Merefleksikan Sistem Pendidikan Kita yang akan Melahirkan Generasi Mendatang

by
Agus Widjadjanto. (Foto: Istimewa)

Oleh: Agus Widjadjanto (Pemerhati Sosial, Budaya, Politik dan Hukum serta Sejarah Bangsa)

BETAPA mengejutkan, Berita Kompas.com, tiga hari lalu/tanggal 17 Januari 2024, memberitakan Pemerintah Swedia anggarkan 1,7 Trilyun untuk mengembalikan sistem pendidikan dari komputer ke buku cetak. Pemerintah Swedia memutuskan untuk mengubah sistem pendidikan dengan kembali menggunakan buku-buku cetak sebagai media pembelajaran dalam sistem pendidikanya. Keputusan ini dilakukan efaluasi setelah 15 tahun lamanya sistem pendidikan di Swedia menggunakan perangkat digital seperti komputer dan tablet. Bahwa pada Awalnya, Swedia optimis bahwa penggunaan perangkat digital bisa membantu siswa, tapi ternyata justru siswa telah kehilangan kemampuan dan keinginan membaca dan tata cara menulis dengan baik dan bagus serta pendalaman materi yang turun drastis perangkat digital kurangi fokus siswa. Meski menghadapi kegagalan transisi pendidikan yang nyata, Swedia masih mempertahankan peringkat tinggi dalam standar pendidikan global. Namun, jika dibandingkan negara lainnya, keterampilan siswa di Swedia mengalami penurunan. Data dari Studi Kemajuan dalam Literasi Membaca Internasional (PIRLS) menunjukkan bahwa keterampilan siswa di Swedia, terus menurun pada 2016-2021. Pada 2021, siswa kelas 4 di Swedia memperoleh rata-rata 544 poin, turun dari rata-rata 555 di tahun 2016. Di tahun yang sama, Singapura menduduki peringkat teratas dengan skor PIRLS 587 dari yang sebelumnya 576. Walaupun penurunan tersebut tidak sepenuhnya karena pembelajaran berbasis teknologi, tetapi juga disebabkan karena pandemi Covid-19. Namun, penelitian oleh Dewan Riset Swedia untuk Kesehatan, Kehidupan Kerja, dan Kesejahteraan (Forte) tak memungkiri bahwa pembelajaran menggunakan teknologi digital dengan menatap layar berjam-jam dapat menghambat kemampuan siswa untuk lebih fokus dalam memproses informasi yang kompleks. “Dampak layar dengan lampu latar pada konsentrasi dan pemahaman jauh lebih signifikan daripada yang kami perkirakan,” kata pakar pendidikan di Institut Pendidikan Nasional Swedia, Anna Lindstrom, dikutip dari The Universal yang dimuat kompas.com. Dia juga memaparkan bahwa siswa sering kali menggunakan perangkat teknologi itu untuk bermain gim atau menjelajahi internet selama berjam-jam di sekolah. Kebiasaan itu, mengurangi keterlibatan siswa di kelas. Banyak orang tua yang menyuarakan kekhawatiran mereka terkait konsekuensi yang tidak diinginkan akibat transisi ke teknologi digital ini. “Saya melihat anak saya terganggu oleh gim dan media sosial selama jam sekolah, yang memengaruhi prestasi akademis mereka,” pendapat beberapa orang tua murid.

Buku fisik penting untuk pembelajaran siswa Wacana Pemerintah Swedia kembali menggunakan buku cetak sebagai media pembelajaran sudah mencuat sejak 2022 silam. Sementara Menteri Sekolah Swedia, Lotta Edholm mengatakan, siswa Swedia membutuhkan lebih banyak buku pelajaran. “Buku fisik penting untuk pembelajaran siswa,” ujarnya, dikutip dari The Guardian kata kompas Edholm kemudian mengumumkan bahwa pemerintah ingin membatalkan keputusan badan nasional untuk pendidikan yang mewajibkan penggunaan perangkat digital di prasekolah pada Agustus 2023. Pemerintah Swedia bahkan berencana untuk melangkah lebih jauh dengan mengakhiri pembelajaran digital untuk anak-anak di bawah usia 6 tahun. Hasil penelitian dari Institut Karolinska Swedia juga menunjukkan bukti ilmiah bahwa perangkat digital justru merusak pembelajaran. Mereka setuju bahwa pengembalian buku cetak sebagai media pembelajaran dapat meningkatkan keterampilan dasar siswa. “Kami percaya bahwa fokusnya harus kembali pada perolehan pengetahuan melalui buku teks cetak dan keahlian guru, daripada memperoleh pengetahuan terutama dari sumber digital yang tersedia secara bebas yang belum diverifikasi keakuratannya. Pemerintah Swedia memutuskan untuk mengubah arah sistem pendidikan dengan kembali memperkenalkan buku-buku cetak di ruang kelas. Sejak 2022 hingga 2025, pemerintah menginvestasikan 104 juta Euro atau Rp1.748.167.200.000 untuk menyediakan buku cetak bagi setiap siswa untuk setiap mata pembelajaran. Bahwa Anggaran tersebut juga akan mendukung kampanye kesadaran dan membantu sekolah selama masa transisi. “Langkah ini adalah tentang menemukan keseimbangan,” kata Menteri Pendidikan Lena Johansson. “Kami tidak meninggalkan perangkat digital sepenuhnya, tetapi memastikan bahwa perangkat digital sebagai bahan melengkapi, bukan menggantikan aspek dasar pembelajaran,” imbuh dia.

Keputusan tersebut menjadi refleksi bahwa teknologi memiliki kelebihan, tetapi metode pengajaran tradisional sangat penting untuk menumbuhkan keterampilan berpikir kritis dan pemahaman. Dengan kembali menggunakan buku cetak, dalam berita rersebut juga menulis Pemerintah Swedia berharap dapat membangun kembali keterampilan belajar dasar sambil terus menggunakan alat digital sebagai nilai tambah siswa.

Sementara kita sebagai negara yang secara ekonomi dan disiplin warga negaranya serta sistem yang dibangun dibawah negara Swedia , justru dengan getolnya memperlakukan sistem pendidikan dengan digitalisasi, pada semua strata pendidikan, baik menengah, maupun tinggi. Ini sangat berbanding terbalik dengan negara maju sekelas Swedia, sebagai negara produsen Mobil Berteknologi papan atas yang kerap kita naikin baik bus, truk, maupun sedan produksi Volvo.

Salah satu tiang utama dari pendidikan adalah jabatan Guru. Guru adalah sebuah jabatan yang sangat mulia, hingga dinobatkan sebagai pahlawan Tanpa Tanda Jasa, dimana kemajuan sebuah bangsa dan begitu juga kehancuran sebuah peradaban suatu bangsa salah satunya ditentukan. Oleh Guru-guru dimana pada negara tersebut mengajarkan pada generasi muda penerus bangsa. Karena jabatan yang begitu mulia hingga pada masa kejayaan jaman kerajaan kerajaan di Nusantara ini dulu mempunyai derajat Makom yang sangat tinggi dengan kasta Brahmana (Pendeta, Guru, Dosen, Guru Besar).

Alangkah baik nya pada moment ini kita merefleksi sejenak pada Sistem Pendidikan kita dalam sistem belajar mengajar, baik pada pendidikan tingkat dasar, menengah maupun pada pendidikan tinggi. Pendidikan adalah sebuah usaha kebudayaan yang bertujuan untuk menuntun pertumbuhan jiwa dan Raga anak, dimana melalui pendidikan juga merupakan media untuk mewujudkan manusia yang merdeka secara lahir maupun batin. Guru berperan sebagai Pamong atau pembimbing yang mendidik murid nya dengan kasih sayang dengan kesadaran personal, dimana Guru harus tetap berpegang pada kemampuan dasar siswa/murid dengan mendorong untuk mengungkapkan kemampuan berpikir tapi tetap berbudi luhur. Seorang Guru, Dosen, pada semua level pendidikan harus berpikir, berperasaan dan bersikap seperti juru tani, dimana menggarap tanah disesuaikan dengan karakteristik tanah tersebut untuk ditanami, demikian juga juga terhadap siswa/muridnya seorang Guru tidak bisa merubah karakter dari siswa, akan tetapi hanya bisa memperbaiki dan memperindah harmoninya. Tut Wuri Handayani (Guru memberikan dorongan, semangat, kepada muridnya), Ing Ngarso Sung Tulada: Guru dan pemimpin didepan murid/siswa harus memberikan contoh tauladan yang baik, dalam pengajaran untuk mencetak generasi yang berbudi luhur, bulan hanya generasi yang cerdas seperti robot sesuai tehnologi kecerdasan buatan. Dan moto Ing Madya Mangun Karsa yang artinya Guru harus membangun motivasi memberikan semangat kepada murid/siswanya harus bisa lebih baik untuk nanti mendarma baktikan kepada keluarga dan bangsanya.

Semboyan Tut Wuri Handayani yang diabadikan sebagai logo pada Kementerian Pendidikan, Riset dan Tehnologi (Kemrndikbudristek) yang hanya menjadi simbol dimana sistem pendidikannya justru telah mengamputasi semboyan dari pendiri Taman Siswa itu sendiri, dengan menghilangkan mata pelajaran dasar pada pelajaran bahasa daerah, Pancasila, sejarah bangsanya dan membentuk karakter siswa sejak dini. Yang akibatnya, hasil dari pendidikan yang melupakan pendidikan karakter, adalah menghasilkan generasi-generasi yang individual, dan rasa nasionalisme yang luntur, serta budaya sopan santun juga telah hilang, yang ada adalah sebuah generasi yang arogan dan merasa paling benar serta lebih cerdas dibanding generasi orang tuanya.

Melihat fenomena tersebut sebenarnya Indonesia tidak dalam keadaan baik baik saja , yang perlu terobosan untuk memperbaiki sistem yang dibangun sejak pasca runtuhnya Orde Baru memasuki era Reformasi yang sudah keluar jalur serta kebablasan. Dan harapan ini ditujukan kepada presiden terpilih tahun 2024 agar lebih bisa peka dan tanggap bahwa ada yang salah dan perlu dilakukan terobosan radikal untuk memperbaiki.

Fenomena tersebut tidak bisa dilepaskan karena terjadinya “degradasi moral” dari anak bangsa itu sendiri yang merupakan tugas kita semua. Mengajarkan moral dan etika serta cinta tanah air, sopan santun, rasa berbagi, toleransi antar umat beragama karena Negeri ini terdiri dari bersuku-suku dan berbangsa-bangsa dengan ratusan, bahkan ribuan bahasa daerah, harus dimulai sejak usia dini, yang merupakan tugas kita semua seluruh elemen anak bangsa, baik orang tua, guru –baik tingkat pendidikan dasar, menengah dan hingga Dosen, Guru Besar pada Perguruan Tinggi, kaum Agamawan, Budayawan serta pejabat negara selaku pengambil kebijakan. Sementara sistem pendidikan kita dalam proses belajar mengajar sudah dibuat sedemian rupa seperti halnya sistem pendidikan di Eropa, dimana pada usia dini sudah dijejali matematika, logaritma, bahasa asing, yang merupakan pelajaran berat yang merupakan porsi pada pendidikan menengah atas dan pada level yang lebih tinggi yang justru menghapus beberapa mata pelajaran budi pekerti, Cinta Tanah Air, penghormatan terhadap guru, sopan santun dan bahasa daerah, serta sejarah bangsa nya. Agar tetap melekat pada usia dini tersebut merupakan dasar dari pada membentuk karakter anak dan manusia seutuhnya dikemudian hari.

Di Jepang yang merupakan negara maju dan negara industri, sistem pendidikan nya mengajarkan pada usia dini pada kelas satu hingga kelas tiga Sekolah Dasar, hanya diajarkan ekstra kulikuler bidang olah raga untuk membentuk tubuh yang sehat, serta diajarkan khusus pendidikan budi pekerti, sopan santun, sosialisasi sesama teman dan bersih terhadap lingkungan serta menghormati guru, orang tua, dan cinta budaya Tanah Air. Di Jepang, dalam proses belajar tingkat dasar pada kelas satu hingga kelas empat tidak ada ujian seperti di negara kita, akan tetapi guru memantau karakter dan cara bersosialisasi dalam pergaulan, sopan santunnya terhadap orang yang lebih tua dan guru. Dengan sistem pendidikan tersebut apakah jepang menjadi negara terbelakang ? Oh tidak, Jepang tetap sebagai negara industri maju, negara kampiun industri mobil, digital, elektronik dan sumber keuangan dunia.

Berikan kepada siswa, mahasiswa dalam semua strata pendidikan, kebebasan untuk berekpresi dalam berpikir agar menukan ide ide baru, menemukan terobosan baru, tanpa dikungkung oleh aturan dogma, tata cara dan juklak dimana kebebasan berekpresi untuk berpikir, peran guru dan Dosen hanya sebatas juru tani, yakni mengolah memilih tanaman sesuai tektur kondisi tanah, memberikan bimbingan dengan cara didepan siswa/mahasiswa memberi contoh , ditengah memberi semangat, dan dibelakang memberi dorongan itulah sebenarnya arti semboyan “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani”.

Jaman saya kecil dulu pada tahun 70 an dengan sistem pendidikan lama, diajarkan tata cara menulis huruf latin halus, menulis huruf honocoroko yang merupakan bagian sejarah dari bangsa ini, diajarkan sopan santun, unggah ungguh, hormat terhadap guru serta orang yang lebih tua dan orang tua, saking kerasnya seorang guru mengajarkan disiplin terhadap murid nya agar menjadi manusia yang berahlak bertanggung jawab serta berbudi luhur, maka dijaman itu guru sangat dihormati, coba jaman reformasi sekarang guru dianggap teman, apabila ada guru menghukum muridnya disekolah, yang ada sang guru dilaporkan polisi oleh orang tua murid karena semena-mena, disinilah telah tejadi pergeseran nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta bermasyarakat yang menafsirkan sesuai nilai-nilai Pancasila dan ajaran Bapak Taman Siswa, Tut Wuri Handayani, Ing Karso Sun Tulodo, tidak lagi terdengar diajarkan pada bangku-bangku sekolah oleh guru-guru kita, bahkan lebih kepada berorientasi pada pendidikan yang menguntungkan secara finalcial (Education Bisnis), hingga jangan kaget begitu mahal biaya pendidikan saat ini yang harus ditanggung masyarakat, dengan pembelajaran sopan santun, tata krama, sosialisasi cara bergaul yang dilakukan sejak usia dini tentu setidaknya akan melekat pola pikir di usia dini dari anak anak kita agar menjadi pribadi yang luhur, jujur, dan penuh toleransi terhadap sesama. Bahkan sekarang kabarnya ditingkat perguruan tinggi rencananya akan menghilangkan mata kuliah Pancasila di semester pertama pada beberapa universitas baik negeri maupun swasta, hal ini berbanding terbalik dengan masa pemerintahan Orde Baru yang mengajarkan nilai nilai Pancasila lewat program Eka Prasetya Panca Karsa, untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, pejabat, kaum pendidik agar bisa memberikan suri tauladan. Kepada masyarakat yang dipimpinnya dan diajarnya, apa itu makna dan nilai nilai dari Pancasila. Di dunia dengan kemajuan tekhnologi komunikasi dan informasi yang seolah-olah tidak ada lagi batas negara, dengan kemajuan tersebut hampir semua anak bangsa menggunakan internet, listrik, bahkan masa pandemi covid-19, dilakukan lock down atau dirumahkan, dimana memaksa masyarakat untuk rapat dan sistem belajar mengajar menggunakan Zoom diinternet, belum lagi sistem perbankan, bahkan mobim juga bertenaga listrik, yang tentu itu semua bermuara pada sistem kontrol, yang bermuara pada Cips yang diciptakan berdasarkan tehnologi canggih yang tidak semua negara mampu menguasai dan membuanya, jadi seolah olah kita digiring pada suatu kondisi tertentu secara bersamaan dan merata, apakah kita pernah membayangkan secara imajinasi saja,.pada suatu ketiga terjadi Shotdwon (mematikan seluruh sistem dan komputerisasi), sedang sistem yang dibangun menggunakan tehnologi yang belum sepenuhnya kita kuasai, dan harus belajar dari kasus negara Estonia, dimana saat Shotdwon seluruh operasi perbankan dan operasional internet mati, yang berakibat seluruh jaringan mati, dimana Estonia saat itu mengalami kelumpuhan total. Dan ini harus kita pikirkan bersama, tehnologi seolah membuat kita bangga dan hebat, padahal sebetulnya membuat diri kita semakin bodoh karena dikuasai oleh sistem tehnologi tersebut dan kita tidak bisa berbuat banyak kecuali ikut arus sistem tersebut, contoh segala internet pakai pulsa, token listrik, tarik tunai uang dalam perbankan, tranfer, telpon, dan sebagainya. Yang mau tidak mau kita dipaksa untuk ikuti sistem Dunia tersebut, yang pada titik tertentu bukan tidak mungkin jikalau terjadi turbulensi dalam sistem, berakibat mati total dan lumpuh pada semua sektor.

Bahwa suatu sistem yang dirancang dan diciptakan salah akan membuat orang baik akan terseret dalam turbulensi lingkungan menjadi orang jelek dalam kapasitas nya sebagai warga negara, tapi dengan sistem yang baik, orang yang jelek secara mens rea (niat jahat) akan terkikis dan ikut terseret menjadi baik karena sistem yang bagus.

Demikian juga dalam kehidupan politik, setiap hari dipertontonkan dengan hujatan karena pilihan berbeda dalam politik bahkan terjadi Carok di Sampang Madura gara gara pilihan dalam Pilkada berbeda sangat tidak bisa kita terima dalam kontek Demokrasi khususnya Demokrasi Pancasila yang menghormati atas semua pilihan, ditengah kebebasan dalam mengeluarkan pendapat, belum lagi pada masa lalu terjadi politik identitas menyangkut keagamaan dalam pilkada, yang menggiring masyarakat pada potensi perpecahan antar umat beragama, yang mana masyarakat digiring pada opini dikaitkan dengan keagamaan, bahkan surga dan neraka, hal ini akibat dari adanya kebebasan yang tidak dibarengi dengan rasa bertanggung jawab akibat dari pada dirubahnya sistem ketatanegaraan, dimana Hukum dasar kita yakni UUD 1945 telah diamandemen hingga ke empat kalinya, yang merubah format dari sistem perwakilan menjadi sistem pemilihan langsung, menggunakan proporsional terbuka dalam sistem pemilihan dalam partai politik, hal ini akan berimbas pada suatu mata rantai yang saling terkait pada bidang yang lain, karena cost yang ditimbulkan sangat besar tentu bermuara pada saat menjabat pun akan berorientasi pengembalian modal, dalam masa jabatannya. Karena sistem proporsional terbuka siapapun calon legislatif, baik berusia muda maupun tua, belum lama masuk partai politik, dan dengan pengalaman yang masih sangat minim boleh mencalonkan diri, yang pada akhirnya terjadi politik transaksional, layaknya pada negara sistem liberal yang berorientasi ekonomi kapitalis, yang setiap calon baik calon kepala daerah, calon legislatif, bupati, walikota bahkan presiden ditengarai para ahli politik didukung oleh oligarki, yang tentu tidak ada makan siang yang gratis dan hal ini berakibat pada sistem dan kondisi perekrutan jabatan jabatan strategis , baik di pemerintahan, penegak hukum , perbankan, menjadi ajang transaksional, yang muaranya akan timbul ketidak pastian dalam segala bidang, termasuk dalam bidang penegakan hukum, baik di tingkat penyidikan, penuturan maupun ditingkat peradilan pada Pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung, yang masih jauh dari rasa keadilan, yang kerap dijumpai adalah adanya peradilan yang sangat mahal yang harus ditebus oleh para pencari keadilan, dan terjadi penjungkir balik kan aturan hukum positif demi kepentingan tertentu, hal ini diakibatkan oleh, satu: adanya degradasi moral dari anak bangsa dan yang ke dua sistem yang dibangun sudah salah kaprah yang telah dikoyak dan diporandakan sistem yang yang ada, yang dibuat dengan konsep baru yang berorientasi pada Soko Guru negara liberal dengan sistem ekonomi kapitalis, yang telah keluar dari rel cita-cita para pendiri bangsa melalui konsep Ekonomi Gotong Royong dan Kerakyatan yang telah dibangun oleh para pendahulu kita, para pemimpin pemimpin kita masa lalu.

Kita harus belajar pada sejarah, tepatnya sejarah berdirinya bangsa ini yang dibentuk oleh para pendiri bangsa (Founding Father’s kita) bahwa negara ini dibentuk dari awal adalah sebagai negara kesatuan berbentuk republik yang menyatukan segala perbedaan baik agama, suku, ras, budaya, adat istiadat bahasa, menjadi satu tujuan berdirinya negara Republik Indonesia yang berdasarkan sistem perwakilan sesuai sila ke empat dari Pancasila, dan sistem ekonomi kerakyatan secara gotong royong, dengan dasar dan falsafah serta pandangan hidup bangsa yakni Pancasila, bukan negara liberal yang berorientasi sistem kapitalis, juga bukan negara sosialis dengan Sistem ekonominya sosialis, tapi sebuah negara dengan konsep ketatanegaraan ala Indonesia yang dengan konsep ekonomi kerakyatan dengan cara gotong royong diilhami dari nilai nilai luhur para leluhur jaman dulu yang lalu dikonsep ulang oleh para pendiri bangsa dan nenek moyang bangsa ini. Bukan pula negara agama akan tetapi negara yang melindungi segenap umat beragama dalam menjalankan ibadahnya. Dan ini merupakan tanggung jawab kita bersama seluruh elemen bangsa. Dan harus merefleksi diri kita bahwa kita telah gagal dalam menghantarkan para calon calon pemimpin bangsa pada proses pendidikan pada kawah Candradimuka di bidang pendidikan, yang dimulai dari pendidikan dasar, pendidikan pada tingkat menengah atas hingga perguruan tinggi yang melahirkan para anak bangsa yang telah menjabat dari berbagai strata, dengan kondisi korupsi yang masif dari berbagai lini, walau dibentuk rasuah anti korupsi seperti KPK, tidak bisa berbuat banyak, justru korupsi terbesar dibongkar oleh Kajaksaan Agung.

Ini sungguh memperihatinkan dengan dana APBN yang begitu besar, baik untuk penindakan maupun pencegahan, tapi korupsi justru kian massif dan jadi budaya. Mungkin benar Raden Ngabehi Ronggo Wasito bilang ini jaman edan, jaman kolo bendu, ‘yen ora edan yen ora keduman’ (kalau tidak ikut berbuat menyimpang, tidak akan hidup). yang digambarkan sebagai periode konflik dan permusuhan antar sesama komponen bangsa, yang dimanipulasi dalang alias invesible hand, yang mengendalikan dibalik layar.

Maka, tiada kata yang tepat sebelum kita terlambat, dimana bangsa ini telah kehilangan jati diri dan ruhnya keIndonesiaan, kembalilah belajar dari masa lalu, karena esok hari ditentukan oleh langkah kita hari ini. ***