MA Batalkan Peraturan KPU, Fahri Hamzah: Ini Akibat KPU Abaikannya Konstitusi

by
Waketum DPN Partai Gelora Indonesia, Fahri Hamzah. (Foto: Istimewa)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Mantan Wakil Ketua DPR RI Periode 2014-2019, Fahri Hamzah urun rembuk terkait keputusan Mahkamah Agung (MA) yang sedang heboh, sebagai akibat gugatan yang dilakukan oleh Rachmawati Soekarnoputri dan kawan-kawan, atas Penetapan Presiden dan Wakil Presiden terpilih sebagai pemenang Pemilu 2019-2024. Kata Fahri, keputusan itu antaran MA mengacu kepada UUD 1945. Bahkan dari UU No.17/2017 tentang Pemilu juga mengacu kepada sumber yang sama.

“Di sisi lain, dari UU 17/2017 mengisyaratkan bahwa Pilpres itu dua putaran tidak satu putaran atau hanya dua Paslon. Dalam artian Pemilu di putaran satu itu tidak memiliki thereshold (ambang batas), karena itulah parpol dapat mendaftarkan calon-calonnya menjadi peserta pemilihan Presiden,” kata Fahri melalui keterangan tertulisnya, Kamis (9/7/2020).

Dengan begitu, lanjut Fahri yang kini menjabat Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia itu, kesalahan pertama yang terjadi dalam Pilpres 2014 dan 2019 lantaran parpol yang memaksakan hanya dua pasangan calon dalam Pilpres, sehingga seolah-olah, tafsirnya pada Pilpres kemarin langsung pada putaran kedua. Hal itu untuk menghindari syarat dan ketentuan konstitusi sebagaimana tertuang dalam pasal 6A ayat 3 UUD 1945 bahwa Jokowi harus memperoleh suara minimal 20 persen di provinsi yang dimenangkan.

“Karena mahzabnya Pemilu itu harus ada putaran pertama. Fatalnya, KPU mengabaikan konstitusi dengan hanya mengacu kepada kompromi dari partai-partai politik tentang presidentian threshold (PT) 20 persen, sehingga baru bisa mengajukan Capres dan Wapres. Di sini lah salahnya, di sinilah kekeliruan berpikirnya,” sebut dia.

Apalagi, lanjut Fahri, konstitusi berpikir bahwa bangsa Indonesia ini bersar, rakyat terpencar dari Sabang sampai Merauke, beragam jumlahnya. Oleh sebab itu absorpsi pemimpin republik ini harus dimungkin berasal dari komposisi seluruh rakyat Indonesia, karena itu mestinya presidential threshold harus 0 persen.

“Seharusnya, telah ditetapkan demikian itulah kemudian semua partai politik harusnya bisa mengajukan calon. Paling tidak minimal harus ada 3 calon. Tiga calon pun sulit orang bisa mencapai sekali kemenangan apabila tiga syarat yang kita sebut kan tadi di awal tidak mereka penuhi,” ujarnya.

Tetapi, menurut Fahri, lagi-lagi kemudian ada di belakang yang ingin agar kandidat itu cuman dua, mungkin bisa diatur “kamu kalah aja” atau dan seterusnya lah, dengan mengabaikan roh dan nafas dari lahirnya konstitusi itu sendiri.

“Jadi sejak awal memang sudah ada pelanggaran terhadap konstitusi. Dan dalam hal ini saya bisa mengatakan Mahkamah Konstitusi telah mengambil posisi keliru mengintepretasi realitas dengan mengabaikan maksud dan norma dalam kosntitusi. Mestinya, Mahkamah Konstitusi pada waktu itu mengatakan, tidak bisa presidential threshold menyebabkan kita terpaksa memiliki dua kandidat pada putaran pertama,” katanya.

Kalau mau pemilu satu putaran, masih menurut Fahri, tetap putaran pertama seseorang harus berupaya memenangkannya pada putaran pertama, dan itu telah dibuktikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY pada periode kedua, dimana kandidatnya cukup banyak (ada JK, ada Mega, dan ada Wiranto) sebagai kandidat pada putaran kedua. Tapi kemudian SBY-Budioyon itu langsung menang pada putaran pertama,.

“Dan itu tidak masalah karena tidak melanggar konstitusi. Karena konstitusi mensyaratkan seperti yang saya katakan tadi, yakni jika putaran pertama mau menang 50 % provinsi, 50 % populer, 50 % plus 1 provinsi dan minimal 20 % di provinsi-provinsi itu. Ya… kalau 34 Provinsi itu, kita bagi dua kira-kira dapatnya 7 persen. Jadi minimal dia harus menang di 18 Provinsi, itu yang kedua dalam undang-undang Dasar Pasal 6a ketentuan tentang siapa yang menang dalam pemilihan presiden,” urainya.

Disinggung banyaknya pertanyaan, bagaimana posisi presiden terpilih sekarang ini Jokowi dan Ma’ruf Amin apabila Mahkamah Agung telah membuat keputusan bahwa kemenangan mereka itu cacat secara hukum, tidak memenuhi ketentuan UU dan konstitusi? Kata Fahri, “Konstitusi maksudnya baik. Itulah sebabnya kalau toh nanti kita akan belajar ke depan begitu, ingin menyampaikan apa yang ada sekarang ya sudahlah terima aja yang ada sekarang. Meskipun itu tidak gampang, kita harus bicara soal itu.”

Tapi, paling tidak ke depan, tidak boleh lagi ada threshold presidensial, biarkan semua anak bangsa yang punya partai politik bisa mengajukan dirinya bertarung dan mempertarungkan pikiran dalam putaran pertama dengan perdebatan-perdebatan yang hangan, sehingga rakyat akan melihat siapa yang betul-betul dari seluruh kandidat yang ada dapat dipilih menjadi presiden kita. Itu yang perlu kita pastikan, demikian Fahri Hamzah. (Asim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *