Ade Armando harus menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa polarisasi cebong dan kampret sebagi simbol konflik identitas di dalam politik dan sosial harus diakhiri dan saatnya menatap tahun tahun kedepan dalam kemajemukan yang bersatu untuk Indonesia yang damai, aman dan berkemajuan.

Yogyakarta April 2022.

*DR. Andry Wibowo Sik, Msi* –  (Doktor Ilmu Kepolisian Bidang Konflik Identitas, Mantan Anggota Pasukan Perdamaian PBB di Bosnia Herzegovina)