Meminjam Istilah Presiden Jokowi: Indonesia Harus Bisa Membajak Situasi Krisis

by
Ilustrasi.
Mahfuz Sidik.

Oleh: Mahfuz Sidik (Sekjen Partai Gelora Indonesia, mantan Ketua Komisi I DPR RI)

SITUASI pembelahan politik dan sosial mulai terjadi sejak pemilihan presiden (pilpres) 2014, lanjut ke pemilihan gubernur (pilgub) DKI 2017 dan pilpres 2019, serta kembali menguat setelah kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS).

Pembelahan ini adalah peristiwa politik yang melibatkan aktor-aktor politik partai. Negara akhirnya menjadi aktor ikutan ketika pembelahan terus berlanjut setelah pemilu usai dan pemerintahan baru terbentuk.

Jika pun ada faktor geopolitik global dan kawasan, khususnya perang supremasi antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, sungguh faktor eksternal tersebut tak akan berpengaruh banyak jika aktor-aktor kekuatan politik nasional dan juga aktor-aktor kekuatan sipil; menyadari betul bahwa ada pihak kekuatan luar yang ingin (aktor-aktor politik dan sipil) Indonesia menjadi proxy perang mereka.

Sekarang, pembelahan tersebut seolah menjelma menjadi konflik masyarakat sipil (baca: kelompok ummat Islam) versus Negara. Apakah kita akan menarik mundur jarum sejarah bangsa ini ke era Orde Baru; saat kita alami situasi yang disebut: Islam versus Negara ?
Ummat Islam (baca: kelompok) janganlah dikorbankan sebagai tumbal dari permainan politik kekuasaan. Pilkada dan Pilpres sudah selesai, tapi pembelahan bereskalasi menjadi konflik horizontal dan (mengarah) vertikal. Ratusan nyawa hilang saat pilpres lalu, sekarang 6 nyawa hilang paksa seusai pilpres yang sudah setahun.

Jika kita tidak ingin krisis eksistensi negara seperti dialami Suriah, Libia, dan Irak dialami negara tercinta ini; maka tidak boleh ada satupun pihak (aktor politik, aktor sipil maupun aktor negara) yang mengambil posisi superior dan mengedepankan hard-power.

Pancasila menyediakan budaya dan mekanisme musyawarah dan demokrasi, kemanusiaan dan keadilan. Rakyat hakikatnya adalah entitas yang harus dirawat, dan pemimpin/penguasa kewajibannya adalah merawatnya. Jikapun penegakan hukum harus dilakukan dalam rangka merawat kebaikan bersama (mashlahat ammah), maka hukum juga harus ditegakkan dengan adil, manusiawi dan demokratis.

FPI, GNPF, 212, dll adalah bagian dari rakyat yang termobilisasi dalam proses politik pemilu dan proses permainan politik kekuasaan. Mereka tidak pernah menang dalam pemilu karena mereka bukan parpol atau paslon. Tapi mereka akhirnya harus terus membayar semua biaya dan konsekuensinya.

Mereka semua, sebagaimana kita, sangat mungkin membangun kesadaran dan pemahaman bersama; bahwa negara kita tercinta sedang menghadapi krisis multidimensi sebagaimana sedang dialami dunia secara keseluruhan. Indonesia juga sedang menghadapi gelombang dari perang supremasi kekuatan-kekuatan global.

Kita sebagai Negara tidak boleh kalah apalagi hancur. Meminjam istilah Presiden Joko Widodo (Jokowi): Indonesia harus bisa membajak situasi krisis untuk melakukan lompatan besar menjadi kekuatan dunia baru.

Merdeka, Allahu Akbar! ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *