Keteladanan Adalah Perintah Paling Efektif

by
Direktur Eksekutif Cikini Studi, Teddy Mihelde Yamin.

Catatan : Teddy Mihelde Yamin (Direktur Eksekutif Cikini Studi)

MELIHAT angka pertumbuhan ekonomi Indonesia Kuartal I -2020 yang hanya mencapai 2,97%, sekaligus melihat daftar utang BUMN jatuh tempo tahun 2020, (TLKM/Telkom 53 triliun, KRAS/Krakatau Steel 15 triliun, KAEF/Kimia Farma 7 triliun belum lagi yang BUMN bergerak di infrastruktur-Adhi Karya, Wika, PP, WSKT dan lainnya) pantas membuat pemerintah langsung panik dan ketakutan.

Pemerintah memproyeksikan defisit APBN yang cukup lebar hingga tahun 2024. Tahun 2020-2021 di atas 3%, 2022-24 di kisaran 3%. Rasio utang pun di kisaran 37% dari PDB. Targetnya seperti itu, tetapi melihat berbagai perkembangan terkini kemungkinan bisa lebih buruk realisasinya. (Sumber: KEM-PPKF 2021 yang disampaikan ke DPR 12 Mei).

Bayangkan beratnya beban negara ini jika tak segera diantisipasi, bisa tak bersisa apapun yang dikerjakan selama ini, mengingat negara ini sudah masuk dalam ‘perangkap utang’. Padahal faktanya selama ini pemerintah memprioritaskan pembangunan ekonomi, tapi ujian pandemik virus corona atau Covud-19 ini berpotensi menghancurkan kebanggaannya itu semua. Karena itu tidak mengherankan jika hari-hari ini dimunculkan wacana pelonggaran PSBB. Sekalipun, data kurva Covid-19 tak mendukung pelonggaran tersebut.

Jika beberapa negara memilih berkata jujur melonggarkan pembatasan sosial dan menyerahkan nasib warganya kepada takdir dan hukum alam. Menjalankan ‘herd immunity’, di mana suatu wilayah dibiarkan terinfeksi virus hingga 70% dan berharap diperoleh kekebalan komunitas. Sekalipun resiko besar menghadang, bersiap kehilangan orang-orang tua, anak-anak balita, orang-orang berpenyakit kronis, dan orang-orang bernasib sial.

Sementara pemerintah Indonesia harus diakui masih tarik ulur, seakan ‘gagap’, mengakui hal yang sama, tetapi memilih memakai bahasa yang diperhalus untuk menutupi keputusasaan, keragu-raguan mengelola krisis dan kemerosotan ekonomi. Sekaligus berlagak bahwa semua dalam kendali sehingga pemerintah dan para pendukungnya terus berpura-pura, akhirnya melawan logika publiknya sendiri.

Sebenarnya publik hanya ingin pemerintah konsistensi menjalankan regulasi dengan ketegasan dalam penegakan hukum dan untuk mengawasi pelaksanaan diperlukan agar aturan tak hanya keras di atas kertas. Karena publik juga membutuhkan contoh dari para pejabat publik. Keteladanan yang tidak justru menimbulkan kebingungan.

Tentu akan sulit meminta masyarakat disiplin ketika di saat yang bersamaan mereka melihat ada kesan ambigu atau kegamangan di sisi regulasi ataupun penegakannya. Keteladanan adalah ”perintah” yang paling efektif. Tanpa berpanjang kata, keteladanan akan secara otomatis menggerakkan warga.

BPJS Kesehatan, RUU dan Perpu yang Kontroversi

Di sisi lain, pemerintah seolah memecah perhatian publik dan bukannya merangkul rakyatnya yang sedang kebingungan. Seolah tak mau kalah dengan tiba-tiba memanfaatkan momen ini untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan padahal sebelumnya sudah dimentahkan oleh MA. Jadi kuat kesan kalau pemerintah berjalan (maaf loh ‘seenaknya’ sendiri) karena merasa berhak. Membiarkan rakyat berteriak, sementara pemerintahnya asyik sendiri. Malah mempersilakan rakyatnya menempuh gugatan balik ke MA jika masih keberatan? Lah, nanti juga kalau dikabulkan MA tidak dipatuhi apa jadinya? Bukankah tambah memalukan dan menghilangkan mula. Jadi akhirnya berkesan, pemerintah sedang berdagang dengan rakyatnya.

Sebaiknya Pemerintah menunjukkan ‘empati’ pada masyarakat kecil, bukan justru kekuasaannya. Karena melawan nalar sehat, mengingat jika sebelum pandemik ini saja MA sudah mengabulkan gugatan rakyat karena dipandang tidak tepat waktu karena perekonomian sedang bermasalah dan rakyat ‘bokek’ tetapi justru pemerintah mencari celah lain, membuatan Perpres baru. Bukankah ini melawan putusan dan perintah Mahkamah?

Di sinilah diperlukan empati yang kuat dari pemimpin bangsa ini dengan prioritas utama mengatasi problem masyarakat banyak, dibandingkan meneruskan proyek-proyek besar. Jika memang kondisi negara lagi susah bukankah kita semua fokus untuk satu tujuan sembari merangkul masyarakat?

Sementara pada saat bersamaan rakyat juga melihat mulusnya pengesahan RUU Minerba menjadi UU di DPR RI yang diduga hanya akan menguntungkan para pengusaha tambang besar. Diartikan hilangnya makna dari pasal dalam UUD45 bahwa isi perut bumi untuk kemakmuran rakyat.

Begitu juga dengan mengesahan Perpu Corona yang isinya dikritisi dan dipertanyakan banyak pihak, karena sejarah mencatat 2 peristiwa sejenis dikorupsi kepentingan penguasa.

Tak terkecuali dengan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (OLCLK) yang menurutku dan para pakar hukum hanya akan menguntungkan para pemilik modal dan menggerus hak-hak pekerja tampaknya juga akan disetujui oleh DPR, karena yang sementara ini di-break pembahasannya terbatas pada cluster Ketenagakerjaan.

Di samping itu tak kalah serunya tanggapan masyarakat mengenai solusi yang diusulkan Badan Anggaran DPR RI yakni mencetak Rp 400-600 triliun yang diyakini dapat mengatasi masa krisis akibat pandemi virus Corona (Covid-19). Walau kemudian usulan itu ditolak Bank Indonesia karena bahaya inflasi tinggi yang menghantui usulan cetak uang.

Sejarah Indonesia mencatat bahwa bangsa Indonesia pernah merasakan pahitnya krisis ekonomi akibat inflasi tinggi pada tahun 1950 dan krisis keuangan 1998. Semua itu akhirnya menjadi momok yang menakutkan dan kuatir terulang lagi. Terlebih kita semua tahu ketika politisi berkehendak seringkali mengalahkan keilmuan dan akal sehat, sekalipun usulan tersebut tak didukung landasan akademik.

Sahabat, bukankah ini semua membuat kita semakin tak fokus? Karena kurangnya keteladanan dan berbagai kepentingan di luar corona justru ikut mendompleng? ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *