Membangun Optimisme di Tengah Phobia Covid 19

by
Dr. Andry Wibowo, SIK., M.H.,MSI

SEJARAH perkembangan manusia menunjukkan bahwasanya peradaban dunia tidak berhenti akibat terjadinya peristiwa besar dalam kehidupan manusia. Baik peristiwa yang disebabkan oleh bencana alam, serangan wabah, maupun peperangan.

Justru fenomena alam dan sosial tersebutlah yang mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan untuk melahirkan penemuan baru guna menjawab kompleksitas persoalan perjalanan peradaban manusia. Berbekal harapan, imajinasi, dan kemampuan akal budinya, manusia selalu berupaya melepaskan diri dari kesulitan untuk menemukan model baru kehidupan yang memiliki kemampuan adaptasi dengan perubahan itu sendiri. Sebagaimana konsep Darwin tentang survival of the fittest, “mereka yang bertahan adalah mereka yang paling cocok dan mampu beradaptasi.”

Dalam perkembangannya, manusia adalah entitas yang sangat tergantung pada tiga hal. Pertama, Tuhan maha pencipta dan maha berkuasa, tempat manusia meletakan harapan kebaikan. Kedua, alam sebagai partner kehidupan manusia dengan relasi simbiosis mutualisme. Dan yang terakhir, ilmu pengetahuan. Cahaya kehidupan dengan seluruh hasil penemuannya yang bersifat evolutif.

Ilmu pengetahuan berkembang dari bentuk yang paling sederhana, ketika manusia menciptakan perkakas batu pada zaman pra sejarah, hingga penemuan algoritma yang sangat membantu kehidupan manusia dalam evolusinya menuju era Intelligence Artificial (IA). Kecerdasan buatan yang membuat manusia menjadi sangat tergantung pada teknologi hampir di semua bidang kehidupan. Yuvah Noah Harari, lulusan sejarah dari Oxford University, menuliskannya dengan baik di dalam tiga buah bukunya yang berjudul “Homo Sapiens”, “21 Lessons”, dan “Homo Deus.”

Ketiga buku tersebut menurut saya adalah catatan evolusi peradaban manusia yang dinarasikan secara cerdas dan mudah untuk dipahami pembacanya. Menggambarkan sejarah perkembangan peradaban manusia, dari ribuan, jutaan tahun lalu hingga hari ini. Serta masa depan bumi dan kehidupan manusia yang dibayangkan oleh penulisnya.

Manusia adalah mahluk yang memiliki rasa sekaligus akal untuk menghadapi perubahan kondisi lingkungan hidupnya, termasuk peristiwa berkembangannya wabah Covid 19 yang saat ini sedang melanda dunia. Serangan mendadak Covid 19 membuat kaget seluruh umat manusia di dunia, menciptakan ketegangan, ketakutan bahkan telah menimbulkan phobia.

Kondisi pandemi hari ini memberikan tekanan pada banyak hal, mengganggu, serta memberikan implikasi kerusakan (destruktif) pada seluruh sendi kehidupan manusia baik secara pribadi, keluarga, komunitas, masyarakat bahkan dunia. Pandemi hadir di tengah isu besar dunia abad 21 seperti revolusi industri 4.0, perubahan iklim, terorisme, persoalan demografi, juga persaingan “raksasa” ekonomi dunia yang berdampak pada tata kelola pembangunan secara global.

Kaget, tegang dan takut, dirasakan seluruh umat manusia di dunia, terkait isu kesehatan yang mengancam keselamatan, dan kematian yang meningkat setiap harinya akibat Covid 19. Dunia dibayangi ketidakpastian tentang masa depan yang membuat kecemasan, sekaligus menimbulkan semangat baru, membuat kehidupan tetap harus berjalan.

Jika kita sejenak kembali pada catatan sejarah peradabannya, manusia selalu berhasil menemukan jalan keluar (the way out) dari hampir semua problem besar isu kesehatan sejak terjadinya wabah Justinian yang menyerang kekaisaran Romawi Timur dalam kurun waktu tahun 541 – 542, periode Black Death tahun 1347 – 1353, yang diakibatkan infeksi bakteri Yersinia Pestis yang menewaskan sepertiga masyarakat Eropa kala itu. Bahkan, menurut hasil riset para ahli, bakteri ini menjadi “pembunuh” masyarakat Eropa selama lebih kurang 400 tahun.

Dunia juga mencatat aktivitas virus Flu Spanyol di awal abad ke 20, yang menyebabkan kematian lebih dari 50 juta orang di seluruh dunia. Virus Ebola yang mengisolasi Afrika, virus SARS yang mewabah di China dan Taiwan dan Hongkong pada awal tahun 2000, Avian Influenza (Flu Burung) H5N1, dan virus MERS yang menyerang negara Timur Tengah seperti Mesir, Oman, Qatar, Saudi Arabia pada tahun 2012 lalu.

Jika kita cermati data statistik perkembangan kasus Covid 19 di dunia saat ini mulai menunjukkan adanya trend yang positif. Banyak negara yang telah melewati puncak masa krisis penyebaran virus. Kabar baik ini membuktikan bahwasanya pandemic ini dapat ditangani secara baik. Terus menurunnya angka penularan dan kemampuan rumah sakit mencegah terjadinya kematian pasien yang terinfeksi adalah bentuk upaya manusia untuk mengendalikan keadaan.

Data statistik ini menjadi informasi penting bagi publik untuk merubah rasa kaget, tegang dan takut menjadi rasa optimis bahwa pada akhirnya kita akan menemukan jalan keluar yang paling cocok (the fittest way out) dari pandemic Covid 19. Para ilmuwan di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia sedang berupaya keras menemukan vaksin dan obat yang cocok untuk mengatasi penyebaran virus ini.

Meskipun masih memerlukan waktu, upaya penemuan vaksin yang mampu menangkal dan mengobati penyakit yang disebabkan oleh virus Covid 19 akan memberikan optimisme pada dunia. Manusia akan dapat “menyembuhkan” keadaan, sebagaimana catatan sejarah penanganan wabah yang mengguncang dunia sebelumnya.

Optimisme bahwa manusia akan menemukan jalan keluar yang cocok dalam menghadapi Covid 19 adalah harapan yang seyogyanya dibangun bersama sama antara pemerintah dan masyarakat. Sikap optimisme ini menjadi obat awal yang secara psikologis diperlukan untuk menangkal “penyakit” baru, phobia Covid 19.

Phobia terhadap Covid 19 telah melumpuhkan psikologi warga dunia, mengikis semangat juang, meninggalkan manusia dalam ketidakberdayaan. Manusia kehilangan orientasi harapan tentang masa depan. Sikap kontradiktif dan kontraproduktif dari manusia yang lazim merawat harapannya dengan selalu bersandar pada Tuhan melaui doa.

Dengan kombinasi kecerdasan manusia (Homo Sapiens) dan kecerdasan buatan (Homo Deus) serta daya dukung alamiah dari sumber daya alam untuk menopang kehidupannya, optimisme akan melahirkan kebahagian secara batiniah dan mental bagi manusia. Situasi yang akan mempercepat kesembuhan masyarakat dari kondisi Phopia Covid 19, sambil melakukan penyesuaian kehidupan. Dengan semangat dan harapan baru dunia kembali normal.

*Dr. Andry Wibowo, SIK., M.H.,MSI* (Penulis seorang anggota Kepolisian Republik Indonesia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *