ASI Ekslusif Cegah Stunting dan Infeksi Virus COVID-19 pada Balita

by
Herliana Monika Azi Djogo, SKep, Ns,MSN

STUNTING merupakan sebuah kondisi gagal tumbuh pada anak balita, akibat kekurangan gizi kronis (jangka waktu yang lama), terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan. Stunting masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia hingga saat ini.

Salah satu indikator untuk mengukur kemajuan Program Indonesia Sehat, adalah prevalensi stunting pada anak balita. Nutrisi yang cukup pada masa kehamilan dan usia dini merupakan kunci kesehatan bagi perkembangan anak (Kementrian Kesehatan RI, 2011).
Dampak yang timbul dari stunting, adalah anak akan tumbuh tidak sempurna, karena selain pendek/kerdil, kondisi otak anak juga terbelakang, dan pada akhirnya anak akan memiliki kecerdasan yang rendah.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) (2010) melaporkan setiap anak yang mengalami gizi buruk akan berisiko kehilangan IQ sebesar 10-13 poin, artinya, anak stunting beresiko menjadi anak yang lamban dalam berpikir dan tidak produktif, dengan begitu generasi stunting akan menjadi beban Negara dalam jangka panjang. Inilah alasan mengapa stunting menjadi prioritas utama dalam rencana kerja pemerintah lima tahun kedepan (2019-2024).

Kejadian stunting pada anak di bawah usia lima tahun, dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor rumah tangga dan keluarga, pemberian makanan yang tidak mencukupi, praktik cuci tangan, faktor sosial, pemberian ASI yang tidak ekslusif, dan serangan penyakit infeksi (Lestari et al., 2014; Agustina & Hamisah, 2019) seperti virus COVID-19, misalnya.

Pandemi COVID-19 juga diperkirakan akan meningkatkan risiko anak mengalami kekurangan gizi secara signifikan dan berpotensi memperburuk kondisi yang ada mengingat menjadi terhambatnya berbagai akses layanan kesehatan, akses makanan dan intervensi yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kesehatan gizi anak-anak (UNICEF, 2020)

Walaupun mengalami penurunan kejadian stunting sebesar 9,1 Persen (dari 51,7 Persen di tahun 2013 menurun menjadi 42,6 Persen tahun 2018), namun, Nusa Tenggara Timur masih merupakan provinsi dengan kasus stunting tertinggi jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia dengan jumlah kasus sebesar 29,5 Persen (TNP2K, 2018; Kementrian Kesehatan RI, 2018).

Berdasarkan data terakhir dari Dinas Kesehatan Provinsi NTT (2018), kasus gizi buruk dan stunting masih terjadi di semua kabupaten di NTT, di mana, Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan kabupaten yang memiliki prevalensi stunting tertinggi yaitu sebesar 56 Persen.

Berdasarkan fenomena di atas, penulis melakukan penelitian di Kabupaten Timor Tengah Selatan yang berlangsung selama 2 bulan (Februari hingga Maret 2020). Sebanyak 280 ibu dan balita usia 1-5 tahun berpartisipasi dalam penelitian ini.

Hasil penelitian menggambarkan 73 balita mengalami stunting (26.1 Persen) dan terdapat 68 balita (93.1 Persen) yang mengalami stunting tidak mendapatkan ASI secara ekslusif. Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara praktik pemberian ASI eklusif dengan kejadian stunting dengan nilai p value 0.000 dan nilai OR 11.590 (CI 95 Persen 4.494-29.887) artinya, ibu yang tidak memberikan ASI ekslusif beresiko 11.5 kali memiliki anak stunting dibandingkan dengan ibu yang memberikan ASI ekslusif.

Di tengah krisis pandemi ini, kita membutuhkan imunitas yang tinggi supaya tidak tertular COVID-19. Hal yang sama juga berlaku pada balita/anak-anak, mereka membutuhkan asupan makanan dan minuman yang kaya akan gizi. Anak-anak membutuhkan gizi yang cukup dalam 1000 hari pertama kehidupan. Seribu hari pertama ini dimulai sejak dalam kandungan hingga usia 2 tahun.

Bayi harus mendapatkan ASI ekslusif (ASI saja) selama 6 bulan dan ASI dengan makanan pendamping ASI selama 2 tahun guna melindungi mereka dari kematian karena diare, pneumonia dan malnutrisi (UNICEF, 2019).

Beberapa penelitian yang dilakukan di dalam dan di luar negeri (Jakarta, Pulau Jawa, Maluku, negara Iran, dan Tanzania) menunjukkan bahwa pemberian ASI ekslusif pada bayi 0-5 bulan berhubungan erat dengan penurunan stunting pada balita.

Dalam penelitian yang dilakukan penulis, ditemukan sebagian besar ibu tidak memberikan ASI ekslusif dikarenakan ibu kurang mendapatkan support atau dukungan serta perhatian dari keluarga.

Dukungan sederhana yang dapat diberikan oleh keluarga kepada ibu adalah pemahaman yang baik tentang pentingnya ASI Eklsusif. Pada kondisi tertentu misalnya terdapat keluhan produksi ASI sedikit, atau kondisi balita yang terus-terusan rewel membuat ibu menjadi cemas dan mulai memberikan susu formula atau makanan pendamping pada usia dini/ sebelum bayi genap 6 bulan. Hal inilah yang menyebabkan praktik pemberian ASI menjadi tidak ekslusif dan mendukung timbulnya masalah stunting pada balita di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah, masyarakat masih membutuhkan informasi berkelanjutan tentang pentingnya ASI eklusif bagi ibu dan balita, baik secara langsung atau melalui media sosial dan media cetak.
Menurut kementerian Kesehatan RI (2018) ASI eklusif mempunyai peranan penting untuk ibu dan balita. Untuk balita sendiri ASI berperan dalam meningkatkan ketahanan tubuh bayi, karena bisa mencegah bayi terserang berbagai penyakit yang bisa mengancam kesehatan bayi termasuk penyakit COVID-19.

Selain itu, ASI eklusif sangat menunjang sekaligus membantu proses perkembangan otak dan fisik bayi. Jika ingin anak menjadi cerdas dan sehat baiknya berikan mereka ASI eklusif. Manfaat ASI Eklusif bagi ibu sendiri, antara lain dapat menghilangkan trauma saat persalinan, sekaligus dengan kehadiran buah hati pertama kalinya, bisa menjadi penyemangat hidup seorang ibu.

Sesudah melahirkan biasanya ibu rentan mengalami baby blues syndrome, terlebih lagi hal tersebut biasanya terjadi pada sang ibu yang belum terbiasa, bahkan tidak bersedia memberikan ASI eksklusifnya untuk bayi mereka. Namun dengan menyusui, secara perlahan rasa trauma pun, akan hilang sendirinya dan ibu pun akan terbiasa menyusui bayinya.

ASI ekslusif juga dapat membuat kondisi kesehatan dan mental ibu menjadi lebih stabil, meminimalkan timbulnya resiko kanker payudara, dan yang tak kalah penting, ASI ekslusif tentunya lebih ekonomis dan terjangkau bagi seorang ibu.

Untuk para ibu yang bekerja dan merasa kesulitan untuk memberikan ASI kepada bayinya, dapat memompa air susunya sebelum berangkat bekerja untuk kemudian diberikan kepada bayi dengan menggunakan sendok atau botol susu yang bersih.

Sedangkan untuk kebutuhan gizi untuk bayi usia > 6 bulan, ibu dapat memilih bahan makanan yang terdiri dari campuran bahan makanan pokok sumber kalori (nasi, jagung, kentang), bahan makanan sumber protein nabati yaitu kacang-kacangan atau hasil olahannya (tahu, tempe) dan bahan makanan sumber protein hewani (daging, ikan, telur), serta sayuran hijau sebagai sumber mineral dan vitamin.

Kompisi ini menjadi komposisi yang wajib diberikan pada anak setiap kali mereka makan (Kemenkes RI,2014).
Keluarga hendaknya tidak mengabaikan gizi anak khususnya di masa pandemi.

Kebutuhan gizi untuk tumbuh kembang mereka harus dicukupi. Daya tahan tubuh mereka perlu dibantu dengan makanan bergizi.

Adalah menjadi tugas keluarga untuk menjaga tumbuh kembang anak karena merupakan tugas jangka panjang yang harus terus dilakukan agar persoalan gizi kurang dan gizi buruk tidak bertambah.

“Mari pastikan anak-anak NTT lulus ASI ekslusif (hingga anak usia 6 bulan)”

Kalau bukan kita siapa lagi?

Kalau bukan saat ini kapan lagi?

*Herliana Monika Azi Djogo, SKep, Ns, MSN* – ( Pengajar pada Program Studi Ners Universitas Citra Bangsa)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *