Krisis Guru Mengancam Pendidikan di Maluku Utara

by
Ilustrasi.
R. Graal Taliawo.

Oleh: R. Graal Taliawo (Pegiat Sosial)

GURU adalah ujung tombak pendidikan sebuah bangsa. Guru merupakan elemen penting dalam pendidikan, dan pendidikan adalah kunci penting untuk pengembangan setiap individu dan pembangunan suatu bangsa ke depan. Dengan sistem pendidikan yang tepat termasuk di dalamnya guru, akan tercipta generasi penerus yang unggul—baik dari segi kecerdasan, kreativitas, maupun karakter.

Sayangnya, Maluku Utara memiliki potret buram terkait guru. Baru-baru ini, publik Indonesia, khususnya Maluku Utara kembali dihebohkan dengan pemberitaan seputar guru, yakni “Loloda Krisis Guru” yang diterbitkan Malut Post, 19 April 2021. Sebagian sekolah masih kekurangan guru, baik tingkat SD maupun SMP. Bahkan, ada sekolah yang gurunya hanya kepala sekolahnya.

Ironisnya, potret ini bukan hal yang asing. Ketika SD (sekitar 1990-an), saya juga mengalami hal serupa. Guru saya hanya sang kepala sekolah seorang diri. Ia harus membagi waktu untuk mengajar di banyak kelas. Kasus ini tidak hanya terjadi di satu daerah, melainkan di banyak daerah di Maluku Utara, terlebih di perdesaan. Misalnya, di Kabupaten Halmahera Timur, di mana hampir seluruh sekolah mengalami kekurangan guru seperti yang dirilis Habartimur.com,(12/01/2021). Jenjang TK, SD, dan SMP membutuhkan tambahan tenaga pengajar (guru).

Sangat menyayangkan bahwa permasalahan ini belum juga mengalami perubahan yang berarti sejak 1990-an. Tentu, hal ini merupakan catatan krisis bagi penyelenggaraan sistem pendidikan kita yang sangat berdampak besar ke depan. Di sisi lain, data Indeks Pengembangan Manusia Maluku Utara pada 2020 mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Pada 2020, IPM Maluku Utara adalah 68.49 turun 0.21 poin dari 2019 (malut.bps.go.id). Salah satu faktor penyebabnya karena periode masyarakat Maluku Utara untuk mengenyam pendidikan yang belum maksimal. Data ini bisa menjadi “alarm” bahwa tingkat pengembangan manusia di Maluku Utara memprihatinkan.

Terlebih, ketimpangan dalam pendistribusian guru sangat terasa di daerah perdesaan, yang jauh dari akses jangkauan. Sebagai provinsi kepulauan, potensi persoalan yang paling sering terjadi adalah daerah-daerah terdepan yang ada di pesisir. “Jalanan terjal” kerap kali ditemui, mulai dari letak geografis atau akses jangkauan yang sulit, belum lagi terkait kesejahteraan (tunjangan) yang terbatas dan terkadang lambat dibayar.

Guru memang pahlawan tanpa tanda jasa, tapi bukan berarti kita lantas mengabaikan kesejahteraan mereka. Pemberian fasilitas dan tunjangan bisa menjadi alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut. Ini tentu harus menjadi perhatian pemerintah. Kesejahteraan guru sangat penting bagi kehidupan mereka, yang akan berpengaruh (baik langsung maupun tidak) terhadap pengajaran yang mereka lakukan—dan juga sebagai bentuk penghargaan atas jasa dan pengabdian mereka.

Permasalahan krisis guru ini sangat urgen untuk diselesaikan. Untuk itu, pendistribusian kuantitas guru perlu disesuaikan dengan kebutuhan guru untuk setiap sekolah di setiap daerah. Yang juga tak kalah penting adalah memperhatikan kualitas guru, meliputi kompetensi dan kecakapan.

Tugas negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, salah satunya dapat dilihat dari implementasi kebijakan mengenai sumber daya guru, tidak hanya kuantitas tapi juga kualitasnya. Ini penting guna menciptakan pembangunan pendidikan yang lebih bermutu. Kita juga mengharapkan, dengan begitu akan tercipta sebuah iklim pendidikan yang baik dan merata, termasuk di Maluku Utara.

“Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.” —Nelson Mandela. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *