Kita Seharusnya Bisa Merayakan Kemerdekaan Tanpa Pembungkaman

by
Ketua BKSAP DPR RI Graksi Gerindra Fadli Zon. (Foto:Jimmy)

Hari ini, 17 Agustus 2021, kita kembali memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Sama dengan situasi tahun lalu, tahun ini kita juga memperingati Proklamasi dengan penuh keprihatinan. Selain karena masih berada di tengah-tengah gelombang pandemi, sumber keprihatinan utama adalah karena kita merasakan belakangan ini level kehidupan berdemokrasi sepertinya terus-menerus mengalami kemerosotan.

Salah satu tujuan negara kita, kata Bung Hatta, adalah kebebasan, kebebasan berpendapat baik lisan maupun tulisan, kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan menjalankan agama dan keyakinan. Namun di masa pandemi, kebebasan ini makin terkungkung.

Pandemi dan demokrasi memang telah menjadi isu penting dalam dua tahun terakhir. Seperti kita ketahui, pandemi Covid-19 telah menyerang semua negara, baik negara demokrasi, otoriter, monarki, ataupun diktator. Namun, kita sama-sama bisa melihat negara-negara demokratis relatif bisa mengatasi pandemi ini lebih baik dibandingkan negara lainnya.

Di negara-negara demokratis, misalnya, pemerintah akan berusaha mengutamakan keselamatan rakyat di atas segala-galanya. Keselamatan rakyat benar-benar menjadi hukum tertinggi. Sementara, di negara-negara otoritarian, atau minus demokrasinya, pemerintah biasanya cenderung sibuk menyelamatkan kekuasaannya sendiri. Di tangan pemerintahan yang pura-pura demokratis inilah pandemi telah dimanipulasi sebagai kondisi untuk membatasi demokrasi dan membungkam kebebasan sipil.

Pemerintahan kurang demokratis, seperti dilaporkan sejumlah lembaga riset, memang telah merespon pandemi ini dengan kebijakan-kebijakan yang hanya melayani kepentingan elite. Pembatasan sosial sebagai bagian dari protokol kesehatan, di tangan rezim kurang demokratis juga telah disalahgunakan untuk membatasi kebebasan masyarakat dalam menyampaikan aspirasi politik.

Laporan yang diterbitkan Freedom House, misalnya, menemukan bahwa 91 negara telah memberlakukan kontrol terhadap pers terkait pandemi, dan setidaknya ada 72 negara telah membatasi kebebasan berbicara dan membungkam kritik terhadap pemerintah. Secara umum, banyak negara telah merosot peringkat demokrasinya akibat pandemi ini. Apa yang semula merupakan krisis kesehatan, di tangan beberapa rezim korup dan manipulatif, telah berubah menjadi krisis demokrasi. Kondisi kemunduran ini juga kita temukan di Indonesia.

Dalam catatan saya, setidaknya ada empat argumen kenapa sesudah dua dekade Reformasi, dan sesudah 76 tahun merdeka, kita mengalami stagnasi demokrasi seperti sekarang ini.

*Pertama*, dua lembaga yang menjadi ikon demokrasi di Indonesia, yaitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan MK (Mahkamah Konstitusi) semakin tereduksi independensinya. Allen Hicken, seorang profesor Kajian Asia Tenggara di Universitas Michigan, menyebut bahwa demokrasi Indonesia di era Presiden Joko Widodo telah mandek dan bahkan tergerus karena dua lembaga penting yang selama ini menjadi ikon demokrasi di Indonesia, yaitu KPK dan MK, telah dikooptasi.

*Kedua*, terjadi penurunan sejumlah indikator vital dalam indeks demokrasi. Meskipun indeks demokrasi Indonesia secara agregat membaik, namun menurut BPS ada beberapa variabel vital skornya justru turun, yaitu (1) Kebebasan berbicara (turun dari 66,17 poin pada 2018 menjadi 64,29 poin pada 2019); (2) Kebebasan berkumpul (turun dari 82,35 poin menjadi 78,03 poin); (3) Peran partai politik (turun dari 82,10 poin menjadi 80,62 poin); dan (4) Pemilihan umum yang bebas dan adil (turun dari 95,48 poin menjadi 85,75 poin). Ini adalah variabel skornya paling anjlok.

Selain empat variabel turun, ada beberapa variabel lain skornya masih tergolong buruk (di bawah 60), yaitu (1) Ancaman kekerasan yang menghambat kebebasan berekspresi sebesar (57,35 poin); (2) Persentase anggota dewan perempuan (58,63 poin); dan (3) Demonstrasi kekerasan (30,37 poin). Indikator-indikator vital tadi menunjukkan jika iklim demokrasi di negara kita tidak sedang baik-baik saja.

*Ketiga*, kekuasaan makin terkonsentrasi di tangan Presiden dan eksekutif. Bayangkan, belum pernah terjadi sebelumnya, dengan bekal kekuasaan menerbitkan Perppu, misalnya, Presiden bisa mengubah lebih dari lima undang-undang sekaligus. Selain itu, hanya dengan satu draf RUU, kini Presiden bisa mengubah puluhan undang-undang sekaligus, seperti yang terjadi pada Omnibus Law Cipta Kerja.

Penggunaan kewenangan semacam itu bukan hanya telah memperbesar kekuasaan Presiden di bidang legislatif, tapi juga memperbesar kekuasaan Presiden di bidang yudikatif.

Dan *keempat*, kian besarnya impunitas yang dimiliki Presiden. Amandemen UUD 1945 sebenarnya telah memberikan perlindungan sangat besar kepada Presiden. Kini, Presiden tak bisa lagi dengan mudah dijatuhkan oleh DPR. Namun, dengan dalih keadaan luar biasa, melalui Perppu Corona impunitas yang dimiliki pemerintah kini jadi luar biasa. Presiden dan jajarannya tak lagi bisa diajukan ke muka pengadilan jika ada kebijakannya dianggap menyeleweng.

Selain Perppu Corona, kekuasaan Presiden kini juga kembali dilindungi oleh haatzaai artikelen dan lesse majeste. Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP mengenai penghinaan terhadap Presiden, yang sebenarnya sudah dibatalkan oleh MK pada 2006 lalu, kini dimasukan kembali dalam RUU KUHP yang baru.

Pasal-pasal tersebut sudah dicabut oleh MK pada 4 Desember 2006. Melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, dijelaskan bahwa aturan tersebut diputus dihapus karena tafsirnya yang “amat rentan manipulasi”, atau dengan kata lain bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. MK menyatakan Pasal 134, Pasal 136BIS, dan Pasal 137 KUHP bertentangan dengan UUD 1945.

Selama berkuasa, hanya dua orang Presiden kita yang tak pernah menerapkan haatzaai artikelen, yaitu Presiden B.J. Habibie dan Abdurrahman Wahid.

Menurut catatan Human Rights Watch, perkara terkait pasal haatzaai artikelen juga lese majeste meningkat lagi sejak Megawati menjadi presiden hingga kemudian dicabut MK pada akhir 2006.

Jadi, kasus mural di Kota Tangerang yang berisi karikatur Presiden dengan tulisan “404: Not Found” tak seharusnya menjadi perkara hukum yang serius seandainya Presiden menempatkan diri dalam posisi egaliter di dalam sistem hukum kita.

Pada peringatan Hari Kemerdekaan ini, kita seharusnya benar-benar bisa merayakan “kemerdekaan”, baik “kemerdekaan dari” (freedom from), maupun “kemerdekaan untuk” (freedom for). Tak seharusnya kemerdekaan yang lama diperjuangkan oleh para pendiri negeri dicederai oleh pembungkaman-pembungkaman semacam tadi. Sebuah pemerintahan yang merasa dirinya demokratis tak seharusnya merasa gentar menghadapi sebuah mural.

Dirgahayu ke-76 RI.

*Dr. Fadli Zon, M.Sc.* – (Anggota DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra) 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *