Pancasila Sebagai Jalan Hidup Meraih Tujuan Bersama

by
Burung Garuda Pancasila di Ruang Paripurna MPR.

Oleh: Yoseph Umarhadi*

Yoseph Umarhadi.

TUJUAN kehidupan bersama adalah meraih kebahagiaan. Itulah inti dasar didirikan negara. Namun, bagaimana kebahagiaan itu diraih sangat beragam caranya. Ada mengutamakan kehidupan individual dulu dan ada pula yang menekankan dimensi sosial. Ada yang meraihnya dengan cara demokrasi, ada yang membangunnya melalui cara-cara otoritarianisme. Dalam kehidupan politik negara, perdebatan ini telah melahirkan melahirkan sosialisme-komunisme dan demokrasi-liberal. Bahkan, dalam komunisme, kehendak untuk memperjuangkan kehidupan bersama (penekanan pada sosialitas manusia) telah menciptakan tragedi kemanusiaan yang berdarah-darah. Bangsa Indonesia berusaha keluar dari ekstrim itu dengan melahirkan filsafat politiknya sendiri, yakni Pancasila. Maka, dalam bulan Pancasila ini, ada baiknya merenungkan kembali maksud dari “jalan tengah” Pancasila dalam merumuskan tujuan kehidupan bersama tersebut.

Dalam merumuskan tujuan kebahagiaan, jalan yang diambil oleh Pancasila adalah mendasarkan diri pada lima prinsip dasar sehingga yang pertama dan yang utama adalah kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan ciptaan Tuhan. Dalam kedudukan itu, manusia harus merealisasikan Tuhan dalam kehidupan sosialnya. Dalam hal ini, Panitia Lima (Hatta, 1977) menyatakan, “Di bawah pengaruh dasar Ketuhanan Yang Maha Esa serta dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, kerakyatan yang akan dilaksanakan itu hendaklah berjalan di atas kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, kesucian dan keindahan.”

Kehidupan kerakyatan harus disesuaikan dengan sifat-sifat Tuhan sebagai sumber dari kebaikan, keindahan, dan kejujuran sehingga menghindarkan kerakyatan dari perbuatan curang seperti korupsi. Jadi, Tuhan adalah entitas tertinggi dalam manusia Pancasila.

Tuhan adalah dasar moralitas kehidupan. Maka, yang lebih penting adalah merefleksikan kebaikan dan keindahan Tuhan itu dalam kehidupan manusia, dan lebih-lebih dalam kehidupan bersama. Dalam hal ini, menarik ungkapan Romo Driyarkara ketika menyebutkan bahwa Tuhan adalah realisasi cinta kasih paling tinggi sehingga manusia harus pula merealisasikan itu. Tuhan dan cinta kasih ini adalah ajaran semua agama. Cinta kasih akan memungkinkan orang untuk bekerja sama dengan lainnya tanpa berlaku curang, eksploitatif, dan menjadikan pihak lain sebagai objek kekuasaan. Cinta kasih menghindarkan orang-orang untuk menginstrumentalisasi pihak lain. Maka, refleksi ketuhanan dalam kehidupan bersama akan meninggikan kemanusiaan, memperlakukan manusia lain secara adil dan dengan keadaban tinggi. Dalam cinta kasih itu pula, manusia akan senantiasa menjaga kesatuan komunitasnya karena perpecahan akan mencegahnya dari mencari kebahagiaan. Konflik akan membawa pada kesengsaraan, dan itu berarti ketiadaan kebahagiaan.

Jalan kedua berangkat dari kesadaran bahwa manusia adalah makhluk sosial. Sifat kodrat manusia adalah makhluk sosial dan individu. Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa berada dalam kodrat hidup bersama. Di sinilah, jalan demokrasi menjadi penting. Namun, bukan demokrasi klassa atau individual seperti dikemukakan Notonagoro, tapi demokrasi yang dilandasi hikmat/kebijaksanaan. Artinya, dalam setiap pengambilan keputusan, harus dilandasi oleh akal budi melalui pengalaman dan pengetahuannya.

Keputusan tidak diambil secara tergesa-gesa semata demi mengejar hasrat tertentu, tapi kearifan dan ketajaman pemikirannya sehingga akan dihasilkan keputusan yang baik. Untuk itu, demokrasi permusyawaratan itulah yang paling tepat, yakni demokrasi yang mengandalkan musyawarah karena dalam musyawarah itu segala pikiran, pengalaman dan pengetahuan, serta kearifan dipertemukan, diuji sebelum pada akhirnya ditemukan pemecahan masalah atau keputusan terbaik. Di sini, tabiat shaleh menjadi sangat penting (Notonagoro, 1987). Dengan kesalehan, pikiran dan tindakan menjadi lebih arief dan bijak. Akhirnya, kebahagiaan manusia akan terealisasi jika setiap manusia mendapatkan keadilan. Jika ada manusia yang dirampas haknya, ditindas dan dieksploitasi, maka menjadikannya sebagai manusia yang tidak bahagia. Oleh karena itu, kehidupan bersama itu harus berlandaskan keadilan, dan keadilan itu tidak untuk satu atau dua golongan. Keadilan itu bersifat sosial, artinya keadilan itu untuk semuanya sehingga tugas kehidupan bersama adalah merealisasikan (sebagai tujuan) keadilan tersebut.

Dari paparan di atas, menjadi jelas jalan hidup Pancasila, yakni pelaksanaan sila-sila dalam kesatuannya. Oleh karena itu, kehidupan bersama harus senantiasa menyandarkan diri pada kelima prinsip itu. Jika satu di antaranya dihilangkan, maka realisasi atas kebahagiaan manusia dalam kehidupan bersama tidak akan dapat terealisasi. Pandangan ini kiranya telah dibuktikan dengan baik dalam keseluruhan masyarakat di Indonesia. Ambillah contoh gotong-royong yang menjadi ciri dominan masyarakat Indonesia meski terminologinya berbeda-beda. Di Dayak Manyaan di Kalimantan Selatan, gotong-royong diwujudkan dalam bentuk pembangunan rumah yang disebut sebagai ngarawah namun lewo. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, gotong-royong membangun rumah disebut sambatan dan markarah di Simalungun, Sumatera Utara. ***

* Yoseph Umarhadi adalah mahasiswa doktoral pada Program Pascasarjana Fakultas Filsafat UGM. Saat ini, sedang menulis disertasi mengenai Filsafat Pancasila dalam Pandangan Notonagoro dan Driyarkara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *