Dinamika Politik Dalam dan Luar Negeri Harus Jadi Momentum Perluat Nilai Kebangsaan

by
Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat.

BERITABUANA.CO, JAKARTA  – Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengatakan, perubahan arus politik di dalam dan luar negeri harus menjadi momentum untuk memperkuat dan mengamalkan nilai-nilai kebangsaan, dalam upaya menjawab sejumlah tantangan yang dihadapi anak bangsa saat ini dan masa datang.

“Pasca 76 tahun Indonesia merdeka, kehidupan bangsa Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan bidang politik baik secara internal, kawasan maupun global. Perlu langkah yang segera untuk menjawab berbagai tantangan tersebut,” kata Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema “Tantangan Politik 76 Tahun Indonesia Merdeka” yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (25/8/2021).

Diskusi yang dimoderatori Luthfi Assyaukanie, Ph.D (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Muhammad Farhan, S.E (Anggota Komisi 1 DPR RI), Brigjen Pol. R Ahmad Nurwakhid (Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme/BNPT),  Arya Fernandez, S.Sos, M.Si (Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial, CSIS),  Alto Labetubun, ST, M.IS (Analis Konflik dan Keamanan ) dan Makmun Rosyid  (Co founder CICSR – The Centre for Indonesian Crisis Stategic Resolution) sebagai narasumber.

Selain itu juga hadir Dr. Connie Bakrie (Pakar Pertahanan dan Keamanan), Dr. Zora Sukabdi (Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia), dan Milda Istiqamah, Ph.D (Pakar Terorisme, Dosen Hukum Univ Brawijaya) sebagai penanggap.

Menurut Lestari, saat ini selain pandemi, perkembangan teknologi juga mempengaruhi dinamika politik nasional. Di era disrupsi, yang tak hanya menyebabkan distorsi informasi, juga mempengaruhi pola pikir anak bangsa. 

“Karena, telah terjadi transformasi dalam ruang publik yang melampaui sekat identitas dan batas negara,” ujar Rerie sapaan akrab Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu.

Politik dan politisi, menurut Rerie, mesti mengoptimalkan ekosistem digital dalam memperkuat nilai-nilai kebangsaan berhadapan dengan ragam tantangan yang tak hanya menyasar kehidupan sosial, tetapi juga ideologi berbangsa. Karena itu dalam menghadapi kondisi itu, perlu penguatan di bidang politik dan nilai-nilai kebangsaan secara menyeluruh di setiap elemen bangsa untuk menghadapi arus perubahan yang sulit terbendung.

Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen Pol. R Ahmad Nurwakhid mengungkapkan aksi-aksi terorisme tidak bisa terlepas dari paham radikalisme yang saat ini berkembang di dunia. Kemenangan Taliban di Afganistan, menurut dia, akan menjadi resonansi terhadap sejumlah gerakan yang mengedepankan paham radikalisme yang ada di Indonesia.

“Pola-pola pergerakan Taliban mirip dengan kelompok-kelompok teroris yang ada saat ini,” sebut dia lagi.

Berdasarkan survei BNPT bekerjasama dengan Alvara, ungkap Ahmad, indeks potensi radikalisme Indonesia pada 2020 tercatat 12,2% dari jumlah penduduk dan 85%-nya adalah kelompok milenial. 

Ciri-ciri potensi radikalisme yang dipakai dalam survei tersebut adalah pro paham khilafah, intoleran dan ekskkusif, antibudaya/kearifan lokal keagamaan dan anti pemerintahan yang sah.

“Kesiapsiagaan nasional untuk memperkuat ideologi kebangsaan harus diwujudkan, karena akar masalah radikalisme ini adalah ideologi yang menyimpang. Bentengi 87,8% penduduk Indonesia yang belum terpapar radikalisme dengan ‘vaksin’ ideologi kebangsaan yang kuat agar imun atau kebal terhadap serangan paham-paham transnasional,” tegas Ahmad.

Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial, CSIS, Arya Fernandez berpendapat pandemi Covid-19 mempengaruhi sejumlah bidang yang menyebabkan banyak hal berubah dan harus dijawab dengan sejumlah kebijakan yang tepat dan terukur.

“Dalam upaya mengatasi pendemi Covid-19, banyak kebijakan yang dihasilkan dari kolaborasi yang baik antara pemerintah  dan partisipasi publik. Karena itu, pola-pola kepemimpinan nasional di masa datang harus bersifat terbuka terhadap partisipasi publik, transparan dan berdasarkan data yang valid dalam setiap kebijakan yang dibuat,” sebut dia.

Anggota Komisi I DPR RI, Muhammad Farhan mengungkapkan, prioritas politik luar negeri dan diplomasi Indonesia pada 2019-2024 antara lain adalah penguatan diplomasi ekonomi, perlindungan yang lebih baik terhadap WNI di luar negeri, menjaga kedaulatan dan integritas bangsa, meningkatkan kontribusi kepemimpinan Indonesia di kawasan dan dunia, serta mewujudkan reformasi birokrasi sebagai penguatan infrastruktur diplomasi.

“Saat ini, dari sisi politik isu-isu aktual yang harus dihadapi Indonesia adalah diplomasi bidang kesehatan, perlindungan WNI di luar negeri, konflik Laut Cina Selatan, pergantian pemerintahan di Afganistan serta kebijakan politik luar negeri Indonesia pasca-Covid-19,” kata Farhan.

Analis Konflik dan Keamanan, Alto Labetubun berpendapat pola-pola masuknya paham radikalisme ke satu negara tidak melulu diawali dengan tindakan-tindakan kekerasan. Masuk ke satu wilayah tanpa aksi teror, bukan berarti kelompok-kelompok radikal itu diam. Biasanya, tegas Alto, kelompok tersebut sedang mempelajari situasi yang tepat untuk masuk lebih dalam dan menguasai wilayah tersebut.

“Kondisi saat ini justru harus diwaspadai dengan berbagai upaya pencegahan agar paham-paham radikal itu tidak masuk lebih dalam,” ujarnya.

Co founder The Centre for Indonesian Crisis Stategic Resolution/CICSR, Makmun Rosyid mengungkapkan hoax yang bertebaran di media sosial itu diproduksi oleh orang-orang yang pintar. Di saat isu Afganistan dan Taliban masih mendominasi pemberitaan, ujar Makmun, kata-kata teroris menjadi viral di media sosial.

Di sisi lain, tegas dia, kontra narasi terhadap isu terorisme dan radikalisme di media sosial saat ini terbilang minim. 

Karena itu, ia berpendapat, kerja-kerja kontra narasi terhadap radikalisme dan terorisme harus ditingkatkan.

“Kelompok mana pun yang menentang konsensus kebangsaan harus segera ditindak,” tegas Makmun. (Jal)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *