Persoalan Perbedaan Ras dan Warna Kulit Masih Potensial Menjadi Gerakan Sosial

by
Majalah Jakarta MEREKA BERLUTUT, DAN LAHIRLAH PENGAMPUNAN Di Miami, para polisi justru berlutut dan memohon maaf pada para pengunjuk rasa atas kematian George Floyd oleh seorang polisi brutal. Para pengunjuk rasa menjadi luluh. Maka mereka semua mulai berdoa, menangis dan berpelukan. Cinta dan pengampunan adalah bagian dari kemanusiaan. Hormat terdalam pada para polisi di sana, juga para pengunjuk rasa. Adegan mereka adalah teladan terbaik tentang kerendahan hati, cinta dan pengampunan... https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10222728909876501&id=1386992585 By : HT

BERITABUANA.CO, JAKARTA– Dalam sejarah rasisme di dunia, sistim rasialis tidak terjadi dengan sendirinya namun dikonstruksi dengan beberapa alasan karena kepentingan ekonomi dan politik. Ketidakpahaman mengenai kompleksitas sistem rasialisme berpotensi menimbulkan distrust dan konflik.

“Salah satu kasus yang muncul beberapa minggu lalu di AS atau kasus Floyd menjadi contoh persoalan perbedaan ras/warna kulit masih potensial menjadi gerakan sosial yang memancing solidaritas ke banyak negara,” kata Analis Papua, Dr. Adriana Elisabeth lewat keterangannya, Rabu (10/6/2020)

Kekeliruan logika (false binary) dalam kasus ini, lanjutnya, mengarah pada pemahaman bahwa perbedaan rasial terbatas pada warga kulit padahal yang membedakan adalah perspektif.

Ia lalu menyandingkan kasus Floyd yang berdekatan dengan dua peristiwa di Indonesia yakni terkait hasil putusan PTUN yang mengalahkan Presiden dan Menkominfo atas kebijakan pelambatan/pemutusan internet di Papua dan Papua Barat dalam demo dan kerusuhan berseri tahun 2019. Dan, peristiwa lain adalah tuntutan jaksa terhadap 7 tapol di PN Balikpapan.

“Apakah rasialis di AS bisa dianalogikan dengan kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada Agustus 2019?. Terdapat perbedaan akar masalah antara kasus Minesota dan Surabaya karena persoalan Surabaya yang disusul dengan demo dan kerusuhan anti rasisme merupakan akumulasi persoalan masa lalu dan masalah-masalah pembangunan yang belum sepenuhnya dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Papua,” ujarnya.

“Dengan kata lain, kasus rasialis yang muncul merupakan ‘percikan api’ dari ‘bara api’ yang belum bisa dipadamkan,” tutup Analis Papua yang tinggal di Jakarta ini.

Melihat Secara Utuh

Sementara itu, Tokoh Muda Papua Alumni Universitas Pertahanan, Steve Mara mengatakan bahwa rasisme di AS jadi babak baru yang kembali menjadi sorotan dunia. Bahkan, kasus ini disebut sebagai salah satu kasus yang berhasil menarik perhatian dunia.

“Hal ini dibuktikan dengan pergerakan demonstrasi yang dilakukan di Amerika bahkan dibeberapa negara lain di Dunia,” kata Steve dalam keteran terpisah.

Ia menuturkan, dalam pandangan teori dominasi sosial maka ini terlihat bahwa ada 2 kelompok yang menempatkan diri mereka sesuai dengan penelian kelompok mereka sendiri. Pertama, Kelompok Dominan dan kedua Kelompok suborninat.

Steve lalu memberikan penjelasaannya. Pertama, elompok dominan merupakan kelompok yang ada diatas dan disebut sebagai kelompok menang yang memiliki kekuasaan dan seluruh nilai positif. Sedangkan kelompok subordinat adalah kelompok di sisi bawah yang tidak menang, tidak memiliki kekuasaan, dan dianggap minoritas.

“Dari kedua kelompok tersebut maka dapat dianalisi bahwa kelompok yang menentang rasisme adalah kelompok subordinat atau kelompok yang tidak memiliki kekuasaan, sedangkan kelompok dominan adalah pemerintah yang memiliki kekuasaan untuk menindas kelompok minoritas,” jelasnya.

Menurut Steve, dalam kasus George Floyd yang terjadi di Amerika ini bukanlah konflik yang terjadi antara kelompok dominan dan kelompok subordinat namun konflik ini bermula setelah pria kulit hitam ini diduga menggunakan uang palsu di salah satu swalayan dan di kunci oleh kepolisian sedang lehernya ditekan pakai lutut hingga George Floyd kehabisan nafas dan meninggal.

“Jika kita cermati secara baik, tidak tercium bau rasisme dari kasus ini melainkan kelalaian petugas yang mengakibatkan kematian terduga pengguna uang palsu. Petugas yang melakukannya dihukum dengan hukum pembunuhan tingkat 2 serta beberapa petugas lain yang bertugas bersama pada saat itu dihukum dengan hukuman pembunuhan tingkat 3,” tutur Steve.

Ia pun menilai, pergerakan masa yang melakukan demostrasi besar-besar serta perlawanan di Amerika merupakan hasil dari propaganda media yang mengaitkan isu kematian George Floyd dengan Rasisme. Padahal, jika kita lihat kembali ke belakang, orang kulit hitam Barack Obama merupakan Presiden kulit hitam yang sangat disegani masyarakat diseluruh dunia bahkan Barack sering dikatakan sebagai Presiden Dunia.

“Maka kasus George Floyd tidak bisa kita katakan sebagai rasisme melainkan kelalaian petugas atau dengan bahasa kasarnya kita sebut pembunuhan terhadap warna negara,” ucap dia.

“Kasus rasisme atau perbedaan warna kulit perlu untuk kita refleksikan kembali. Saya melihat bahwa sampai saat ini masih banyak warga Indonesia yang termakan propaganda yang dimainkan lewat media untuk menciptakan konflik di Papua, sehingga perlu saya ingatkan kembali bahwa dalam membaca dan melihat sebuah berita perlu kita ‘lihat secara utuh’ agar kita tidak menjadi korban kejahatan teknologi masa kini,” sambungnya.

Bangun Narasi Positif

Selain itu, perlu kita catat bahwa kecenderungan manusia yang tidak mau mencari pembanding sehingga dengan sangat mudah menelan informasi yang diterima kemudian dibagikan. Terlebih, banyaknya informasi yang beredar juga telah menjadi alasan pembenar bagi sebuah kasus sehingga sebagai masyarakat kita harus pandai melihat pemberitaan dan menganalisis sebelum kita bagikan dan mempengaruhi orang lain.

“Jangan sampai kecenderungan kita menelan informasi secara dangkal akan berakibat menjadi konflik yang lebih besar. Narasi positif harus terus kita bangun, seperti kita tidak sama tetapi bisa bekerja sama, kita tidak satu tetapi bisa bersatu,” tutupnya. (006)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *