Kegamangan Pemerintah Antara Lockdown atau Tidak

by
Direktur Eksekutif Cikini Studi, Teddy Mihelde Yamin.

Oleh: Teddy Mihelde Yamin (Direktur Eksekutif Cikini Studi)

PER Sabtu (28/3/2020) hari ini, jumlah positif terinfeksi corona tembus 1,155 orang, meninggal 102 orang dan berhasil sembuh 59 orang. Terjadi penambahan 109 kasus positif terkonfirmasi dibanding sehari sebelumnya. Trend penambahan yang masih signifikan.

Sementara di beberapa daerah di Jawa, persisnya Kota Tegal, beberapa kampung di Yogja, Papua Barat menyusul Kota Medan dan banyak daerah lainnya diberitakan pemerintah daerah setempat atau rakyatnya berinisiatif melakukan ‘lockdown’ sendiri demi keselamatan, ketenteraman dan rasa tenang warganya.

Sedangkan di DKI Jakarta, dimana jumlah korban terbesar dan terus bertambah, apakabar?! Masih mengandalkan ‘social distancing’? Sementara di jalanan Jakarta masih terlihat sibuk aktivitas warganya, walau sudah lumayan berkurang menyusul berkurangnya aktivitas bisnis di daerah perkantoran resmi. Bukankah semakin lama pada posisi sekarang, pada akhirnya kita tak punya pilihan untuk beralih ke cara lain yang lebih ‘pasti’ hasilnya.

Namun rakyat setidaknya dapat menduga masalahnya sebenarnya, ada sesuatu kesepahaman yang perlu diselaraskan di balik kondisi saat ini. Sekaligus memaklumi arti dari kunjungan Mendagri Tito Karnavian ke Balai Kota Jakarta 2 minggu lalu, antara kewenangan penanggung jawab daerah dan Pemerintahan Pusat. Walau tak penting bagi publik memakluminya jika penambahan positif PDP masih tinggi.

Jika kita terus berkutat dengan cara ini, tak beralih ke cara yang lebih efektif, jangan katakan karena ketidaksiapan ekonomi. Karena dengan Social Distancing ini saja, sudah banyak rakyat kecil yang terdampak. Khususnya rakyat yang mengais rezeki di sektor informal. Serba tanggung, akhirnya dikuatirkan tak berujung. Masalahnya berapa lama? Efektif tidak cara yang longgar ini?

Bukannya saya tidak mengerti dampak yang timbul jika dilakukan lock down atau karantina wilayah. Bagaikan makan simalakama; Jakarta melakukan lock down lebih awal bisa jadi Indonesia (Jakarta) selamat dari Covid-19 tetapi bersiap menghadapi krisis ekonomi. Berkurang atau hilangnya kewibawaan pemerintah. Mengingat besarnya ketergantungan kita pada sektor informal.

Tetapi jika memang itu langkah terbaik demi keselamatan rakyat sekalipun pahit, mengapa tidak? Yang terpenting perlihatkan leadership yang kuat, kepemimpinan nasional meyakinkan dalam menghimpun semua potensi bangsa di masa sulit. Penanggulangan pandemic Covid-19 tidak bisa sendiri membutuhkan solidaritas berbagai kalangan. Anggota DPR-RI, DPRD, Menteri Kabinet, Pejabat Eselon 1 (plus eselon 2 lebih baik), berbagai Kementerian, Direksi dan Komisaris berbagai BUMN yang selama ini menikmati kemakmuran, sepantasnya digugah bila perlu setengah dipaksa dengan Peraturan Pemerintah (PP) untuk menyisihkan penghasilannya untuk berbagi dalam penanggulangan wabah ini. Sementara TNI dan Polri diterjunkan sepenuhnya untuk menertibkan masyarakat. Semua ini sekedar empati dan menimbulkan rasa kebersamaan sesama warga. Jadi bukan membiarkan rakyat yang bergerak di sektor informal kelimpungan memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara yang berpenghasialn tetap justru mendapat pembebasan PPh 21 dan sebentar lagi menyusul Tunjangan Hari Raya (THR).

Mengapa pemerintah masih saja tergagap dan belum juga fokus. Tercermin dari pernyataan Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, yang masih memastikan melakukan tahapan pengerjaan proyek infrastruktur besar pemindahan Ibu Kota? Artinya masih ada potensi dana yang direncanakan untuk ini. Kritik saya, dalam negara sedarurat ini masih saja berpikir projek? Mengapa tidak menyatukan langkah, teguhkan hati, dan mempersiapkan anggaran semaksimal mungkin buat memerangi corona? Selain itu kemarin Kamis (26/3/2020) diberitakan Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia juga mengimbau agar pemerintah segera melakukan lock down mengingat cara tersebut dinilai lebih efektif menekan penularan Covid-19. Sudah tak cukup efektif lagi berharap ‘Sosial Distancing’ untuk menekan penyebaran. Bukankah imbauan tersebu selayaknya dipertimbangkan?

Tunggu apa lagi? Memutuskan pindah Ibu Kota tanpa kajian akademis tanpa peraturan dan perangkat hukum pendukung bisa cepat diputuskan, tetapi mengapa untuk ‘keselamatan warga’ kok lambat betul? Bukankah jika terlalu banyak pertimbangan, berkesan mengesampingkan keselamatan rakyatnya.

Mengikuti laju pertambahan jumlah korban dari hari ke hari, semakin kuatir menjadi benar forecast dari Dr. Fithra Faisal Hastiadi, SE, MSE, MA pengamat ekonomi dan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, yang menuliskan bahwa dalam 30 hari sejak ditemukan pertama kali di Indonesia akan mencapai hampir 12,000 kasus. Ini sesuatu jumlah yang mengerikan. Tak terbatas fasilitas untuk perawatan, tetapi juga kesterbatasan tenaga medis. Untuk tempat perawatan di Jakarta, pemerintah telah menyiapkan skenario terjelek dengan penambahan Rumah Sakit Darurat Covid-19 berkapasitas ribuan eks Wisma Atlit Kemayoran.

Jika kita terjebak pada skenario ini, selanjutnya bagaimana? Barangkali rakyat perlu perlu diberitahu tentang kemungkinan terjelek beserta skenario penyelamatannya. Misalkan saja rakyat juga perlu dijelaskan apa sih ‘herd immunity’ itu? Apakah kita bisa berharap pada herd immunity? Dan bila bisa, kapankah kemungkinan waktunya? Sementara beberapa ahli masih berbeda pendapat tentang hal ini. Sejajar dengan itu, rakyat perlu dijelaskan juga cara melindungi dirinya. Silakan isi ruang publik dengan narasi yang mencerahkan dari instansi terkait.

Setuju dengan pernyataan salah seorang pejabat yang mengatakan bahwa tidak ada satupun negara di dunia ini yang siap menghadapi pandemi corona. Tetapi dia lupa, bahwa sejarah mencatat baik kesigapan, keseriusan negara dan pemerintahnya dalam melindungi segenap rakyatnya. Sebenarnya cukup melihat dan mencontoh saja negara lain yang sukses menekan laju pertambahan korban kok..!! Lihat apa yang dilakukan berbagai negara dalam menstimulus perekonomian rakyatnya. Buat rakyat sendiri tak sepantasnya coba-coba. Terkait yang menyangkut nyawa pilihlah cara yang terbaik dan teruji. Sudah semestinya urusan nyawa dan keselamatan menjadi prioritas.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *