Kasus Korupsi Kepala Daerah Masih Marak, Pengamat: Belum Ada Efek Jera

by
Jeirry Sumampow, TePI.

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Dua kepala daerah sudah ditetapkan KPK menjadi tersangka dugaan korupsi. Bupati Probolinggo, Puput Tantriana Sari diduga menerima uang dari calon kepala desa di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, sementara Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono ditahan karena terkait pengadaan barang dan jasa di pemerintahan Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah 2017-2018.

Kasus Puput dan Budhi Sarwono menambah daftar panjang kepala daerah yang terjerat tindak pidana korupsi. Walikota Tanjungbalai, Sumut, M Syahrial belum lama ini ditangkap dan ditahan KPK karena perkara jual beli jabatan. Selama ini sudah banyak kepala daerah, bupati, walikota bahkan gubernur dijebloskan ke dalam penjara karena terbukti korupsi, dengan modus jual beli jabatan maupun menerima fee atau komisi dari pengusaha yang ditunjuk mengerjakan proyek infrastruktur.

Menurut pengamat politik pemilu Jeirry Sumampow saat dihubungi beritabuana.co, Senin (6/9/2021), kasus kepala daerah terjerat kasus korupsi sulit dihentikan.

Apalagi melihat trend nya sekarang, justru terus bertambah kepala daerah ditangkap KPK, Jeirry menyebut tak terlihat ada efek jera.

“Saya melihat ke depan ini, masih akan banyak kepala daerah akan terjerat KPK. Dan itulah sebabnya kita butuh juga KPK yang kuat, independen dan konsisten dengan prinsip pemberantasan korupsi,” kata dia.

Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) ini pun melihat, kasus-kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah berkaitan dengan mahalnya biaya politik saat pilkada. Data yang ada menyebut, untuk memenangi pemilihan bupati/walikota, dibutuhkan biaya sekitar Rp20 – Rp30 Miliar. Sedang untuk pemilihan gubernur dibutuhkan biaya sekitar Rp20 Miliar hingga Rp100 Miliar.

Pada hal kata Jeirry, biaya politik tinggi itu bukan sebuah keharusan. Karena tergantung masing-masing orang dan tergantung situasi dan kondisi tertentu juga.

“Tidak mesti biaya politik itu tinggi meski APBD-nya besar. Jadi itu nggak boleh dipakai untuk alasan melegitimasi praktek korupsi yang dilakukan,” katanya.

Jeirry menjelaskan, korupsi dalam konteks pengelolaan keuangan di daerah tergantung dari 3 (tiga) hal, yaitu niat, kemungkinan yang terbuka atau peluang dan suasana atau lingkungan pemerintahan yang korup.

Ditegaskan, kecenderungan korupsi itu terjadi karena kewenangan kepala daerah diperdagangkan. Kewenangan itu bisa bersifat administratif, teknis sampai ke yang sifatnya politis.

“Ini sudah umum berlaku di hampir semua daerah. Dalam hal itu, kepala daerah lebih banyak menghitung apa untungnya bagi dia, baik keuntungan finansial maupun keuntungan politik. Memang tidak semua dalam bentuk materi, ada juga yang sifatnya politik,” pungkas Jeirry. (Asim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *