Presidential Threshold 20 Persen Salah Satu Dampak Buruk Amandemen 1999-2002

by
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Amandemen konstitusi yang dilakukan pada periode 1999-2002, dinilai Staf Khusus Ketua DPD RI, Sefdin Syaifudin, sebagai sebuah kecelakaan konstitusi.

Penilaian itu disampaikan dalam Focus Group Discussion Aspirasi Para Lora dan Gus Jawa Timur, Senin (24/1/2022). Materi yang disampaikan Sefdin adalah ‘Murtad DNA dan Durhaka Kepada Pendiri Bangsa’.

“Amandemen sebenarnya sah dan boleh dilakukan. Hal itu juga diatur dalam Pasal 37 UUD. Hanya saja, amandemen harusnya dilakukan tanpa mengubah sistem tata negara dan harus tetap derifatif dari teks Pembukaan. Dan dilakukan dengan adendum,” katanya.

Sefdin mencontohkan konstitusi asli Amerika Serikat terdiri dari 4.500 kata. Lalu dilakukan Amandemen 27 kali yang hanya menambah 2.500 kata. Begitu juga dengan konstitusi India yang terdiri lebih dari 117.000 kata. Saat dilakukan Amandemen 104 kali, hanya menambah 30.000 kata.

“Sedangkan Konstitusi Indonesia, yaitu UUD 1945 asli, memiliki sekitar 1.500 kata. Kemudian dilakukan amandemen empat tahap menjadi 4.500 kata, yang secara substansi juga berbeda dengan aslinya. Artinya terjadi perubahan besar-besaran dan tidak dilakukan dengan cara Adendum,” terangnya.

Akibat perubahan tersebut, hegemoni partai politik semakin menjadi-jadi. Ekonomi didominasi swasta dan asing. Terjadi juga oligarki ekonomi yang berkolaborasi dengan oligarki kekuasaan.

“Undang-Undang pun beraroma kepentingan kelompok. Ini juga yang kemudian memunculkan Presidential Threshold 20 Persen kursi DPR dalam Undang-Undang Pemilu. Jadi ini hanya salah satu dari dampak buruk dari kecelakaan amandemen saat itu,” tandasnya.

Dampak lain sangat banyak. Termasuk kondisi BUMN yang terpaksa ditutup. PLN digerogoti kewajiban bayar pembangkit swasta, dan segudang persoalan lainnya yang dicontohkan dalam FGD tersebut.

Sefdin berharap semua ini harus dihentikan dengan cara mewujudkan ambang batas Presidential Threshold menjadi 0 Persen untuk memunculkan banyak calon pemimpin bangsa dari putra-putri terbaik bangsa.

“Termasuk untuk memunculkan calon pemimpin yang berani dan mampu membawa bangsa ini kembali ke DNA asli bangsa ini, yaitu Pancasila. Baik sebagai sistem tata negara, maupun sebagai sistem ekonomi nasional,” tukasnya.

Sebab, katanya, Lex Semper Dabit Remedium. Bahwa hukum harus selalu memberi obat. Bukan sebaliknya, memberi penyakit dan persoalan.

“Apalagi dengan membongkar dan membuang pikiran-pikiran luhur para pendiri bangsa, yang sudah berpikir jauh ke depan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” ungkap jurnalis senior itu.

Presidential Threshold Tak Relevan

Dalam FGD membahas yang sama dan dilakukan di Surabaya, Ketua Pusat Studi Konstitusi dan Ketatapemerintahan Unair, Radian Salman, SH, LLM, mengatakan bahwa Presidential Threshold 20 persen yang diterapkan Indonesia saat ini tidak relevan dengan pelaksanaan Pemilu serentak. Selain itu, Presidential Threshold membuat sistem Presidensial menjadi tidak sehat.

Radian menegaskan tidak ada ketentuan Presidential Threshold dalam UUD 1945. UUD 1945 tidak memerintahkan pengaturan mengenai PT dalam UU. Karena itu seharusnya PT bukan open legal policy pembentuk UU.

Ia menambahkan, PT justru tidak relevan dengan penguatan sistem Presidensial. Tidak itu saja, PT juga mengakibatkan sistem presidensial yang tidak sehat.

“Penerapan PT, bertentangan dengan rights to candidacy dan pemenuhan hak memilih. Sebab, PT bertentangan dengan kesetaraan parpol dalam pemilu. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan jika PT tidak relevan dengan sistem pemilu serentak,” tegasnya.

Sementata Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan bahwa kedaulatan negara berada di tangan rakyat, bukan partai politik. Oleh karena itu, ia berharap dukungan terhadap penghapusan presidential threshold 20 persen terus meluas.

“Saya berterima kasih kepada para Lora dan Gus yang tergabung dalam Asparagus, yang telah menggelar diskusi dengan tema penghapusan PT 20 persen. Saya berharap hal seperti ini semakin meluas. Karena kedaulatan negara ini ada di tangan rakyat,” tandas LaNyalla.

“Setelah Amandemen Konstitusi di tahun 1999 sampai 2000, kekuasaan yang dimiliki partai politik sangat besar. Bahkan menjadikan partai politik, melalui fraksi di DPR RI, satu-satunya penentu wajah dan arah perjalanan bangsa ini,” tambah LaNyalla.

Dijelaskan oleh LaNyalla, setelah Amandemen, kedaulatan rakyat diserahkan melalui pemilihan langsung di dua kutub, yakni di parlemen, kepada partai politik dan perorangan peserta pemilu, yaitu anggota DPD RI. Lalu kepada pasangan presiden dan wakil presiden yang juga dipilih langsung. Sehingga DPR RI, DPD RI dan Presiden menjadi sejajar.

“Ironisnya, kewenangan DPD RI menjadi sangat terbatas kalau dibandingkan dengan Utusan Daerah dan Utusan Golongan di masa lalu. DPD RI tidak punya kewenangan mengusung dan memilih calon presiden di forum MPR. Saat ini hanya partai politik yang bisa menentukan calon presiden dan wakil presiden yang disodorkan kepada rakyat untuk dipilih,” papar Senator asal Jawa Timur itu.

Hal itu bisa terjadi karena dengan kekuasaannya, partai politik melalui fraksi di DPR membentuk Undang-Undang Pemilu yang mengatur ambang Batas Pencalonan Presiden atau Presidential Threshold.

Padahal jika ditimbang dari sisi manfaat dan mudarat-nya, menurut LaNyalla, Presidential Threshold ini penuh dengan mudarat.

“Ambang Batas pencalonan presiden itu membuat polarisasi yang tajam di masyarakat karena minimnya jumlah calon. Buktinya sampai saat ini bangsa ini masih gaduh, sesama anak bangsa masih terpecah dan berselisih,” ucap dia.

Selain itu ada beberapa persoalan mendasar yang menjadikan PT 20 persen penuh keburukan. Antara lain Presidential Threshold itu tidak sesuai dengan Konstitusi. Karena memang tidak ada perintah konstitusi untuk melakukan pembatasan dukungan untuk pencalonan presiden.

“Presidential Threshold juga mengerdilkan potensi bangsa. Dimana kemunculan calon pemimpin digembosi aturan main yang otomatis akhirnya mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan pemimpin terbaik,” ujarnya.

Belum lagi jika dilihat dari sisi Partai Politik sendiri. Dengan adanya presidential threshold, partai politik yang memperoleh kursi kecil di DPR atau di bawah 20 persen, pasti tidak berdaya di hadapan partai politik besar.

“Mereka akhirnya bergabung. Sehingga yang ada adalah kita hanya akan menyaksikan partai-partai besar yang berkoalisi untuk mengusung calon. Dan bila perlu hanya ada dua calon yang head to head. Atau kalau perlu lawan kotak kosong. Seperti di beberapa
Pilkada,” jelasnya.

Selanjutnya, presidential threshold dimaksudkan untuk memperkuat sistem presidensiil dan demokrasi. Ternyata justru sebaliknya.

“Secara teori dan praktek, malah membuat mekanisme check and balances menjadi lemah. Karena partai politik besar dan gabungan partai politik menjadi pendukung presiden terpilih. Akibatnya yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan dan Partai Politik melalui Fraksi di DPR menjadi legitimator kebijakan pemerintah,” ujarnya.

Melihat persoalan bangsa yang kompleks itu, LaNyalla hanya mengajak semua pihak untuk menggunakan kerangka berpikir sebagai Negarawan, bukan sebagai politisi. “Negarawan tidak pernah berpikir ‘next election’, tetapi berpikir ‘next generation’,” ujar dia. (Kds)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *