Anis Matta: Threshold Memicu Polarisasi di Masyarakat dan Mematikan Potensi Kepemimpinan Nasional

by
Gelora Talk bertajuk 'Menakar Reformasi Sistem Politik Indonesia, Apakah Mungkin Jadi Gelombang?', Rabu kemarin (5/1/2022).

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Pemilu 2019 lalu dinilai menjadi catatan buruk dalam sejarah demokrasi di Indonesia, sehingga perlu dilakukan koreksi besar-besaran selama pelaksanaan masa orde reformasi yang hampir seperempat abad atau 25 tahun. Pasalnya, banyak penyelenggara pemilu yang meregang nyawa akibat pelaksanaan sistem Pemilu Serentak yang dijadikan eksperimen politik pemerintah dan DPR RI selama ini.

Penilaian ini disampaikan Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia, Anis Matta berbicara dalam Gelora Talk bertajuk ‘Menakar Reformasi Sistem Politik Indonesia, Apakah Mungkin Jadi Gelombang?’, Rabu kemarin (5/1/2022).

Bahkan, Anis Matta menyebutkan bahwa persyaratan ambang batas pencalonan presiden atau Presidensial Threshold (20 persen kursi DPR), menyebabkan polarisasi yang sangat tajam. Menurutnya, sistem tersebut berpengaruh pada penciptaan polarisasi yang sangat tajam, dan berujung pada pembelahan di masyarakat yang residunya masih ada hingga kini.

“Pemberlakuan ambang batas (threshold) pada calon presiden dan Parlemen juga menghalang-halangi munculnya potensi kepemimpinan nasional,” tambah mantan Wakil Ketua DPR RI ini lagi.

Menurut Anis Matta, keberhasilan suatu demokrasi tidak diukur dengan persyaratan ambang batas, melainkan dari partipasi masyarakat.

“Perlu diingat, bahwa negara itu dibentuk dari organisasi-organisasi yang ada masyarakat, bukan sebaliknya,” sebutnya.

Disamping itu, masih menurut Anis Matta, juga pihak penyelenggara Pemilu 2019  lalu, pun melahirkan situasi yang overload hingga menyebabkan banyak menelan korban jiwa hingga mencapai 900 orang lebih.

“Ini kalau kita mengeyampingkan teori konspirasi, tapi angka 900 lebih hilang nyawa dari penyelenggara Pemilu itu. Artinya untuk setiap satu kursi DPR RI ada hampir dua nyawa yang jadi korbannya, itu angka yang sangat besar,” ucapnya.

Belum lagi, daftar pemilih dalam Pemilu 2019 dikurangi dengan adanya suara rusak serta partai yang tidak lolos threshold. Maka, total anggota DPR yang ada di Senayan kurang dari 50 persen dari angka 575 tersebut.

“Artinya itu juga menunjukkan keterwakilan antara persentasi saat ini, salah satu dari hal-hal yang ingin di evaluasi di Partai Gelora sebagai bagian dari usaha pembenahan pada sistem politik kita,” katanya.

Anis Matta menegaskan, perubahan sistem politik melalui penyederhanaan Partai Politik, Pilpres dan Pemilu Serentak ternyata tidak serta merta meningkatkan kualitas demokrasi, serta melahirkan pemerintahan yang efektif dan kuat.

“Pengalaman demokrasi yang sangat buruk itu harus dijadikan pembelajaran penting bagi pemerintah. Ini salah satu indikator yang menjadi pertimbangan dasar untuk melakukan evaluasi sistem demokrasi saat ini,” pungkasnya. (Jal)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *