Hilangkan Stigma Sebagai Pelengkap, LaNyalla: Penguatan Peran DPD RI, Mutlak Diperlukan

by
Ketua DPD RI LaNyalla Mattalitti saat membuka acara Obras DPD RI secara virtual. (Foto: Jimmy)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti percaya semua Anggota DPD RI memiliki harapan untuk mewujudkan sistem ketatanegaraan ideal yang benar-benar menjadi artikulator kepentingan Daerah di tingkat nasional, sehingga DPD RI dapat menampung berbagai dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, Tentunya sekaligus dapat menjamin keputusan di tingkat nasional, yang terkait dengan kepentingan daerah, diambil melalui mekanisme dan mencek yang menjamin tersalurkannya aspirasi kepentingan daerah.

“DPD RI lahir dengan spirit untuk menjamin, bahwa keputusan-keputusan politik yang penting terutama yang berkaitan dengan Daerah dibahas secara berlapis. Di sinilah diharapkan terjadi mekanisme check and balance diditulah posisi DPD RI,” tegas LaNyalla saat membuka diskusi Obrolan Senator (Obras) bertema “Amandemen dan Bikameral: Upaya Penataan untuk Mewujudkan Demokrasi Modern Berdasarkan Konstitusi Kenegaraan” di Media Center Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (6/10/2021).

LaNyalla pun mengakui kalau dikalangan masyarakat ada pendapat atau stigma bahwa keberadaan lembaga yang dipimpinnya (DPD RI), hanya pelengkap terhadap funsi-fungsi DPR RI. Oleh karena itu, dia memandang bahwa penguatan peran DPD RI mutlak diperlukan, jika ingin membangun sistem ketatanegaraan yang lebih baik.

Setidaknya, menurut Senator dari Jawa Timur ini, ada tiga persoalan yang menjadi kendala bagi DPD RI untuk bekerja secara ideal dengan payung konstitusi saat ini. Pertama, kewenangan DPD RI di bidang legislasi jelas sangat terbatas.

“Memang DPD RI dapat ikut mengusulkan dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) di bidang tertentu, tetapi tidak ikut dalam pengambilan keputusan terakhir,” ungkapnya.

Kedua, meskipun memperoleh fungsi, tugas dan kewenangan pengawasan, namun DPD RI hanya sebatas memberikan masukan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan. Ketiga, tidak ada ketentuan tegas dan lugas, yang mengatur hak DPD RI untuk meminta keterangan dari pejabat negara, pejabat pemerintah dan lainnya seperti yang diberikan kepada DPR RI.

“Sehingga diperlukan 3 penegasan dalam konteks penguatan peran DPD RI. Pertama penegasan terhadap DPD RI atas fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Kedua, penegasan terhadap DPD RI sebagai pemegang kekuasaan membentuk Undang-Undang (UU). Dan ketiga penegasan terhadap DPD RI dalam pelaksanaan dan tindak lanjut dari fungsi pengawasan,” tambahnya.

Jalan untuk mendapatkan kewenangan itu (sebagaimana yang dimiliki oleh DPR RI), masih menurut LaNyalla, bisa ditempuh melalui dua pintu. Pintu pertama dengan memperkuat peran DPD RI melalui perubahan atau Amandemen Konstitusi.

Pintu kedua, melalui penyusunan UU tentang DPD RI yang sebenarnya merupakan perintah UUD. Tetapi untuk yang satu ini belum bisa dilaksanakan, sebab keberadaan UU tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3) yang ada sekarang sebenarnya tidak derivatif dari UUD.

“Mengapa? Karena konstitusi kita jelas memerintahkan bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi, tugas dan kewenangan DPR, DPD dan DPRD harus diatur melalui UU yang terpisah. Dan hal ini termaktub dalam Pasal 22c ayat 4, juncto Pasal 19 ayat 2 UUD ’45 yang menyebutkan bahwa Susunan dan Kedudukan (Susduk) DPD RI diatur dengan UU, begitu pun dengan Susduk MPR RI,”kata LaNyalla.

Makna kata ‘dengan’ dalam ayat tersebut di atas, berarti pengaturan tentang Susduk DPD RI, diatur dalam ketentuan UU tersendiri, bukan dalam UU MD3. Sebab, selain tidak derivatif dari konstitusi, UU MD3 juga mengandung ketimpangan dalam pengaturan Kelembagaan antara DPR RI dan DPD RI.

LaNyalla juga menyebutkanm bahwa secara kasat mata ada tiga ketimpangan. Pertama, pengaturan DPR diatur dalam Pasal 67 sampai dengan Pasal 245, sedangkan pengaturan DPD diatur Pasal 246 sampai dengan Pasal 262. Hal ini berarti secara umum DPR diatur dalam 178 ketentuan, sedangkan DPD diatur dalam 16 ketentuan.

“Padahal keduanya merupakan Lembaga Perwakilan yang harus saling mengisi, demi implementasi check and balance dalam demokrasi desentralistik,” tegasnya.

Kedua, Alat Kelengkapan di antara DPR dan DPD juga timpang, karena di DPR terdapat 10 item Alat Kelengkapan seperti tertulis di Pasal 83 ayat 1 UU MD3. Sementara DPD hanya ada 7 item Alat Kelengkapan seperti yang tertulis di Pasal 259 ayat 1 UU MD3.

Ketiga, terhadap hak Anggota DPR dan Anggota DPD juga mengalami diskriminasi yang sangat mencolok. Hak Anggota DPR dirumuskan dalam 11 item Pasal 80 UU MD3, sedangkan Anggota DPD dirumuskan hanya 7 item di Pasal 257 UU MD3.

“Padahal jika hak tersebut tidak diatur secara equal, maka hal ini jelas melanggar Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Dan tentunya hal ini menjadi tugas kita semua, baik DPD RI, DPR RI maupun Presiden, bila kita serius ingin membangun sistem ketatanegaraan yang ideal dan lebih baik,” pungkas LaNyalla Mattalitti. (Jimmy)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *