Pakar Hukum Pidana Tegaskan Foto Copy Tidak Bisa Dijadikan Bukti Pemalsuan Surat

by
Ahli hukum Prof Mudzakir, SH memberikan keterangan sebagai ahli melalui sidang virtual di PN Jakarta Utara

BERITABUANA.C0, JAKARTA – Kasus dugaan pemalsuan kartu keluarga (KK) dengan terdakwa M Kalibi kembali disidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara. Kali ini tim penasehat hukum terdakwa menghadirkan ahli hukum pidana Prof Mudzakir SH secara virtual.

Menurut Mudzakir, bila foto copy dijadikan sebagai bukti tindak pidana pemalsuan surat mutlak tidak bisa.

“Foto copy sebagai obyek dari tindak pidana pemalsuan surat, itu mutlak tidak bisa,” terangnya kepada majelis hakim pimpinan Tumpanuli Marbun, SH, Senin (24/5/2021).

Bahkan foto copy yang dilegalisir sekalipun, pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu berpendapat tidak boleh dijadikan sebagai bukti kasus pidana pemalsuan.

“Baik ada legalisir maupun tidak ada legalisir tidak bisa dijadikan bukti,” katanya.

Disebutnya, jika ada kasus pemalsuan surat musti terkait dengan surat aslinya. Sebab foto copy tidak bisa membuktikan unsur-unsur kasus pemalsuan surat itu.

“Harus ada surat aslinya. Jika ada dakwaan yang mendasarkan hanya foto copy, maka dakwaan itu adalah gugur dengan sendirinya karena obyeknya tidak bisa dijadikan pemalsuan,” katanya lagi.

Terkait dengan pengembangan kasus yang kemudian ditemukan tindak pidana baru, menurut Prof Mudzakir, harus dimulai lagi dengan sprinlidik baru dan sprindik baru. Bahkan diteruskan dengan gelar perkara baru lagi.

“Menurut kami tidak bisa diproses lebih lanjut atas nama laporan dari korban. Sementara korban tidak melaporkan kejahatan seperti itu. Sejak awal itu sudah cacat hukum secara prosedural. Seharusnya jaksa menolak perkara itu,” terangnya.

Maka, ahli mengingatkan, dalam kasus dugaan pemalsuan ini musti ada unsur kerugian yang diderita korban. Namun ternyata korban tidak bisa membuktikan kerugiannya.

“Seandainya terbit akta tanah misalnya, tidak ada hubungannya dengan dokumen palsu itu,” paparnya.

Ahli juga mengungkap bahwa KTP asli merupakan petunjuk identitas pasti seseorang. Kalau pun ada dokumen yang lain sebagai back up atau pendukung saja.

“Dalam proses pembuatan akta pertanahan itu diperlukan identitas yang pasti. Adanya pendukung hanya mem-backup apa yang telah ada. Jika KTP sudah dipakai, maka pendukungnya juga sudah tidak dipakai atau diperlukan lagi,” ujarnya.

Diutarakan ahli, kalau sudah terbit akta tanah berdasarkan KTP, secara logika hukum berarti sudah cocok dengan identitas yang ada.

“Kalau tidak cocok pastilah pihak BPN akan meminta dokumen yang cocok dengan identitas yang ada. Kalau akhirnya terbit suatu akta tanah, artinya semua dokumen dinyatakan sudah sah atau telah memenuhi syarat-syarat untuk pengurusan suatu akta pertanahan,” katanya lagi.

Sehubungan dengan peristiwa hukum berupa pembuatan akta hibah antara suami dan istri, menurut ahli tidak masuk dalam ranah pidana.

“Intinya, kalau ada pihak yang dirugikan karena perbuatan hibah ini, prosesnya adalah pembatalan terhadap hibah bukan pemidanaan. Pembatalannya melalui gugatan perdata atau gugatan pengadilan tata usaha negara. Jadi kalau ada akta hibah ranahnya hukum perdata dan hukum tata usaha negara, bukan ranah pidana,” terangnya.

Menyangkut Pasal 266 KUHP, dijelaskan ahli, selalu starting point-nya (titik pangkal-red) adalah dari orang yang memasukkan keterangan palsu.

“Kalau akta otentik di BPN, keterangan palsunya pada BPN. Kalau akta otentiknya pada notaris, keterangan palsunya pada notaris,” ujarnya. (Sormin)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *