Pengakuan Seorang Dungu

by
Jaya Suprana

(Niat saya menulis naskah sederhana ini adalah menghibur para warga yang disiplin mengkarantinakan diri di dalam rumah masing-masing demi memutus mata-rantai Corona. Bagi yang tidak butuh hiburan, silakan baca naskah ini sampai di sini saja agar tidak merasa jengkel. Apabila nekad lanjut membaca, maka resiko menjadi tanggung-jawab yang membaca sendiri).

Sejauh jangkauan daya ingat saya yang di masa lansia terus menerus makin melemah, ketika pertama kali guru SD saya mengajarkan bahwa 2+2=4 langsung saya bertanya kenapa bisa begitu. Maka guru berhitung saya memberikan penjelasan bahwa menurut kesepakatan mereka yang dianggap dan menganggap diri pintar berhitung memang 2+2=4.

Menyerah

Terpaksa saya tidak bertanya lebih lanjut sebab guru berhitung saya sudah terlanjur tegas menegaskan bahwa kesepakatan itu sudah mutlak final maka dogmatis alias tidak bisa sebab tidak boleh dibantah apalagi dipertanyakan oleh seorang dungu seperti saya!

Kemudian guru berhitung saya lanjut mengajarkan bahwa 4-2=2 yang saya tidak berani bertanya kenapa begitu sebab takut dianggap melawan dogma agama eh ilmu berhitung meski pada masa itu saya tidak mengerti dogma itu apa.

Puas berkat saya tidak bertanya maka guru berhitung saya lanjut mengajari saya bahwa 2-2=0 yang juga tidak saya pertanyakan kenapa begitu sebab di samping pasti dogmatis juga masih cukup logis untuk dimengerti oleh sedikit daya logika tersisa di otak tumpul saya.

Saya juga tetap manut ketika diajarkan bahwa 2X2=4. Meski agak heran bahwa penambahan dan pengalian hasilnya sama lalu kenapa mesti dibedakan antara penambahan dengan pengalian ? Gitu aja kok repot, demikian pasti Gus Dur bilang !

Penasaran

Namun sanubari saya mulai berontak ketika guru berhitung lanjut mengajari saya bahwa (-2) – (-2) konon kalau tidak salah (jika ternyata salah mohon diampuni) = 0.

Meski penasaran namun saya masih belum berani bertanya mengenai kenapa begitunya sebab pasti pertanyaan mubazir saya dijawab bahwa itu adalah dogma matematikal yang sudah disepakati oleh para matematikawan.

Namun kemudian akhirnya saya gagal menahan desakan nafsu syahwat untuk bertanya kenapa begitu ketika pak atau bu (saya lupa!) berhitung saya mencoba meyakinkan saya bahwa dua angka minus apabila saling dikalikan maka langsung hasilnya wajib menjadi angka plus.

Jika tidak keliru, saya masih ingat bagaimana pada saat itu menderita krisis kepercayaan cukup parah. Sementara guru berhitung saya serius berusaha memberikan penjelasan tentang kenapa bilangan dengan tanda minus di depannya apabila dikalikan alias dengan bilangan yang sama-sama bertanda minus di depannya mau-tidak-mau diwajibkan menghasilkan angka tanpa tanda apa pun di depannya yang berarti sebenarnya telah disepakati untuk dapat diyakini sebagai tanda plus. Demi tidak terlalu menjengkelkan sang guru maka saya pura-pura mengerti.

Gagal Paham

OSampai saat menulis naskah ini, terus terang saya masih gagal paham bahwa perkalian dua bilangan minus tidak-bisa-tidak wajib harus menghasilkan bilangan plus.(Ternyata saya tidak bingung sendirian, sebab sang mahapujangga Prancis, Stendhal penggubah Le Rouge et le Noir juga bingung!).

Naga-naganya secara andaikatamologis masalah menjadi lebih liar berkeliaran ke sana ke mari andaikata saya nekad bertanya kenapa bilangan minus dibagi bilangan minus hasilnya menjadi bilangan apa?

Maklum daya pikir otak saya memang dangkal maka tidak mampu menangkap makna teori-teori matematika kelas langitan apalagi yang sudah didogmasisasi berdasar konspirasi para mahamatematikawan kelas langit di atas langitannya langit-langit.

Mohon dimaafkan apabila setelah membaca naskah ini ternyata anda tidak merasa terhibur sebab naskah ini memang pengakuan seorang dungu seperti saya maka mustahil dapat menghibur seorang yang tidak dungu seperti anda.

*Jaya Suprana* – (Penulis adalah seorang dungu-matematika namun nekad berusaha mempelajari matematika)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *